<body>
Dilema
Rabu, 03 Maret 2010 @3/03/2010 04:30:00 PM










Musim panas, bulan Agustus tahun 2003



Kalau kau melihat ke sebelah utara dari tempatku ini duduk, maka kau akan melihat sebuah jam berwarna hijau yang berukuran sedang di sudut kiri sana. Dia menggantung di atas lantai dan menempel pada sebuah dinding kokoh berwarna putih susu. Jam itu berdetak, bersuara pelan tik-tok-tik-tok secara beruntun; aku senantiasa mendengarkannya. Hari ini adalah akhir pekan di minggu pertama bulan Agustus. Musim panas, dengan terik matahari yang terlihat membahana di atas cakrawala biru yang terbentang luas menyelimuti lukisan alam, yang menyinari seisi bumi dengan sinar teriknya secara merata sehingga nuansa panas yang menyengat tak urung membuat tumbuh-tumbuhan jadi lebih cepat meranggas, cepat gersang, kering dan mati sebelum waktunya.


Aku hanyalah seorang anak lelaki berumur tujuh belas tahun untuk tahun ini, tubuhku yang tinggi kurus tak ayal membuat keringat tetap keluar dari pori-pori kulitku yang kecoklatan, membasahi ujung-ujung surai rambutku yang hitam kelam. Yah, aku hanyalah seorang lelaki bernama Tetsuyama dengan marga Ikuya di belakang namaku, dan sebutlah Tetsu untuk memudahkan kau menyapaku.


Dan aku di sini, berada di sebuah ruangan beraksitetur khas jepang pada umumnya, duduk nyaman di sebuah sofa empuk berwarna hijau muda dengan penyejuk ruangan yang membuat tubuhku semakin rileks, semakin membuatku enggan melangkah pergi dari posisi ini. Terdiam membisu, aku mulai menyandarkan punggungku pada dinding sofa sembari memejamkan mata rapat-rapat seolah membiarkan kegelapan menguasai tubuh ini, membiarkan surai hitam rambutku bergerak jatuh mengikuti gravitasi bumi.


Tidak bisakah waktu berputar meski hanya satu kali?


Perlahan aku mulai membuka mataku, menatap langit-langit atap yang mulai keropos dan tua; melepaskan kegelapan yang meliputi pandanganku beberapa menit lalu meski mulutku masih terkunci rapat. Pikiranku masih menerawang, menghujat detik waktu yang terus bergulir cepat. Ahh, kenyataan memang tak selamanya berjalan sesuai keinginan—kenyataan memang selalu berakhir dengan pahit.


Dengan rasa malas luar biasa, aku berdiri dari tempat dudukku yang nyaman dan mulai beranjak meninggalkan ruangan yang sejuk ini. Langkahku pelan, tetapi jaraknya besar—sehingga tak ayal tubuh kurusku yang berbalutkan baju berwarna biru dengan lengan panjang yang kulipat hingga siku ini sudah berada di sebuah taman kota Hakamodote yang minimalis dalam hitungan menit. Celana jeans biru yang kukenakan mendadak kotor ketika debu-debu itu menerpaku saat melangkah mendekat ke arah kursi kosong di sudut sana, jauh dari gerbang utama taman ini—dan di sinilah aku, di tengah-tengah hamparan luas rerumputan yang mulai menguning karena teriknya matahari,


Tak ada siapa pun—jelas, hari sepanas ini memangnya siapa yang mau berjalan-jalan? Meski dari ekor mataku, aku sempat melihat beberapa orang berlalu-lalang sembari menggerutu panjang. Beberapa diantaranya sempat menyapaku, memberikanku ceramah akan bahayanya terik sinar matahari—aku hanya tersenyum miris, tak apa.


“Akhirnya kau datang—“


Tak menoleh, bahkan tak perlu. Aku sudah tahu siapa yang datang—aku tersenyum tipis, membiarkan hawa panas di wajahku ini mulai merambat kesekujur tubuh, di tambah lagi keringat yang mulai mengalir keluar dari pori-pori kulitku mulai membasahi sekujur tubuhku—meski aku tetap menunduk. Mataku yang hitam tetap menatap pasir-pasir, kemudian dengan sebatang kayu yang di tangan kanan, aku torehkan sebuah garis tipis. Aku menggambar, menggambar seorang wanita dengan rambut panjang yang tersenyum menatapku.


