<body>
Love is beautiful - Chapter 1
Minggu, 01 Mei 2011 @5/01/2011 07:56:00 PM




Bunkyō, Tokyo ;; 2009.






“That’s why I was born, And now I’ve finally found you”

-Tetsuya Ogawa-





29 Maret 2009; 09:35 AM – Tokyo.




Kata orang, aku ini lucu dan menggemaskan.

Halo. Perkenalkan, aku adalah sebuah boneka Teddy Bear berwarna coklat muda. Ukuranku terhitung besar ketimbang ukuran boneka-boneka beruang lainnya. Kalau di ukur dari tubuh manusia jika mereka berdiri, tinggiku bisa sampai betis mereka dengan tubuh besar berbulu tebal—dan itu posisiku ketika sedang duduk, sedangkan kalau berdiri aku bisa sampai sepinggang mereka—sangat besar bukan? Karena besar, banyak sekali orang-orang yang memelukku dengan erat, menjadikannya bantal sesaat karena postur tubuhku yang sangat nyaman untuk di peluk. Aku sih sebenarnya sama sekali tidak masalah, tapi terkadang pelukan mereka yang berlebihan membuat bulu-buluku rontok.

Dan yang aku tahu hanya itu—bahkan aku belum mempunyai nama.

Kata laki-laki tua berambut coklat yang tiap hari membersihkanku dari debu, aku adalah boneka dengan produk terbatas—hargaku katanya terhitung mahal karena aku memang hanya ada satu-satunya di toko kecil ini. Tiap kali ada manusia yang datang ke arahku (yang kadang-kadang juga memelukku), lelaki itu selalu dan selalu menjelaskan kalau aku ini adalah boneka dengan produk terbatas, memaparkan alasan-alasan mengapa hargaku mahal, membeberkan kelebihanku ketimbang boneka yang lain, dan sebagainya. Terus terang saja aku sendiri tidak mengerti karena bagiku toh tetap sama saja, yang membedakan hanya ukurannya—yah, tubuhku memang lebih besar ketimbang yang lain.

“Halo beruang kecil—”

Lamunanku buyar seketika begitu kudapati ada yang menatapku—seorang lelaki, berkulit putih langsat dengan rambut lurus berwarna hitam kecoklatan setekuk, memandangku lekat-lekat melalui lensa kacamata bening yang menghalangi matanya yang hitam, dengan senyum sumringah memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Kedua tangannya bergerak menyentuhku, menggenggamku erat; mengangkatku dari meja kecil yang menjadi tempat tinggalku berhari-hari. Dia laki-laki yang sering kali aku temui di sini, yang sering kali datang bersama pasangannya.

Dan dia masih tersenyum hangat seraya memanggilku `beruang kecil`.

“—kau mau membantuku tidak?”

Aku tidak bisa berbuat apa-apa, bergeming pun tidak sekali pun sebenarnya aku sangat, sangat, sangat ingin mengangguk, mengiyakan permintaan lelaki itu dengan seulas senyum yang mustahil aku lakukan—tetapi lelaki itu nampaknya memiliki telepati tersendiri karena dia tetap membawaku pergi keluar; mendekapku dengan hangat. Dan itulah pertama kali aku merasa sangat bahagia, merasa sangat bersyukur karena mengenal lelaki itu dengan kekasihnya—Tetsuyama Ikuya dan Naoko Ikeuchi.




17 Maret 2009 – Tokyo.




“Ung~ Tetsu-chan dengar gak?!”

“Iya…”

“Kalau dengar kenapa dari tadi tidak melihat Nao?”

“Memangnya sejak kapan mendengarkan itu menggunakan mata, Nao-chan?”

Laki-laki berambut hitam yang sering kali datang ke sini sejak beberapa hari yang lalu itu sekarang sedang duduk di salah satu meja dihadapanku, bersandar pada kursi dengan kepala menunduk menatap fokus ke arah ponsel yang digenggam erat oleh kedua tangannya yang besar. Dia duduk di dekat jendela, dengan seorang gadis berambut pirang yang tengah menggelembungkan pipinya—sepertinya sedang kesal karena lelaki itu tidak merespon ucapannya? Aku tidak tahu, sedari tadi aku hanya memperhatikan tingkah mereka, sedangkan percakapannya sama sekali tidak bisa kudengar dengan jelas. Tempatku sekarang kurang lebih sekitar satu sampai dua meter jaraknya, dan telingaku kecil tertutup bulu—berharap banyak tidak ada gunanya.

