<body>
Nobody Knows - Chapter 9
Kamis, 29 Maret 2012 @3/29/2012 05:19:00 PM



Disclaimer :

Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini. Murni pikiran gue. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.







- Chapter 9 -











"Kau di detensi? Waw." Kazuki Itou terbahak begitu Kazusa, yang sebenarnya masih enggan untuk mengakui, baru saja selesai menceritakan dengan detail apa yang terjadi satu minggu yang lalu—saat dirinya di detensi sekaligus alasan mengapa Araide sulung ini bisa kena detensi. Gadis Bara ini manyun sambil menyodok-nyodokkan garpunya dengan brutal, menusuk kentang goreng di hadapannya dengan mulut bergerak-gerak tanpa suara. "Lucu juga kau di detensi karena kau mengantuk." lanjut Kazuki yang sebagai alumni Ryokubita, sedang datang berkunjung ke sekolahnya ini karena suatu hal.

Kazusa seketika manyun, tangannya tak berhenti menusuk-nusuk kentang goreng di hadapannya. Kazuki jelas tertawa renyah sekali pun gadis itu masih emosi. "Senpai jangan ketawa dong. Malu, tahu. Aku kan belum pernah sekali pun di detensi sampai saat ini." berpikir sebentar. "Lagi pula siapa sih yang tidak penasaran dengan tingkahnya? Sampai di detensi segala begitu, berkali-kali pula?"

Memiringkan kepalanya sedikit, Kazuki menatap  Kazusa lekat-lekat. "Justru yang aneh itu kau, kenapa bisa sepenasarannya itu sih sama Shibasaki? Katanya perseteruan kalian sebatas akademis, kenapa sampai ekstrim begini? Kenapa tidak cuek aja gitu?" dia bertanya dengan tampang datar yang langsung di sambut keluhan keras dari Kazusa. "... Engg, gak ngerti juga sih. Gak taugak mau tahu malah." kata Kazusa cepat.

Well, inginnya sih begitu. Kalau bisa, dengan semangat empat lima Kazusa mau meng-iya-kan ucapan senpai-nya itu dan menimpali dengan ini atau itu. Tapi sayangnya, Kazusa yang—delapan puluh persen—mencapuri urusan si Kiku karena alasan penasaran, jelas cuma bisa mendengus dan ngedumel. "Kau ga ngerti sih," sahut Kazusa mengelak. Kazuki hanya mengangguk-ngangguk kecil. "Lagi pula, aku ini kan anggota Hikari Journal!" tambah gadis Bara itu dengan percaya diri luar biasa.

"Untungnya kau cuma di suruh menulis." Kazusa mengangguk-ngangguk sambil terus melahap kentang gorengnya. Ya kali kalau misalnya dia mendapatkan lebih dari itu, dia bisa saja protes. Dia kan baru dapat satu kali detensi, dan cuma keluar asrama (enggak bisa di bilang cuma juga sih) jadi kalau lebih berat dari ini, rasanya kebangetan. "Kalau Shibasaki, dapat apa?" Kazusa seketika manyun, agak menyebalkan kalau di tanya tentang si playboy cap kelinci itu.

"Tidak tahu, soalnya ruangan detensi kami berbeda, dia di mana, aku di mana." Menghendikkan bahu sembari membereskan perlengkapannya, Kazusa berdiri setelah kentang gorengnya habis. Dia menggangguk sopan ke arah Kazuki untuk berpamitan. "Aku duluan ya senpai, tugasku jadi menumpuk—hehe. Sayang ya, padahal sudah datang ke sini tapi aku malah sibuk." Berpikir sejenak, Kazusa tersenyum kecil. "Kalau datang lagi, kasih tahu ya!!" dia berujar cepat seraya meninggalkan sosok Kazuki Itou tanpa memberikan kesempatan pada lelaki itu untuk berbicara. Kazusa Araide langsung melesat keluar kantin.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, Kazusa yang memiliki rasa ingin tahu yang besar masih sangat penasaran dengan detensi apa yang di dapatkan oleh Shibasaki. Sejak beberapa hari yang lalu, Hikari Journal hanya mengungkit bahwa detensi yang di terima oleh si Kiku hanyalah menulis essay yang tak bisa dibayangkan jumlahnya. Memang, Hikari Journal tidak sepatutnya mengangkat topik ini, tapi karena tingkah si Kiku luar biasa mencurigakan, mau tidak mau dialah yang terus menerus menjadi perbincangan hangat dalam beberapa edisi. Akan tetapi, meski pun Kazusa adalah anggota Hikari Journal, dia tidak tahu apa yang Shibasaki jalani karena semua yang di tulis majalah sekolahnya itu hanyalah menerangkan satu dari tiga detensi yang lelaki itu dapatkan.

