<body>
事実 - じじつ (fact)
Jumat, 21 Mei 2010 @5/21/2010 01:21:00 AM











Reichi Shibasaki, 10 years old on this story.
Student, Ryokushoku o Obita.



*


Yokohama, 1994.

Look at me,
You may think you see who I really am,
But you’ll never know me…


Sore hari, ketika sang matahari sudah mulai berangsur-angsur turun untuk tidur, keadaanku hari ini masih sama seperti hari-hari seperti kemarin. Ya, lagi-lagi seperti ini keadaannya, tak berubah; kalau memang ada perubahan, maka perubahan itu hanyalah dampak negative, seperti misalnya orang-orang di sekelilingku menjadi lebih banyak dari kemarin, mengerumuniku seolah aku adalah mangsa yang pas untuk di terkam. Kerumunan itu tertawa lebar, terbahak-bahak seolah tenggorokannya sudah mau copot bahkan mungkin pita suaranya sudah putus. Aku mengendus kesal.

“Hahahah! Shibasaki dari mananya? Hahahah!!” lelaki berkepala botak itu berujar lantang, di susul gelak tawa yang lagi-lagi membahana.

“Shibasaki palsu!! Hahaha!!”

“Katanya dari luar Jepang kan?”

“Lihat, rambutnya juga hitam sendiri!!”

“Dia beneran Shibasaki bukan sih?”

“Anak pungut!! Hahahah!!”


*


Now I see, if I wear a mask I can fool the world.
But I cannot fool my heart


“Ichi? Kenapa diam begitu?”

Aku menoleh, menatap sosok wanita setengah baya yang masih menampakan paras cantik di usianya yang lanjut, menatap kedua permata hazelnya yang lembut. Aku hanya tersenyum sembari menggeleng pelan. Dari ekor mataku, lelaki yang jauh lebih tua dari wanita yang biasa aku sebut Okaasan pun nampak mengerutkan alisnya, menatapku heran sembari sesekali memandang istrinya. “Sakit ya? Dari tadi makanannya tidak disentuh sama sekali, ada apa?”

“Aku benar-benar tak apa-apa, Okaa-san, Otou-san…”

Tersenyum, namun kedua orang itu tidak.

Perlahan, ketika jarum jam sudah bergerak melewati waktu makan siang, aku mulai meletakkan sumpit beserta mangkok nasi yang hanya berkurang sedikit, membiarkannya tanpa sedikit pun niat untuk menyentuhnya lagi. Menunduk dalam dan menatap bantal dudukku yang berwarna merah tua, suasana makan siang di rumah keluarga kecil bermarga Shibasaki ini pun mulai terasa asing.

“Ada apa?” Otousan kali ini angkat bicara, meletakkan sumpit dan mangkok nasinya; melipat kedua tangannya tepat di atas dada. Ah, inilah ciri khasnya kalau sudah mulai mengintrogasiku. “Bilang saja, Ichi. Kalau kau ada masalah, atau butuh sesuatu, atau apalah itu namanya, bilang pada kami, ceritakan pada kami, kami akan bantu sebisa mungkin.”

Aku memandang lelaki berwibawa itu dengan tatapan penuh harap bercampur cemas.

“Benar Ichi, ceritakanlah ada apa.” Okaasan berbicara lagi, kali ini sembari membelai rambut hitamku yang pendek, yang pada kenyataannya kedua orang dihadapanku ini memiliki rambut coklat kemerahan. Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahku yang memerah karena menahan tangis dari tatapan kedua orang itu. Menghindari kedua permata hazel dari ibuku dan manik coklat dari ayahku—menyembunyikan mataku yang berwarna hitam.  “Reichi?” Suara Okaasan mulai terdengar cemas, lebih cemas dari sebelumnya seakan-akan beliau ingin menangis mendapati seorang lelaki bernama Reichi Shibasaki seperti ini—linglung. Aku terdiam, mengangkat wajah dan memandang kedua wajah orangtuaku secara bergantian. “Ichi?” Okaasan bertanya sekali lagi, suaranya semakin terdengar sangat cemas.

