<body>
Tomodachi
Sabtu, 31 Maret 2012 @3/31/2012 01:27:00 PM




Disclaimer :
  • Ryokushoku o Obita punya para tuyul bersaudara.
  • Reichi Shibasaki punya @deeladiladhila
  • Reika Nagayama punya @winterfireworks
  • semua fanfic yang di kasih @cmsnw sampaikan terima kasih dari gue ya!
  • Dan beberapa chara yang di sebut punya PMnya masing-masing.
Gue pernah koar-koar di twitter soal Fanfiction Challenge kan ya? Nah, dari sekian banyak FF Challenge yang gue terima (orz) gue baru bisa nulis (sampe selesai) ya yang satu ini. Begitu ada ide, dua hari kemarin gue full di depan laptop buat ngerjain fanfic ini. Sedikit permohonan dari gue, tolong jangan tanya kapan timelinenya karena gue main hajar alias begitu ada ide, gue langsung nulis, hahahaha. Well, semua cerita terinspirasi dari semua thread Rei-Rei, dan mungkin kalau ngotot timeline, lanjutan dari 'I get so anxious, I feel as if I'm breaking apart' kali ya.

Tapi, seperti biasa, gue tekanin kalau semua yang terjadi tidak ada sangkut paut dengan plot chara yang terlibat. alias murni fanfiction. Terakhir, ini challenge dari @sakenyucchi gue ga tau sih ini fanfic masuk ke tema apa, ya pokoknya gue sih nulis aja #krik. Enjoy ya, CC jangan lupa~







Tomodachi.






Ada seorang gadis dengan sederet koper dan tas di depan gerbong barang kereta api sekolah Ryokushoku o Obita. Dia berdiri, menatap barang-barangnya dengan helaan nafas panjang. Sebagai anak perempuan, tenaganya tentu akan cepat terkuras apabila dia memindahkan barang-barangnya sendirian, namun, meminta tolong pada orang lain pun kemungkinannya kecil karena hampir semua yang ada di sekelilingnya sibuk dengan barang masing-masing.

Gadis itu menghela nafas pasrah, memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri dari pada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Tapi, saat gadis berambut panjang berwarna cokelat gelap itu mulai membungkuk untuk mengangkat barangnya satu persatu, betapa terkejutnya dia ketika sesosok tangan besar dengan cekatan mengangkat barang-barangnya. Gadis itu menengadahkan kepala, melihat lelaki berambut hitam dihadapannya.

Shibasaki Reichi tampak sibuk mengangkat barang-barang miliknya ke gerbong. Lelaki itu tidak berkomentar, begitu juga dengannya. Sakura muda ini hanya bisa tertegun dengan mata tak luput memperhatikan si Kiku. Tidak ada suara setelahnya, hanya suara hiruk-pikuk yang terjadi di stasiun kereta api. Dan begitu semua selesai, Reichi berlalu begitu saja. 

“Re—” Pemuda itu menoleh dan rasa canggung samar-samar mendera. “—resletingmu kebuka tuh.”


oOo 


"Ada."

Rei tersenyum kecil, jemari tangannya menyentuh ringan permukaan air yang tidak jauh dari jangkauannya. Sebisa mungkin, dia menutupi rasa canggung yang tiba-tiba melanda.

"Ada seseorang yang aku sukai kok." 


oOo 


Ada seorang pemuda tengah duduk di tepi kolam panjang di taman Ryokushoku o Obita. Dia duduk dalam diam, sendirian, tanpa ada teman bicara. Rambutnya hitam gelap dan lurus, sedikit terlihat acak-acakan karena di terpa angin musim semi. Kakinya dicelupkan ke dalam air yang mengalir pada kolam itu sampai sebatas betis, bergerak-gerak perlahan sehingga membuat riak-riak air kecil seiring dengan gerakan kakinya. Matanya tertuju ke bawah, tapi pandangannya kosong—pikirannya menerawang jauh.

Baginya, tidak ada yang spesial dari musim semi. Hanya ada bunga-bunga yang bermekaran dan pohon sakura yang mengembangkan kuncup-kuncup merah mudanya lalu menebar wangi ke seantero taman Ryokubita. Sedangkan bagi kebanyakan orang, musim semi adalah musim yang paling indah dan menyejukkan. Dia merasa biasa-biasa saja sebenarnya, tidak senang, tidak pula sebal. Akan tetapi, setidaknya musim semi lebih baik dari musim panas.

Lamunannya seketika buyar begitu pundaknya di tepuk-tepuk pelan. Kosentrasi pemuda Kiku ini langsung kembali dan dia menoleh cepat; mendapati sosok Reika Nagayama tengah berdiri di sampingnya. Gadis itu tersenyum tipis, lalu ikut duduk dan sama-sama mencelupkan kakinya ke kolam. Tidak ada ucapan apa pun yang terlontar dari bibir masing-masing. Keduanya membisu, sibuk dengan pikirannya sendiri. 