"Kenapa harus mikirin dia juga s—"

—BRUK

"—itte!!" Merintih kecil ketika tubuhnya yang mungil terjatuh saat menubruk sesuatu, Kazusa secara refleks menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang berani-berani menubruknya. "Dasar! Kalau jalan liat dong pake ma—" tapi umpatannya seketika tertahan. Maniknya menangkap sosok Shibasaki Reichi yang tengah berdiri dengan tangan kiri terulur. Entah kenapa, mulutnya seolah terkunci dan pipinya berangsur-angsur terasa begitu panas.

"Sorry, aku tidak melihatmu." kata Shibasaki.

"Kacamata-mu kayaknya oke kalau di ganti sama kacamata kuda atau apa." dengan susah payah, Kazusa akhirnya bersuara meski dia yakin, nadanya terdengar aneh. Menggulirkan matanya, Kazusa menatap tangan Shibasaki yang masih terulur, memperhatikan betapa besarnya telapak tangan laki-laki—"eh? Tanganmu bengkak ya?" Tanpa menyambut pertolongan si Kiku, Kazusa berdiri tegak dan menepuk-nepuk bagian belakang bajunya namun perhatiannya (lagi-lagi karena penasaran) tetap tertuju pada tangan si pemuda. Dengan gesit, Kazusa menyambar tangan Shibasaki.

"OUCH—sakit, bego!" keluh Shibasaki cepat. Tapi sebelum lelaki berkacamata hitam di depannya itu menarik tangannya, Kazusa terlebih dahulu menahannya dan mengernyit heran dengan tangannya yang tampak membengkak. "Kenapa bisa bengkak?" Kazusa bertanya cepat, tapi Shibasaki hanya terdiam. Sayangnya, Kazusa bukan orang yang bisa tahan dengan orang yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Dia membalikkan telapak tangan Shibasaki dan bergidik. "Kau—jangan bilang detensimu itu menulis di tangan?"

Shibasaki menunduk, memperhatikan tangannya sendiri sebentar, lalu menghendikkan bahu pertanda dia tidak peduli. "Sepertinya Himawari Seitokai sedang sangat tergila-gila pada Harry Potter," komentar pemuda Kiku di hadapannya itu dengan santai. Dia menarik tangannya sendiri, mendengus pelan. Tapi Kazusa menariknya lagi cepat-cepat. "Ini lukanya dalam loh! Sudah ke dokter belum?!" Shibasaki memiringkan kepalanya, menatap Kazusa lama, lalu mengerjapkan matanya perlahan—isyarat kalau dia masih tidak peduli. "Nanti infeksi!!" protes Kazusa panik.

"Kau kenapa jadi perhatian begini?"

Kazusa tercekat, tapi buru-buru mengalihkan perhatiannya dengan menatap tangan Shibasaki sekali lagi. "Apa ini tulisannya? 'Aku jera dengan detensi' lalu hmmm gak begitu kebaca—oh, 'aku tidak akan mengulanginya lagi' astaga!" gadis Bara ini mengeluh, memandang teman seangkatannya itu dengan iba. Tapi di luar dugaan, Shibasaki justru tertawa renyah. "Kok ketawa sih? Ini tuh luka serius! Pasti bekasnya juga gak bakal hilang!! Kalau kenapa-kenapa gimana??" lanjutnya geram.

"Kenapa kau jadi perhatian begini sih??" Shibasaki mengulang pertanyaannya lagi secara gamblang sambil tetap terkekeh kecil. Kazusa hanya bisa gelagapan di tempat. "Namanya juga laki-laki, kalau begini sih tak masalah," pemuda berambut hitam itu menarik tangannya, memperhatikannya sejenak. "Anggap saja ini tanda cinta, hahahaha!" seketika, Kazusa mendengus sebal dan langsung membuang muka. "Reaksimu jelek banget."