“—Kau mendengarku, tidak?”


Perlahan, kuangkat wajahku dan membiarkan bola mata berwarna hitam ini menatap gadis mungil berambut hitam yang nampak cemberut, menggelembungkan pipinya hingga tampak tembam dan gembul. Aku tersenyum, menatap hangat kedua iris hazel miliknya tanpa berhenti membiarkan tangan kananku bergerak-gerak—mencorat-coret tanah yang perlahan menghapus sosok gadis tadi. “Yah, aku dengar—dengan telinga, bukan? Sejak kapan aku mendengar dengan mata?” Senyum tipis lagi-lagi mengembang di wajahku yang semakin berkeringat meski gadis itu masih saja cemberut kesal.


“Aku muak dengan sikapmu ini, Tetsu-chan. Apalagi sikapmu yang terlalu baik pada semua orang, tak tahukah bahwa kau banyak disukai sekarang ini? Tidak bisakah kau bersikap normal? Tanpa harus berlagak menjadi seorang pangeran?” gadis yang memakai baju berwarna pink dengan celana jeans biru ketat itu berdiri di hadapanku sembari berdecak marah dan menatap iris mataku yang hitam. Kami bertatapan—dan diakhiri dengan helaan nafas.


“Lalu aku harus bagaimana? Inilah aku, Nao-chan—beginilah aku, tak mungkin kalau kau menyuruhku untuk berbuat ketus terhadap orang lain karena… Yeah, kau mengenalku.”


“Aku tidak mengenalmu.” gadis bernama Naoko Ikeuchi ini sekarang berdiri dengan resah, mengigit-gigit kukunya sebagaimana kebiasaannya kalau sedang merasa bersalah. Tak ada yang bisa kuperbuat, memaksa gadis di hadapanku ini adalah kesalahan terbesar kalau itu kulakukan, meski dalam hati aku terus memaksakan diri untuk berterus terang. “Aku ingin sesuatu darimu” Refleks, aku mengangkat wajahku dan menatap dalam kedua bola mata jernih Naoko lekat-lekat. “Cium aku”


Membisu, entah untuk keberapa kalinya.


Kami saling pandang—tak ada reaksi bahkan tak ada komentar. Aku bahkan masih membisu, menatap iris hazel gadis itu dalam pikiran berkecamuk. Sedangkan gadis mungil itu mulai resah, menatapku geram seolah muak dengan sikapku. Aku tahu, aku memang memuakkan, dan aku juga tahu, kau akan mendapatkan jawaban tidak dari reaksiku. Aku menggeleng.


—bukan berarti aku pengecut.


“Kenapa?”


Tak ada reaksi yang aku berikan, hanya tatapan kosong ketika kedua hazel miliknya itu menatapku lekat-lekat. Mulutku pun terkunci rapat, seolah enggan memberiku kesempatan untuk berujar sebuah alasan, berujar kata-kata yang menjadikan acuan atas jawabanku—nihil. Mulutku masih tertutup rapat dan rahangku masih mengatup kuat. Bukan dengan ciuman aku harus mengungkapkan rasa sukaku, bukan dengan kecupan aku utarakan rasa cintaku.


Tetapi dengan sikapku padamu, aku akan berujar bahwa aku mencintaimu.


Bahwa sungguh, aku menyukaimu.


“Tetsu-chan—“


Entah untuk ke berapa kalinya, aku menghela nafas, memandang lurus ke depan dan menatap sepasang hazel gadis ini sembari mengigit bibir bawahku. Aku resah. Dan aku tak rela. Dari kedua matanya aku tahu, dirinya pun tak rela sama sepertiku—hanya saja rasa janggal yang pernah dia utarakan nampak mendominasinya hari ini. Aku terdiam, entah untuk berapa lama. Membungkam semua kata-kata yang ingin aku utarakan kepada gadis manis di hadapanku ini, mengungkapkan betapa aku mencintainya—mengharapkan dia tetap ada di sampingku, menemaniku hingga nafasku berhenti suatu saat nanti.


“—lebih baik kita akhiri saja semua ini.”