“Anoo—Okaasan, Otousan..”

Jeda.

 “…Siapa aku?”


*



Who is that girl I see, staring straight back at me.
When will my reflection show who I am inside?


“Jangan di ambil hati ya Rei-chan, mereka semua memang begitu!!”

“Tidak—aku bahkan tidak peduli.” Mengendus kesal, aku berjalan cepat menuju ayunan di ujung sana, menduduki salah satunya dan memegang erat kedua rantainya. Gadis berambut coklat kemerahan itu tersenyum tipis dari kejauhan, kemudian berjalan lincah sembari sesekali melompat-lompat mendekatiku; ikut duduk di ayunan satunya lagi.

Dia mulai berayun. “Mii-chan suka kok sama Rei-chan!! Mereka saja yang sok-sok dewasa jadi seenaknya begitu!! Reichan jangan tersinggung ya!!”

“Kan tadi aku sudah bilang, aku tidak peduli!!”
—Begitukah?

Gadis itu hanya tersenyum lebar, berayun-ayun menyenangkan. Sembari cemberut, aku mulai memegang erat rantai di kedua sampingku, memijakkan kaki di atas tanah dan mulai menendangnya kebelakang, aku mulai berayun juga. “Jadi, selama sembilan tahun kemarin Rei-chan tinggal di Amerika ya?”

Aku mengendikkan bahu sembari sesekali menendang tanah lagi, membiarkan ayunan ini melambung tinggi hingga menyentuh langit. “Tidak tahu, tapi yang aku ingat aku memang tinggal di sana kemarin. Kalau untuk sejak kapannya sih, aku sama sekali tidak tahu pasti.”

“Enak tidak tinggal di sana?”

Menendang tanah lagi; berayun. “Enak, di sana semuanya serba praktis.”

“Apa di sana ada yang mengejek Rei-chan seperti di sini?”

Seolah tertohok, aku langsung memaksa ayunan ini berhenti seketika; terdiam lama, memandang gadis berambut merah kecoklatan di sebelah kananku itu dengan tatapan masam. “Tidak. Tidak ada satu pun.” Gadis itu memiringkan kepalanya ke kanan, menatapku dengan heran dengan sejuta tanda tanya di otak kecilnya.

“Jadi Rei-chan tidak suka di sini dong? Kan di sini ada yang suka mengejek Rei-chan...”

….

Dia berayun lagi, menendang tanah sekuat mungkin sembari mengayunkan tubuhnya. Surai rambutnya yang berwarna merah kecoklatan langsung menari-nari di belakang kepalanya, mengikuti hembusan angin yang kencang. Aku terdiam sembari tetap memandang gadis yang semakin lama semakin berayun tinggi. “Apa Rei-chan akan kembali ke sana?”

“Eh?”

Gadis itu tetap berayun. “Apa Rei-chan akan kembali ke sana? Ke Amerika?”

“Entahlah—aku sendiri tidak tahu, aku sih ikut kedua orangtuaku saja.” Mengendus kesal, aku menendang tanah dan mengayunkan tubuhku, ikut berayun. “Apa kau mau aku pergi, Mii-chan?”

Dia tertawa lepas mendengar pertanyaanku, seolah aku melawak. “Tidak mau, habis Rei-chan orangnya asik sih!!”

“Meski aku sering di ejek?”

“Lalu?”

“Mungkin—bisa jadi kau ikut di ejek?”

“Hahaha!! Mau Rei-chan di ejek karena apa, mau karena siapa, bahkan mau Rei-chan itu ada atau bahkan tidak, Mii-chan tidak peduli. Mii-chan suka kok!!”

“Meski aku bukan Shibasaki?”

*

Look at me, I’ll never pass for the perfect bridge
Or perfect daughter.

“Apa maksud pertanyaanmu, Ichi?”

Aku menelan ludah, mengangkat wajahku; memberanikan diri menatap kedua permata hazel Okaasan yang menatapku cemas. Dari ekor mataku pun, tampak ekspresi tanda tanya besar yang nampak dari raut wajah Otousan di sampingku, menatapku seolah aku sudah gila.

