East sama sekali tidak berhubungan baik dengan peri serta kurcaci itu benar adanya. Sudah dua setengah jam lamanya Rei dan Araide kecil ini duduk-duduk di bawah salah satu pohon, memandang sungai panjang Ryokubita di salah satu pelosok taman besar sekolah sihir Ryokubita. Tidak ada suara gaduh yang terdengar di sekitarnya, hanya ada suara Araide yang menguap berkali-kali. Sedangkan si pemuda memilih untuk menyibukkan diri dengan cara mengecek arloji perak di tangan kanannya berkali-kali, mengecek waktu sampai si peri muncul. Namun sampai sekarang, yang di tunggu sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.
"Kau selalu seperti ini, heh?" Araide menggerutu, wajahnya tampak kesal. Matanya sedikit sayu, pertanda bahwa si Bara sudah mengantuk parah. Rei yang sebenarnya sudah menyadari itu sedari tadi jelas merasa kasihan padanya, namun bukankah memang Araide sendiri yang datang kesini? Berarti bukan tanggung jawab Rei sepenuhnya, kan? "Gak ngantuk? Gak bosen?" si Bara kembali melontarkan pertanyaan yang hanya di jawab dengan 'hmm' kecil.
"Kosekuensi:
ngantuk, bosan, detensi."
Di dengarnya Araide bergumam pelan, masih merutuki sekelilingnya.
"Kalau ngantuk, tidur sana. Nanti aku bangunkan kalau ada apa-apa, atau kalau memang sudah pagi." Rei menawarkan, tapi di luar dugaan Araide justru bergerak mundur. Wajahnya yang tadi tampak lelah kini terlihat sangat shock, terkejut seolah-olah ucapan Rei barusan adalah tawaran yang buruk. Kedua tangan gadis itu pun secara refleks memeluk tubuhnya sendiri, kedua lututnya di tekuk hingga mengimpit dadanya, meringkuk menjauhi Rei seketika. Pemuda Kiku ini jelas kebingungan. "Kenapa kau? Dingin?"
Si gadis masih tetap memasang wajah seram.
"Kenapa sih?"
"Alasan!!!" cicit Araide, ngelantur.
"Alasan apanya?"
"Barusan!!!"
"Yang mana?!"
"Jangan sok bego!!"
"Apa? Memangnya ucapanku salah tadi?"
"Otakmu yang salah!!!"
Rei mengernyit, habis sudah kesabarannya. Kiku muda ini kembali kesal dengan sikap Araide yang entah kenapa malah mencerocos yang aneh-aneh sambil membuang muka meski mulutnya tak kunjung berhenti mengoceh. "Terserah padamu sajalah, aku sudah menawarkan yang baik-baik." sahut Rei datar. Tapi Araide malah menimpali ucapan Rei dengan emosi "Baik apanya!" protes Araide cepat. "Ka-kau—kau pasti mau berbuat yang aneh-aneh padaku!!"
"Hah—?" spontan, Rei mengeluh mendengar pernyataan Araide. "—kau ngantuk ya?"
"Kau kan sudah dewasa! Pasti di otakmu itu sekarang sedang berpikir yang tidak-tidak!!!" Araide bercicit ngeri, dan Rei yang baru sadar maksud dari ucapan Araide langsung menepuk keningnya sendiri. Mulutnya mengumpat tanpa suara. Dasar bocah, mau di beri tahu sampai sejuta kali pun tetap saja tidak ada pengaruhnya. "Kenapa melihatku begitu?!" Araide menjerit begitu Rei kembali menatapnya lekat-lekat, tapi sedetik kemudian, mulut Bara muda itu langsung di bekap.
"Pelankan suaramu,
idiot! Nanti ketahuan!!"
Araide bersikeras menarik tangan Reichi dari mulutnya dan langsung berteriak lagi. "BIAR!!!—" pekiknya. "—Biar kau tertangkap dan jauh-jauh dariku! Dasar playboy tengik cap kelinci bau!!" dia memaki, ucapannya sudah mulai ngelantur kesana-kemari. "Biar kau pulang dan menghilangkan kebiasaan mesummu itu!!!"
"Apaan sih kau—kalau ketahuan kan kau juga yang ke—"
"—JAUH!!! JAUH-JAUH DARIKU!!!"
"Berisik!!!
STTT!!!!"
"BIAR—AAAAA!!!"
"Berteriak sekali lagi, aku cium kau!!!" Rei mengancam tanpa pikir panjang; buktinya pipi lelaki berusia dua puluh dua tahun itu langsung merona merah, malu dengan ucapannya sendiri. Tapi ternyata ancamannya berhasil, gadis itu terdiam lama meski mulutnya masih ternganga, kaget dengan apa yang barusan dia dengar. Kedua matanya pun masih menatap Rei dengan tatapan tidak percaya. Namun sayangnya keheningan itu tidak berlangsung lama karena Araide kembali berteriak histeris. "—AAAAAAAAAAAAA!!!!" Rei secara refleks menjambak rambutnya sendiri.