Tubuhku lemas seketika dan kepalaku tertunduk dalam, menyembunyikan raut wajahku yang mengeras—kecewa bercampur sedih. Dia melakukannya, bahkan dia sudahmelakukannya. Tidakkah kau berpikir terlebih dahulu? Tidakkah kau berpikir bahwa apa yang kau perbuat ini menyakitkan?—dari sudut mataku, aku tahu dia hendak menangis. Tubuhnya bergetar dan nafasnya beradu, bergerak mendekatiku secara perlahan dan beberapa detik kemudian kurasakan sentuhan tangannya yang hangat mendekap tubuhku, dia memelukku.


Terakhir kali.


Tanpa menoleh, tanpa memandangnya, dan tanpa berujar sepatah kata pun, aku melepaskan pelukan hangat itu. Tubuhku bergetar ketika tangan mungil itu harus kulepaskan dari genggaman tanganku yang besar. Tubuhku bergetar ketika kedua hazelnya menatapku dengan tatapan bersalah, dan tubuhku pun bergetar ketika langkahku mulai menggiring tubuh kurus ini menjauhinya, meninggalkannya, melepasnya.


Aku tak rela, namun apalah daya.



Dan inilah aku, dengan cerita cinta yang pupus.


***


“Jadi kau tinggalkan dia di taman? Di bawah terik sinar matahari yang panas seperti ini? Sendirian?”


Pengecut. Hanya bisa menjawab dengan anggukan.


“Kau gila!! Bagaimana kalau dia sakit??”


Pecundang. Hanya bisa menjawab dengan cara mengendikkan bahu.


“Aku tak mengerti jalan pikiranmu, setidaknya kau bisa bersikap gentle sedikit—mengantarnya pulang atau apa?” Aku terdiam lagi sembari meneguk segelas kopi yang berada di gelas kecil di tangan kananku. Sudah satu jam berlalu ketika Nao-chan memutuskan hubungan, dan berarti sudah hampir satu jam berlalu aku berada di sini—di sebuah kedai kopi yang terhitung sepi di desa Hakamadote ini.


Bersama kakakku, kakak kandung yang diasuh keluarga ibuku, kami duduk termangu di kedai kopi yang sepi—dengan arsitektur bangunan khas jepang pada umunya, dengan dominasi kayu yang berada di mana-mana yang menampakkan kesan tradisionalnya, kami duduk satu meja, di pojok sudut sebelah kanan. Lelaki berbaju hitam yang sepantaran dan berbeda dua tahun denganku ini bernama Reichi, rambut dan iris matanya sama-sama hitam, sama sepertiku, hanya saja dia menggunakan kacamata minus dua yang menutupi bola matanya yang jernih. Sebagai kakak, dia berkali-kali mengintrogasiku dengan pertanyaan yang sama. Kenapa, ada apa, dan bagaimana.


Aku muak. Bukan karena pertanyaan, tapi karena pernyataan.


“Sudahlah—aku lelah, bisakah kau tinggalkan aku sendiri di sini?”


Agar aku bisa menenggelamkan diri? Melarikan diri?


Aku tak tahu, sungguh. Bagaimana raut wajah kakakku itu atau bagaimana reaksinya sewaktu dia beranjak pergi aku benar-benar tak tahu. Dan aku tak mau tahu. Kenapa? Tidakkah kalian mengerti posisiku sekarang ini? Aku hancur, dan aku jengah. Tidakkah kalian mengerti perasaanku sekarang ini? Aku sakit, dan aku muak. Apa itu cinta. Omong kosong. Aku tak pernah membual—apalagi bergombal lagaknya pujangga Bahkan menjadikan diri sebagai Arjuna pun tidak.


Lalu kenapa harus seperti ini?


“Iku… Tetsu? Sedang apa di sini?”


Aku mengangkat wajah begitu nama kecilku disebut. Seorang gadis yang kutemui di Fujisaki beberapa waktu silam kini nampak di hadapanku., dengan kaus berwarna pink yang tanpa lengan dan celana pendek berwarna coklat muda berdiri terpaku, memandangku seolah aku adalah wisatawan asing yang miskin—datang ke kedai tua seperti ini. “Sedang apa di sini?” Dia mengulang pertanyaannya, dan aku hanya menatapnya sinis.


“Tidak sedang apa-apa”


Jawabanku memang ketus, tetapi gadis itu ternyata lebih keras kepala dari yang kuduga. “Kalau begitu boleh aku duduk di sebelahmu?”—belum saja kujawab, dia sudah menyenyakkan diri di sebelahku, duduk manis di bantal duduk sebelah kananku. Aku memalingkan wajah, memandang ke arah luar kedai dengan tatapan kosong. Sungguh, kejadian tadi benar-benar menyakitkan hatiku.