Suasana makan siang hari ini mendadak seperti ruangan pengadilan.

“Yahh—aku ini siapa?”

“Kau ini Reichi. Reichi Shibasaki.”

“Begitukah?”

“Memangnya ada apa Ichi?”

Jeda.

“Aku ini Shibasaki yang berbeda, kan?” Kedua orang paruh baya di hadapanku itu pun terdiam, menatapku cemas sekaligus heran dengan setiap tutur kata pertanyaanku. “Aku ini bukan Shibasaki kan? Rambutku hitam, sedangkan rambut kalian berdua berwarna coklat kemerahan. Bola mataku juga hitam, sedangkan Okaasan bermanik hazel dan Otousan bermanik coklat. Bukankah itu tandanya aku berbeda?” Mereka saling pandang, kemudian berpaling lagi menatapku dengan ekspresi ganjil yang belum pernah aku lihat sebelumnya. “Okaasan? Otousan?”

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu, Ichi?” Okaa-san mulai bertanya, tangannya yang sudah agak kasar dan keriput kini terangkat; membelai rambutku secara perlahan. “Apakah hanya karena itu? Apakah hanya karena perbedaan-perbedaan seperti itu?”

Aku menunduk, tak berani menjawab.

“Apakah sudah saatnya? Inikah waktu yang tepat?” Otousan berujar, bertanya dengan nada gusar sedangkan Okaa-san masih saja terdiam, masih membelaiku lembut. “Ichi, tolong jawab sekali saja, ada apa? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu??”

“Karena kita berbeda.”

“Hanya itu?”

Aku terdiam.

“Benar hanya itu, Ichi?” Mengangguk singkat, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku. Otou-san menghela nafas berat, menelengkupkan wajahnya diantara kedua telapak tangannya yang besar dan samar-samar pula, aku mendengarnya terus-menerus bertanya-tanya pada dirinya sendiri—Dan kemudian, secara perlahan lelaki itu mengangkat wajahnya, memandang kedua kelereng mataku lekat-lekat. “Apa jadinya, apa yang akan kamu lakukan, apa yang akan kamu perbuat, kalau ternyata semua pertanyaanmu itu benar adanya? Kalau ternyata, kau ini bukan Reichi Shibasaki?”

….

“Kalau kamu merasa perbedaan itu adalah penyebabnya—“ jeda. “—maka itu lah jawabannya. Kau memang berbeda dari kami Ichi, karena kau memang bukan anak kami.”

*

I’m not man to play this part.


“Maksudnya Rei-chan apa sih?”

Sore ini masih terhitung cerah, meski matahari tak lagi menampakkan dirinya secara sempurna. Angin pun masih berhembus lembut, menampar-nampar pipi ketika tubuhku ini berayun menghadangnya. Gadis yang menyebut dirinya dengan nama Mii-chan itu berhenti berayun, memandangku heran meski aku masih tengah berayun-ayun riang. “Rei-chan bukan Shibasaki? Bukannya nama Rei-chan itu Reichi Shibasaki? Mii-chan enggak ngerti deh.”

Aku tersenyum lebar, menendang tanah keras-keras; berayun. “Bagaimana kalau ternyata, Rei-chan itu bukanlah Rei-chan yang kau kenal?”

“Tidak masalah, Mii-chan tetap menyukai Rei-chan kok!”

Gadis itu nyengir lebar, mulai kembali berayun-ayun riang di ayunannya. Tertawa. Gembira. Kami masih berayun-ayun meski tak lagi mempedulikan gerak waktu yang terus berputar—menyenangkan, sebagaimana seorang anak berumur sepuluh tahun menghabiskan waktunya untuk bermain-main seperti ini, tanpa ada beban, tanpa ada masalah, dan tanpa ada ejekan.

—Meski itu berarti harus lari dari kenyataan.

Nyengir—“Kenapa kau menyukaiku sih?”