"Kenapa kau malah teriak lagi sih?! Astaga!!" menggerutu dan refleks membungkam Araide, Rei sekali lagi menutup mulut gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menarik tubuh si Bara dengan cepat agar mudah membekapnya. Lagi-lagi, hal itu tidak bertahan lama karena entah Rei yang memang terlalu kasar atau terlalu memaksa, atau malah Araide yang memang mengantuk parah, si Bara itu justru menggigit tangan Rei dengan keras; membuat si Kiku menjerit kesakitan. "—SAKIT!!!"
"Biar!! Biar kau tahu rasa!! Biar kau tidak bertindak macam-macam!!" Rei mengibas-ngibaskan tangan kanannya sembari tetap memandang Araide yang makin lama makin merancau—ucapannya tak jelas. "Kau—" Rei mengaduh sebentar, lalu kembali melanjutkan ucapannya, "—kalau berteriak sekali lagi, aku akan benar-benar menutup mulutmu de—"
"—
KEKKAI!!!"
Terkejut dan berbalik, Rei melihat dua anak laki-laki mengenakan pink bunga matahari tengah mengacungkan tongkat sihir masing-masing ke arahnya dan juga ke arah Araide secara bergantian. Bola-bola api
hidarani pun mulai bermunculan, membuat kedua mata Rei secara refleks langsung menyipit karena silau. Mendengus, si Kiku ini hanya bisa pasrah saat kedua
Anzen Himawari Seitokai itu mulai membuka suaranya, berceloteh banyak hal tentang apa yang terjadi saat ini. Tidak lupa, sindiran serta kalimat ejekan dijadikan sebagai kalimat pembuka.
"Shibasaki-senpai, kau tidak jera?" tanya salah satu
Anzen yang sebenarnya Rei mengenalnya, tapi dia lupa. "Wah, bahkan sekarang senpai bawa-bawa cewek—pacar senpai yang baru?" cibirnya. "Wah, kalau begitu senpai benar-benar sudah keterlaluan, tidak jera di detensi. Memangnya, dasar anak Kiku itu—"
"—tutup mulut." Rei memotong ucapan
Anzen dihadapannya tanpa peduli dia melanggar peraturan satu lagi atau tidak. "Jangan pernah berpikir asrama kalian asrama paling baik," tidak tahan untuk tidak berkomentar, Rei akhirnya mengucapkan kalimat yang sedari tadi dia tahan. Dia benci
asrama sentris. "Aku tidak mau berlama-lama di sini kalau sudah ketahuan—" merogoh sakunya, Rei melemparkan Baswood miliknya ke salah satu
Anzen. "—hanya itu yang aku bawa. Sudahlah, cepat detensi." lanjutnya.
Anzen itu sempat terpana, lalu mengerjapkan matanya. "Oke. Kalian akan mendapatkan de—"
"KALIAN?!" Araide dengan tiba-tiba memekik histeris lagi dan membuat Rei juga dua
Anzen di hadapannya itu tersentak, terkejut dengan suara gadis Bara yang tiba-tiba meninggi itu. "Maksudmu, kalian itu adalah dia—" Araide menunjuk Rei "—dan aku?!" dia menunjuk dirinya sendiri, raut wajahnya tampak ngeri. Rei mendengus sambil menggeleng pasrah. "KENAPA AKU JUGA KENA DETENSI!?"
Bersyukurlah bahwa Reichi Shibasaki terhitung anak lelaki yang memiliki kesabaran yang banyak. Meski pun Araide masih menjerit marah, Rei berjalan mendekati gadis itu dan menepuk lembut kedua pipi Araide, membuat dia terkejut sekaligus memandang Rei lekat-lekat. "Kau ngelantur,
Kazusa. Ikuti apa mau mereka, nanti akan aku jelaskan," paparnya. Padahal sebenarnya, yang ada di benak Reichi adalah pertanyaan kenapa dia harus berusah payah menenangkan Araide? Kan gadis itu sendiri yang menyusulnya. Tapi tampaknya si Bara benar-benar sudah mengantuk karena di luar dugaan, Araide tampak seperti anak kucing yang penurut—dia mengangguk. "
Bagus."
Dua
Anzen itu terkikik geli memandang dua senpai di hadapan mereka yang sekarang tampak sibuk satu sama lain. Rei tengah berjongkok mempersilahkan Araide untuk naik di punggungnya, menggendongnya untuk mengikuti langkah dua Himawari Seitokai di hadapannya. Seolah menjadi rutinitas Rei yang baru, anak Kiku ini pun tidak berkomentar apa-apa meski kenyataannya kini dia sedang melangkah menuju gedung Himawari Seitokai untuk menambah daftar detensi baru. "Araide-senpai tidur?" salah satu
Anzen bertanya pelan, melongok ke arah punggung Reichi. Rei hanya tersenyum, tetap sibuk menggendong Araide yang memang tertidur lelap. "Padahal kalian bertengkar terus, kok sekarang jadi dekat?" Rei menghendikkan bahu, tidak acuh. "Kalian pacaran?"
Kali ini, Rei tersenyum.
"Menurutmu?"
***