“Aku muak dengan sikapmu ini, Tetsu-chan…”


“Kau ini kenapa sih?” Aku refleks menoleh, menatap gadis berambut pirang itu dan memandangnya dengan kesal yang kemudian kuacuhkan lagi gadis cantik itu. Mataku menerawang—ingatanku selalu saja berlabuh pada kejadian satu jam yang lalu itu. Entah kenapa. Padahal demi Tuhan, aku mencoba melupakannya—membiarkan ingatan itu menghilang, tetapi semakin aku berusaha, aku semakin mengingatnya. “Apa kau masih marah soal ciuman waktu itu?”


Aku menoleh lagi, menatap kedua hazel gadis itu seketika. Memandangnya lama seolah dapat menembus raga dan menyentuh jiwanya seketika. Aku memandangnya, memikatnya. “Kenapa? Kau suka, eh?” Wajah gadis itu bersemu merah—dan senyum langsung terukir di wajahku. “Kau suka?” kuulangi lagi pertanyaanku sampai tiga kali hingga pada akhirnya sebuah anggukan kecil tergambar dari reaksi nona muda ini.


Aku tersenyum.


“Aku tidak mengenalmu.”


Demi Tuhan, aku pun tak mengenal diriku sekarang.


Tangan kiriku yang bebas kini terangkat, menyentuh paras cantik wajah gadis dihadapanku ini dengan tatapan hangat terpancar dari kedua kristal hazelnya. Aku tersenyum, tipis; dia pun demikian. Kuusap wajahnya yang lembut dan aku balas tatapan hangatnya. Bola mataku berputar liar, memandang lekuk wajah gadis itu dengan senyuman nakal terukir di wajahku. Aku mendorongnya—memaksa tubuh mungil gadis itu menyender pada tembok berlapiskan kayu di belakangnya; ku jatuhkan pandangku pada bibir rona merahnya. Menggoda.


“Aku ingin sesuatu darimu”


Ku dekatkan wajahku dengan wajah putihnya hingga kedua hidung kami menempel—kami saling pandang, kedua hazelnya menatap lurus ke arah bola mataku, memandangku semu antara mau dan malu. Ah, kau menggodaku. Aku tersenyum lagi, kubelai entah untuk keberapa kalinya wajah putih di hadapanku itu dan kusentuh tubuhnya dengan tangan kananku yang bebas. Sempat ada penolakan dari gadis itu ketika tangan kananku mulai meraba tubuhnya—menyentuh bagian perut hingga punggungnya tetapi penolakan itu berangsur hilang seiring senyuman manis dari parasnya yang cantik—dia menggodaku, lagi.


“Tetsu? Kau kenapa?”


“Apa yang kau mau?”
“Cium aku”


“Ciuman?”


Wajah gadis belia itu mendadak merah—aku tak peduli. Dia membuka mulutnya yang kemudian langsung kuredam; aku menciumnya sedangkan kedua mataku tetap mengarah menatapnya. Hazelnya menyiratkan keterkejutan yang terlihat jelas, namun aku lebih mendominasinya.


Aku menciumnya.


Ingatanku tak lepas dari sosok Naoko Ikeuchi yang terus membayangiku, sosoknya yang ceria sering melintas di benakku. Aku tak bisa lepas. Kurasakan gadis ini memberontak namun bibirnya yang merah terus kukulum dalam diam, dia mengerang ketika tanganku yang bebas mulai meraba tubuhnya, mendesah ketika tanganku mulai menyentuh tubuhnya. Gadis ini perlahan mulai menutup kelopak matanya, menyembunyikan kedua permata hazelnya yang tak lagi menyiratkan keterkejutan seolah menikmati semuanya, sedangkan tangannya kini terangkat ke atas pundakku, menyentuhku, dan kemudian memelukku.


Aku menciumnya.


Dan aku pun memeluknya—kudekatkan tubuhku pada tubuh gadis mungil ini dan kupeluk erat. Dia mengerang, namun aku tak peduli.


"Tetsu?”


Kenapa kau tak menyapaku seperti biasa?


Aku membuka mataku, menyadarkan segala lamunanku yang sedari tadi melayang jauh, mengumpulkan segenap nyawaku yang rapuh dalam satu tumpuan nafsu. Mataku membulat besar, menatap sosok gadis di hadapanku. Tubuhku mundur secara perlahan, kulepaskan pelukan itu dengan canggung sedangkan kedua iris mataku tetap menatap gadis belia di hadapanku ini.