“Iih~!! Nao sebal!! Nao mau pulang, titik!”

Lelaki itu untuk pertama kalinya mulai memandang gadis yang sedari tadi menyebut-nyebut dirinya bernama Nao dengan ekspresi sangat datar; dengan seulas senyum santai samar. “Ya sudah, sana pulang—”

Gadis itu menggelembungkan pipinya lagi. “TETSU-CHAN JELEK!!!”

“Kalau jelek kenapa suka—OUCH!! MAAF, BERCANDA!!!”

Dasar laki-laki aneh, sudah jelas-jelas Nao sebal dengan tingkahnya, masih saja menjahilinya dengan kata-kata seperti itu. Lihat, sekarang Nao secara refleks melempar bantal kecil yang ada di kursi ke arah lelaki itu (siapa tadi namanya? Tetsu-chan?) dengan pipi merah dan masih menggelembung—oh tidak, ternyata aku salah: lihat, kali ini bibirnya manyun. “Biar!! Nao benci Tetsu-chan!!!”

“Eeeehh—gomenne, kan aku bilang bercanda!! Lagian aku belum selesai ngomong udah main pukul aja—bercanda!! Bercanda!!” Tetsu tersenyum geli, wajahnya sama sekali tidak ada ekspresi penyesalan sedikit pun meski Nao sudah mengangkat tinggi-tinggi bantal yang kedua. Duh, dasar laki-laki aneh. “Maaf deh maaf, apa kau memang benar-benar sudah mau pulang? Aku antar ya.” Nao membuang muka, masih manyun. Tidak merespon apa-apa dan aku hanya bisa terkekeh dalam hati. “—udah ah jangan marah, nanti cepat tua loh. Jelek.”

“Ih, Tetsu-chan udah deh yaa, nggak usah cari gara-gara sama Nao! Jelas-jelas Nao kan imut begini.. Masih juga dibilang jelek, huu~ Lagipula, kalau Nao jelek, kenapa Tetsu-chan suka sama Nao? Pokoknya Nao mau pulaaang titik titik titik, dan Tetsu-chan harus mengantar Nao!”

“Yeee, dasar gak mau rugi. Ya sudah, yuk—bawel ah.” Tetsu tersenyum sendiri—sedangkan aku hanya bisa bengong memperhatikan dua orang dihadapanku itu, memperhatikan tingkahnya yang kekanakkan namun entah kenapa menggemaskan. Kalau saja aku bisa menggerakkan bibirku sedikit saja, pastinya seulas senyum tergambar di wajahku, antara menertawakan dan mengharapkan kedua orang itu melakukan tingkah anehnya lagi.

Dan itulah pertama kalinya aku mengenal Nao serta Tetsu secara tidak sengaja—mengenal dua orang yang sama sekali tidak bisa kuterka apa maunya.



28 Maret 2009; 10:00 AM – Tokyo.



“Tetsu-chan ingat tidak besok tanggal berapa?”

Laki-laki yang ditanya hanya bisa mengangkat alisnya tinggi-tinggi, kedua matanya memandang gadis dihadapannya dengan ekspresi datar dari balik kacamatanya, dan dia tetap duduk agak membungkuk dengan tangan kiri memegang segelas besar es krim rasa vanilla sedangkan tangan kanannya memegang buku tebal. Tidak ada reaksi, bahkan mulutnya pun masih tetap mengemut sendok es krim kecil meski kedua ujung bibirnya samar-samar sedikit naik. “Tanggal… lima mei?”

“Idih, ngaco. Sekarang kan masih bulan Maret!!”

“April—april mop? April fool?”

Gadis itu manyun. “Aaah, Tetsu-chan tidak seru ah—nyebelin.”