“Tak apa-apa, kalau sedih, sedih saja.” Reika berujar pelan meski tidak menatap pemuda Kiku di sampingnya sama sekali, sedangkan laki-laki berkacamata hitam itu hanya bisa terpana, tertegun dengan apa yang diucapkan Sakura muda di sebelahnya itu. “Akan aku dengarkan, kok.” 

Si Kiku hanya tertawa. 


oOo 


“Rasanya aneh kalau kau tidak punya pacar. Kau kan manis.”

“Aku? Manis?” Gadis itu mengulang ucapan si pemuda, agak tidak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Rasa-rasanya, belum ada yang bilang Reika manis secara terang-terangan sebelumnya.

“Jangan-jangan kau naksir padaku?”


oOo 


Kata kebanyakan orang, kalau ada yang sedang jatuh cinta, pastilah pandangannya akan selalu tertuju pada orang yang dicintainya walaupun orang itu berada di tengah keramaian. Rei—jujur saja—mau tidak mau harus mengakui kebenaran kata-kata itu. Matanya tak pernah bisa luput menangkap sosok Shibasaki Reichi yang berlalu-lalang di kantin, melihatnya tertawa bersama dengan teman-teman sorcier-nya, atau bahkan sekedar melintas begitu saja sekali pun Rei tengah menatap objek lain. 

Desir di dadanya selalu tidak pernah bisa dia kendalikan ketika hal itu terjadi, dan itu menyebalkan.


oOo 


“Jadi, kenapa kau memanggilku ke sini?"

“Tidak tahu,”

Pemuda itu seketika mengernyit, tidak mengerti.

“Habisnya, kalau aku jawab aku cuma ingin mengobrol, nanti kau malah tertawa dan pergi,” pandangan matanya beralih ke samping, melirik Reichi. “Makanya aku bilang tidak tahu, supaya kau tetap menemaniku ngobrol sampai aku tahu alasanku memintamu ke sini.”


oOo 


Dia tidak pernah ingat kapan pertemuan pertamanya dengan Nagayama Reika, bagaimana dia bisa mengenalnya, bagaimana dan sejak kapan dia bisa berani menyebutkan nama kecil gadis Sakura itu. Dia juga tidak pernah tahu kenapa dia bisa senyaman itu bersama dengannya, atau bersikap lembut padanya, atau sengaja beradu mulut dengan gadis itu.

Rei tidak pernah ingat, sejak kapan detak jantungnya terasa aneh setiap kali bersama dengannya.

Dan lebih tidak bisa dikendalikan begitu mengetahui gadis itu jatuh cinta padanya.


 oOo  


“Kalau memang meyukainya, kenapa tidak kau katakan saja?” 

Kenapa tidak bilang? Kenapa tidak menyebutkannya di antara kelakar agar kau bisa menertawakannya kalau-kalau reaksi lelaki itu tidak sesuai dengan yang kau harapkan? Kenapa tidak bilang saja, lalu kabur tanpa melihat reaksinya dan berhenti berbicara dengannya berhari-hari setelah itu? 

“Karena tidak semudah itu—karena pasti, hubungan kami tidak akan sama lagi."  


oOo  


Ada banyak kejadian yang akan selalu diingat oleh Rei sekali pun kejadian itu bukanlah kejadian yang besar. Hanya kejadian kecil, tapi sangat spesial. Seperti misalnya ketika mereka sama-sama tercebur ke kolam Ryokubita, atau ketika pemuda itu menyodorkan jaket padanya. Kejadian-kejadian kecil seperti itu akan selalu Rei ingat, karena dengan mengingat itu, secara refleks kedua ujung bibirnya tertarik ke samping sehingga seulas senyum manis tergambar di raut wajahnya yang merona kemerahan. 

Atau pada saat Reichi memanggilnya dengan imbuhan ‘chan’ sehingga namanya terdengar lebih imut. 

Sekaligus menyebutnya anak perempuan yang manis. 

Ia memang belum pernah di bilang manis secara terang-terangan sebelumnya—mungkin sebenarnya sudah pernah, tapi orang yang mengatakannya atau caranya tidak terlalu spesial dan kejadiannya sudah sangat lama sekali sehingga mungkin Rei melupakannya. Tapi tetap saja, rasanya aneh kalau sampai harus mengingat setiap pujian yang dia dapatkan. Dan akan lebih menyenangkan kalau mengingat hal-hal yang spesial—dan orang spesial. 

Itu artinya, ucapan Reichi termasuk yang akan diingat. 