“Tetsu?”


Gadis itu bertanya lagi dan perlahan kesadaranku semakin pulih. Dia adalah Megumi Nobu, bukan Naoko Ikeuchi. Aku terpana—lebih tepatnya, aku ternganga. Tubuhku semakin menegang dan aku pun semakin mundur secara perlahan, sedangkan gadis itu menatapku heran. Raut wajahnya mendadak kecewa dan kedua hazelnya menyiratkan pertanyaan yang besar.


“Maaf—“


“Kenapa? Kenapa kau meminta maaf?”


“Aku—“ Khilaf. Sungguh. “—aku kira kau adalah Naoko.” Tak ada reaksi dari gadis belia ini setelahnya. Kedua kristal hazel miliknya tetap menatapku dalam diam, begitu juga aku. Kami saling pandang—meski masing-masing raut wajah kami tak bisa di tebak. Apakah dia marah? Apakah dia kecewa? Atau mungkin bahagia? Aku tak tahu, yang ada di benakku kini hanyalah satu pertanyaan—siapa aku.


“Maaf” Kuutarakan maafku sekali lagi namun gadis itu menggeleng perlahan. Bibir rona merahnya tersenyum manis, menatapku lekat-lekat. “Kau tidak—marah?”


“Aku—aku tak keberatan, Tetsu” dia terdiam, menggantungkan kalimatnya dan mengigit bibir bawahnya, menatapku canggung meski kedua hazelnya tetap terpaku kearahku. “Sudah kubilang bukan bahwa aku menyukaimu?”


—Ya. Aku tahu


“Aku tak keberatan, karena aku benar-benar menyukaimu.”


Senyum manis terukir di wajah gadis itu sekali lagi—cantik, namun hatiku semakin perih. Tak sadarkah kau bahwa aku telah melukaimu? Melukai dua orang gadis dalam satu waktu? “Aku—yah, aku tahu bahwa hari ini aku tak hanya melukai perasaanmu seorang…” lagi-lagi terdiam dan mengatupkan mulut serta rahangku kuat-kuat meski gadis belia ini masih senantiasa menunggu. “…Kami—aku dan Nao sudah putus—dan aku tak mengerti letak kesalahanku.” Pengecut, memang. “Aku tak bisa menciumnya, aku tak berani—“


—meski ternyata aku malah menciummu.


“Kenapa? Kenapa kau tak menciumnya? Lalu kenapa kau berani menciumku?”


Aku menggeleng—aku pun tak tahu.


“Apakah itu berarti selama ini kau tak menyukai Ikeuchi-san?”


Iris mataku terbelakak—menatap gadis belia berambut pirang ini dengan tatapan percaya dan tidak percaya. Dia membalas tatapanku, menatapku penuh pernyataan. “Aku menyukainya—bukannya aku tak mau menciumnya, tetapi semua itu karena aku mau menjaganya.” Terdiam. “Aku tahu aku salah—tapi bukankah ada cara lain selain berciuman? Maksudku, aku menunjukkan rasa sukaku dengan cara lain, yaitu menjaganya—menjaganya sebagaimana seorang gadis pada umumnya. Aku tak mau membuatnya terlu—”
—PLAK!!


Terdiam, entah untuk yang keberapa kali meski tamparan gadis itu melayang sudah ke pipi kananku. Aku terpana—menengadahkan kepalaku memandang Megumi Nobu yang juga memandangku dengan senyuman pahit terlukis di wajah cantiknya. “Kau tahu? Caramu mencintai itu salah.”Tak bergeming, kami membisu.“Kalau kau terus begitu maka kau akan kehilangan dia—selamanya” Gadis itu kini bangkit dari duduknya, merapihkan baju dan penampilannya meski aku tetap terdiam—seolah tak peduli.


Ternyata tidak. Dia peduli.


“Kau harus berbuat sesuatu untuk membuatnya yakin bahwa kau menyukainya—seperti yang aku lakukan padamu…” Gadis itu tersenyum tipis, membalikkan tubuhnya dan berlalu meninggalkan aku sendiri di sini. Meninggalkan aku dengan sejuta pikiran yang berkecamuk dalam otakku yang kecil. Dan aku masih saja seorang pecundang. Tetap termangu dalam tempat duduk meski hatiku terus memaksa tubuh kurus ini bangkit dan berlari—aku terdiam, menatap sosok gadis berambut pirang itu perlahan meninggalkanku di sini, gadis itu berlari anggun keluar dari kedai. Dia berlari—tetapi bukan menghindar.