Mii-chan melambatkan gerakan ayunannya, sama-sama tersenyum lebar. “Kan tadi Mii-chan sudah bilang, Rei-chan orangnya asik sih!! Tidak pilih-pilih teman, tidak sombong, seru, menarik, pokoknya semuanya deh Mii-chan suka!!” Kemudian dia menoleh kearahku. “Apa Rei-chan menyukai Mii-chan?” Nyengir lagi. “Kok malah diem sih? Mii-chan kan bertanya serius!! Rei-chan suka tidak sama Mii-chan? Hehehe—Jadi, ceritakan dong Rei-chan ini siapa?”

“Hahaha!! Iya iya, aku juga menyukaimu kok Mii-chan, kau orangnya juga asyik dan tulus terhadapku. Terima kasih ya!! Dan aku sekarang ini adalah Pahlawan kebenaran!! Muahahahah!!” Dengan kedua tangan diatas, aku mulai bergaya lagaknya pahlawan kebenaran seperti kamen rider yang aku sendiri menontonnya saja belum pernah. Cuma tahu tentang Doraemon sih.

Mii-chan tertawa. “Serius deh!! Jadi Rei-chan ini siapa?”

Menendang tanah dan berayun pelan. “Reichi Ikuya.”

“Reichi—apa?”

*


Now I see, let if I were truly to be my self,
I’ll break my family hearts.


“Bukan anak kalian?” Otousan hanya terdiam memandangku dengan ekspresi yang tak bisa aku jabarkan. Mencari jawaban yang lebih pasti, aku menoleh memandang Okaasan yang malah nampak ingin menangis, mata dan hidungnya memerah dengan kedua tangan yang meremas-remas celemek masaknya; semakin membuatku bingung. “Okaasan? Otousan?”

Benteng pertahanan Okaasan runtuh sudah ketika aku menyapanya. Air matanya tumpah dengan nafas yang semakin pendek; terisak lirih. Aku mengkerutkan alis.

“Kau bukanlah Reichi Shibasaki—“ Otousan membuka suara, dia mulai berujar lirih meski ekspresinya tetap datar dan tenang. “Kau bukanlah anak kandung kami, Ichi. Nama aslimu adalah Reichi Ikuya, kau adalah anak kandung dari kakak ibumu yang sewaktu bayi dia menyerahkanmu kepada kami dan kami langusng mengangkatmu sebagai anak.”

“Jadi aku ini—dibuang?”

Otousan menggeleng. Ambigu, antara tidak dan tidak tahu.

“Lalu?”

“Ada alasan khusus yang mungkin lebih baik keluargamu menjelaskan langsung kepadamu—“

“Kalian keluargaku!!”

“—karena kami tidak berhak, kami hanya bertugas mengasuhmu, merawatmu, seperti anak kami sendiri. Sungguh, tidak ada imbalan atau imbauan khusus kepada kami, kami tulus merawatmu, Ichi.” Suara Otousan mulai serak, matanya mulai berkaca-kaca, dan tubuhnya sedikit bergetar.

“A-aku tidak mengerti!! Okaasan??” Mencoba mencari perlindungan serta jawaban dari Okaasan, aku mulai menoleh dan mendapati beliau hanya menggeleng sembari terisak semakin lirih. Sedih. Aku menahan nafas, mengkerutkan alis, dan mengepal kedua telapal tanganku erat-erat—mencengkram ujung kemeja kotak-kotak yang kukenakkan. Emosiku mendadak meluap, aku marah, aku kesal, kecewa, bahkan frustasi. Kalau begitu, kenapa aku harus di buang dari keluarga asliku? Kenapa juga mereka mau merawatku kalau ternyata semua itu hanyalah sebuah ‘tugas’?

“Maafkan kami Ichi…” Okaasan berseru lirih meski tidak memandangku. Aku masih terdiam terpaku, beradu nafas seolah habis lari maraton dengan pemikiran semerawut. “Kami tidak bermaksud merahasiakan ini, kami pun berencana untuk memberitahukan padamu semuanya suatu hari nanti—dan kami tidak menyangka, hari itu adalah hari ini.”

Aku terdiam.