Satu pujian dari pemuda itu mampu membuatnya salah tingkah. Gadis itu menunduk, membiarkan rambut panjangnya menutupi ekspresinya yang sedang menggigit bibir, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terkikik geli karena rasa senang yang meluap tiba-tiba sekaligus menutupi pipinya yang sedikit merona merah. Dia senang, sekaligus malu. 

Dan tahu-tahu saja, ketika mereka berdua bertemu lagi ditengah-tengah kesibukan masing-masing yang luar biasa padat, ucapan itu terlontar begitu jelas dari bibir Rei sekali pun dengan nada suara sepelan mungkin, bahkan nyaris berbisik. Kalimat sederhana, tapi diucapkan dengan sekuat tenaga. Degup jantungnya semakin terasa cepat, membuat nafasnya sedikit demi sedikit tersendat entah karena apa.   


oOo  


“Rei-kun no koto ga… daisuki”  


oOo


Memilih untuk berpura-pura tidak mendengar bukanlah hal yang bijaksana. 

Rei memejamkan mata, membiarkan kegelapan yang sangat pekat menyelimuti pandangannya untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya menerawang jauh begitu indera pendengarannya menerima informasi yang benar-benar mengejutkannya. Rei sebenarnya sudah tahu—sudah menebak, lebih tepatnya—tapi tetap saja, semua ini di luar dugaannya. 

Entah berapa lama keheningan menyelimutinya, Rei akhirnya mendengus geli, membuka matanya perlahan dan menoleh menatap gadis di sampingnya. Otaknya masih terus memaksa Rei bahwa ini semua hanya canda tawa belaka—tapi melihat raut wajah gadis Sakura itu, mau tidak mau Rei tertegun lagi. “A—” tidak ada kalimat yang mampu keluar dari bibir si Kiku, dia hanya membuka mulutnya namun dikatupkannya lagi, lalu menghela nafas panjang berkali-kali. 

Dia berdecak kecil, kepalanya menggeleng lemas; tangan kirinya dengan cepat menarik tubuh Reika Nagayama dan membenamkan wajah gadis itu dalam pelukannya. Tentu, Reika memberontak, tapi begitu Rei bersuara, gadis itu terdiam, membeku lama, tidak bersuara sama sekali. Pemuda menahan nafas, memejamkan mata sekali lagi, dan mencengkram kuat bahu Reika dengan sedikit gemetar. 

Dia tahu, gadis itu menangis.  


oOo  


“…—Gomenasai”  


oOo


Ada sebuah cerita sederhana yang tidak semua orang tahu. Cerita tentang kejadian nyata yang terjadi di pelosok taman Ryokushoku o Obita, tentang kisah anak laki-laki dan perempuan yang memiliki nama kecil yang sama. Dan di tempat itulah mereka biasa bertemu, secara tidak sengaja.  

Di tempat biasa mereka bertemu, sebenarnya ada satu rahasia yang selalu pemuda itu simpan rapat-rapat di hatinya. Dia sering kali mengunjungi tempat ini sendirian tanpa teman, dengan imaji melayang-layang membayangkan segala macam kenangan yang dia lalui bersama gadis Sakura itu sewaktu dulu, membayangkan segala macam kebahagiaan yang dia terima secara sederhana. 

Di tempat ini dia jatuh cinta pada si gadis untuk pertama kalinya. 

Dan di tempat ini pula dia menetapkan hati untuk mengubur semuanya. Di tempat biasa mereka bertemu, akhirnya sang gadis mengutarakan perasaannya yang dia pendam sejak lama, sekuat tenaga menahan rasa canggung yang samar-samar mendera, menahan desir di dadanya yang selalu tidak pernah bisa dia kendalikan setiap kali pemuda itu menatapnya. Tapi gadis itu tidak pernah menyangka, jawaban yang dia terima jauh dari apa yang dia bayangkan—pemuda itu tengah dilanda cinta, tapi bukan untuknya. 

Pemuda itu berusaha sekuat tenaga bersikap tenang meski faktanya dia ingin menangis, merutuki dirinya sendiri yang tidak pernah bisa jujur sejak awal—menangisi kebodohannya yang benar-benar disesalinya hingga sekarang. Sekuat tenaga pemuda itu tertawa, menenangkan hati sang gadis dan berjanji bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa segalanya akan berjalan seperti biasanya. 

Tapi tanpa sepengetahuan si pemuda, gadis itu tahu, tawanya hampa. 

Mereka bernama Rei—yang laki-laki bernama Reichi dan yang perempuan bernama Reika. Mereka bukan pasangan yang penuh romansa cinta seperti dongeng-dongeng pada umumnya, bukan pula pasangan yang selalu bahagia.

Mereka adalah realita, sebuah fakta bahwa Dewi Fortuna tidak berpihak pada siapa-siapa.   


oOo   

Label: , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next