Tidak sepertiku. Pengecut.


Aku paham bahwa aku hanyalah lelaki berusia tujuh belas tahun yang masih tak bisa mengerti perasaan orang lain—aku tahu aku egois, tetapi hatiku aku berkata lain. Aku bukan seorang pengecut. Meski mulutku tetap tertutup dan rahangku tetap terkatup rapat meski tubuhku tetap membeku sedangkan nafasku beradu—aku tahu, aku bukan seorang pecundang. Dan aku adalah aku. Entah kenapa, kini kakiku yang panjang mulai melangkah—berlari kearah ufuk timur dari kedai tua ini meski nafas mulai tersengal dan letih menguasai ragaku. Aku berlari bukan untuk mengejar matahari. Aku berlari untuk mengejar cintaku.


“Nao—“


Taman Hakamadote lagi untuk kedua kalinya. Gadis berambut hitam itu masih duduk manis di kursi kosong yang sama. Gadis berambut hitam itu masih tertunduk menatap butiran pasir yang berlarian diterpa angin. Gadis berambut hitam itu masih ada—duduk menunggu, entah apa.


“Nao…” Aku mengulang ucapanku sampai akhirnya gadis mungil itu mengangkat wajahnya dan menatap wajahku. Tak ada tanda-tanda dia habis menangis, tetapi aku tahu hatinya terluka—sama sepertiku. Kucoba melukis senyum di wajahku, memandang kedua hazelnya dengan lembut—duduk berjongkok dihadapannya, dengan kaki kananku yang mengecup tanah dan kaki kiri yang kutekuk untuk menyangga tubuhku. Aku berlutut.


“Bisakah kita kembali?” kedua hazelnya menatapku dalam-dalam, memandangku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Aku hanya tersenyum tipis. “Bisakah kau tarik ucapanmu? Aku tahu, aku bukan lelaki yang pandai berujar kata—aku tahu, aku tak lebih dari seorang lelaki yang tak bisa menghargai perasaan wanita, tetapi aku memang tak bisa munafik—“ Terdiam, lagi. “—aku menyukaimu, Naoko.”


“Kenapa? Kenapa baru sekarang kau bilang begitu?”


“Karena inilah aku—aku bukan seorang pujangga yang selalu berujar manis. Bukan pula seorang arjuna yang selalu menampakkan kasih sayang dan cintanya setiap saat. Aku adalah aku, Nao. Dan aku menyukaimu sebagaimana diriku sendiri—meski aku tahu, aku jauh dari harapanmu.” —Kedua hazelnya berkaca-kaca, dia hampir menangis lagi. “Dan aku menyukaimu sebagaimana dirimu sendiri.”


“Bisakah kita kembali?”


Aku tersenyum dan memeluk tubuh mungil itu erat. Mataku terpejam dan menarik nafas lega ketika tubuh gadis ini bergetar menangis—entah terharu, entah kesakitan.


“Tetsu-chan…” Aku membuka mataku, bedeham pelan tanpa melepas pelukkanku. “…Tapi aku masih mau menagih ciuman darimu~”


“HAH?!”


“Boleh tidak? Kalau tidak putus lagi saja~”


—^@(#&*@(#&@*$^*#




* * *


Judul : Dilemma

Rating : 15 tahun ke atas

penulis : Deela

Disclaimer :

  • Jajaran Staff Ryokubita dan para murid.
  • Tetsuyama Ikuya
  • Reichi Shibasaki
  • Megumi Nobu
  • Naoko Ikeuchi

Terima kasih kepada :

  • Hiromi Fujiwara as Zivya
  • Megumi Nobu as Yuki
  • Tetsuyama Ikuya as Deela
  • Reichi Shibasaki as Deela
  • Naoko Ikeuchi as Mira
  • dan kalian yang membaca :)
Versi Megumi Nobu, kau bisa membaca di sini dengan judul This Love, written by Yuki Aikawa

    Label: , , , , ,



    + Follow

    ▼▼▼
    幸せはすぐそばにあります。
    Happiness is just around the corner.
    // Next