"REAKSIMU TUH YANG JELEK!!! Baka!!"

Dan lelaki bermarga Shibasaki itu hanya bisa mengernyit heran ketika sosok gadis Bara dihadapannya itu kini berlalu begitu saja meninggalkannya. Aneh.



—oOo—



"KAU PIKIR SEKOLAHMU ITU GRATIS, HAH?!"

Secara refleks, Rei menjauhkan ponsel dari telinganya begitu suara Aoi Shibasaki—Ibu asuhnya—menjerit marah dari seberang sana. Kedua mata Rei pun terpejam ketika volume dari ponselnya itu semakin tinggi. Alisnya mengernyit dan menggigit bibir bagian bawahnya sambil menyeringai pasrah. "DETENSI EMPAT KALI, KELUAR MALAM-MALAM—AKU TIDAK AKAN HERAN KALAU MEREKA SAMPAI MENGGELUARKANMU SAAT ITU JUGA!! OH—TUNGGU SAMPAI ORANG TUA KANDUNGMU TAHU HAL INI, DAN JANGAN BERHARAP AKU AKAN MEMBANTUMU...!!" Aoi Shibasaki masih berteriak-teriak marah, membuat suasana ramai di ruang rekreasi dalam hitungan detik menjadi sunyi seketika.

"Aduh okaasan—" si Kiku mencoba untuk berbicara, tapi sayangnya usahanya langsung sia-sia karena Aoi-san kembali menjerit marah. Tentu, volume suaranya jauh lebih keras dari sebelumnya. "—DETIK INI JUGA, KEMASI BARANG-BARANGMU DAN PULANG KEMARI, SHIBASAKI MUDA!!!—Kamisama, terima kasih karena Nakashima-kouchou masih berbaik hati untuk memberimu kesempatan—TAPI BUKAN BERARTI KAU BISA TENANG BEGITU SAJA!! TUNGGU SAMPAI KAU MENDAPATKAN HUKUMAN DARIKU!!!" dan seketika, suara klik kecil terdengar sekilas.

Rei tertegun begitu ponselnya tidak lagi melontarkan teriakan-teriakan dahsyat dari ibunya. Begitu juga dengan sekeliling Rei yang mau tidak mau juga membisu, tetap sunyi senyap sampai pada akhirnya, Tetsu yang memang sedari tadi duduk menemani Rei berkomentar singkat dengan suara sedikit gemetar karena takut. Ya, bagaimana pun Aoi Shibasaki adalah bibi-nya, dan terus terang saja kejadian barusan adalah kali pertama dia mendengar adik ibunya itu marah-marah.

"Aku berani taruhan—oba pasti akan menggantungmu di Yokohama Cosmo World begitu kau sudah sampai rumah." celetuk Tetsu sambil menggeleng lemah. Rei malah tertawa mendengar komentar adiknya itu. "Kau tahu? Itu salah satunya—aku punya dua ibu, dan satu lagi mungkin akan menggantungku di Tokyo Tower habis ini." Rei menimpali ucapan adiknya sambil bergidik ngeri. "Kalau haha sampai meneleponku, habislah sudah." lanjutnya sambil mencopot batu baterai ponselnya dan melemparnya ke sofa. Dia bersandar lemas, menengadahkan kepalanya dengan kedua tangan mencengkram erat rambutnya.

"Kau bego sih—" Tetsu berkomentar lagi tapi ucapannya menggantung begitu ponsel miliknya berdering. Sakura muda ini langsung memekik, meneriaki nama Rei dengan tangan kanan sibuk menyodorkan ponsel miliknya itu kepada kakaknya. Mulutnya menyebut-nyebut 'haha' tanpa suara sedangkan tangan kirinya menunjuk-nunjuk layar ponsel yang menampilkan nama 'Hikari Ikuya'. Rei melengos, mengernyit pasrah dan menyambar ponsel adiknya itu.

Sejenak, Rei menatap tombol accept sebelum akhirnya dia menekannya.

Tanpa menunggu lama, teriakan seorang wanita kembali membahana di ruang rekreasi.




—oOo—


Label: , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next