“Apa kau marah pada kami?” Otousan berseru, bertanya dengan nada pelan yang hampir tidak terdengar. Aku mengendus pelan kemudian menggeleng. “Marahlah kalau kau memang marah, tapi kami mohon tolong jangan membenci kami—“

“Aku tidak membenci kalian…” Jeda. “… Hanya saja, aku terkejut akan kenyataan seperti ini, mengetahui bahwa aku bukanlah siapa-siapa di sini—entahlah, aku tidak tahu. Aku masih tidak bisa mengerti semua ini, aku hanya merasa—” Menunduk rendah sembari memilin ujung kemeja, aku mulai merasakan air mata mulai membasahi pipiku perlahan, wajahku panas, dan nafasku mulai pendek-pendek. Menangis.

“Ichi—sayang…” Okaasan memelukku; pecah sudah tangisku dalam pelukannya. “Maafkan kami, nak…” Aku menggeleng meski masih menangis sedu. “Menangislah sepuasnya Ichi, menangislah sampai kau merasa lega…”

….

“Okaasan, Otousan…” Kubuka mulutku dan berbicara dengan suara serak tanpa berusaha melepaskan diri dari dalam pelukan Ibuku. “… Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Apa saja, apa saja.” Otousan berseru, suaranya sama seraknya sepertiku.

“Apa alasan kalian mau merawatku?”

*

“Jadi, Mii-chan harus memanggilmu apa nanti?”

Aku menoleh, menatap kedua hazel gadis berambut coklat kemerahan itu dengan ekspresi tanda tanya dalam benakku. Mii-chan memandangku juga, dengan kepala yang agak miring ke kanan, dengan alis mengkerut  bingung. “Memanggilku apa? Kau kan memanggilku ‘Rei-chan’?”

Gadis itu menggeleng. “Maksudku, margamu nanti? Reichi Ikuya atau Reichi Shibasaki?”
Tertegun lama, aku hanya bisa mengkerutkan alisku. “Shibasaki.”

“Loh? Katanya Reichi Ikuya?!” Mii-chan berseru protes, kakinya langsung disentakkan ke atas tanah dan membuat ayunannya berhenti seketika. Aku tertawa. “Jadi mana yang benar sih?”

“Shibasaki!! Di bilang dari tadi Shibasaki kok masih saja nyangkal—aku memang Reichi Ikuya, itu marga asliku, tetapi sampai sekarang kan aku tidak tahu Ikuya itu siapa, aku bahkan baru tahu kenyataan itu kemarin kok, jadi margaku tetap Shibasaki dong!!” Tersenyum tipis. “Dan aku sama sekali tidak berencana mengubahnya.”

Mii-chan mengendikkan bahu, mencoba mengacuhkan. “Terserah deh—bagi Mii-chan kau tetap Rei-chan!!” Nyengir lebar, gadis itu mulai mendongkak kaget. “Astaga sudah hampir malam! Mii-chan pulang duluan ya!! Nanti pasti kena omel kalau terlamabat!!” dia berdiri, meninggalkan ayunannya sembari berlari kecil dan sesekali melambai ke arahku—dan tiba-tiba dia berbalik. “Ngomong-ngomong sebelum Mii-chan pulang, Mii-chan penasaran, apakah kau menanyakan alasan kenapa kedua orangtuamu itu mau merawatmu?”

Aku tersenyum lebar.

“Sebenarnya sederhana.
Karena kami mencintaimu.
Cukup sesederhana itu.”

***





Judul : 事実 - じじつ (Fact)



Rating : 13+
penulis : Deela

Sedikit Kata :
FF yang di buat dengan sistem tabrak lari, jadi maklum kalau ada salah kata atau deskrip aneh = =a bahkan timeline yang loncat-loncat :|



Disclaimer :



  • Jajaran Staff Ryokubita dan para murid.
  • Reichi Shibasaki
  • Mizuhara Miho
  • Lirik lagu Reflection @ ost. Disney dan Christina Aguilera


Terima kasih kepada :


  • Reichi Shibasaki as Deela
  • Mizuhara Miho as PM nya nanti B-)
  • dan kalian yang membaca :)

Label: , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next