“Loh, aku kan bukan orang yang selalu bawa-bawa kalender kemana-mana. Lagi pula sebentar lagi aku ujian, jangan bicara yang aneh-aneh Nao-chan.” Tetsu mengibaskan tangannya, mengakhiri pembicaraan singkat dengan gadis bernama Nao itu. Pandangannya kembali teralihkan sekali lagi ke arah buku tebal itu dengan serius.

Dan lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam membisu sembari menatap dua manusia yang duduk sangat dekat denganku—tidak lagi di dekat jendela melainkan tempat mereka duduk kali ini hanya berjarak satu meja dari tempatku. Laki-laki itu bernama Tetsu, sedangkan gadis itu bernama Nao. Sudah hampir seminggu ini kedua orang itu sering kali datang ke toko kecil ini, sekedar untuk duduk dan meminum kopi atau es krim, sekedar membeli makanan kecil, bahkan hanya duduk-duduk berbincang-bincang menghabiskan waktu luang. Sebut saja mereka monoton—tapi sekali pun begitu bagiku tingkah mereka sangat lucu dan sangat membuatku penasaran.

Soal Tetsu yang tidak peka dan bodoh atau Nao yang kelewat enerjik dan manja.

Sebetulnya pengunjung toko kecil ini tidak hanya mereka berdua—tiap harinya selalu penuh, selalu dipenuhi dengan hiruk-pikuk celotehan manusia-manusia dengan beragam keinginan yang tidak habis pikir banyak sekali maunya. Terkadang aku merasa kasihan dengan pemilik toko ini, sering kali terlihat lelah dan kelimpungan melayani pengunjung—sekali pun sering kali aku mendapati mereka lelah, tak jarang pula justru mereka tersenyum bahagia, menikmati keringat yang mengucur deras tak ada henti—aneh, aku memang tidak bisa mengerti manusia.

“Tetsu-chan!! Tetsu-chan!! Sini!!!”

Eh?

Terlalu sibuk melamun, aku tidak sadar kalau tiba-tiba saja Nao sudah datang menghampiriku—hazelnya membulat lebar, kedua ujung bibirnya naik, membuat seulas senyum manis yang membuat pipi gembulnya terangkat; senyumannya sangat manis. Aku terdiam, tak bergeming, hanya bisa memandang Nao dengan kikuk.

Di belakang Nao, Tetsu mulai melongok, menyandarkan tubuhnya pada kursi dan memiringkan kepalanya ke kiri untuk melihatku lebih jelas—dan tersenyum hangat menatapku, kemudian berdiri sembari perlahan mendekat ke arahku; menepuk-nepuk pucuk kepala Nao dengan sayang. Aku semakin kikuk. “Hmm—teddy bear?”

“Lucu ya? Lucu seperti Nao!”

Alis Tetsu berkerut, tapi masih tersenyum memandang gadis disampingnya itu; terkekeh geli sambil menggeleng pelan seolah memaklumi tingkah Nao—aneh, aku benar-benar tidak mengerti tingkah manusia, tapi entah mengapa aku menikmati pemandangan dihadapanku itu. “Pede amat. Memangnya kau mau aku samakan dengan beruang?”

Nao manyun “Tetsu-chan enggak bisa romantis dikit apa?”

Enggak—eh, iya, bisa. Beruang itu imut seperti Nao, tapi kalau Nao sedang tidak merengek dan tidak sedang manja.”

“Nyindir?”

Laki-laki itu hanya bisa nyengir, memasang wajah tanpa dosa dan mengendikkan bahu sekilas. Tapi kemudian dia tersenyum hangat dengan tangan kanan lagi-lagi bergerak menepuk-nepuk pucuk kepala gadis itu dengan sayang.“Enggak, itu kenyataan—kau mau memangnya?”

“Mauuu banget. Tapi mahal, nyuu~”

“Kalau mahal ya sudah—“

“Tapi dia lucu banget~ Kalau nanti ini jadi punya Nao, Nao kasih nama Terry~!”

“Hus!! Sembarangan ngasih nama!!”

Dari pada Tetsuko?”

“Nyindir?” gadis itu tersipu tapi tersenyum manis sedangkan Tetsu tampak merona merah menahan malu. Nao masih memandangku dengan kedua mata berbinar-binar, sedangkan Tetsu melirikku sekilas yang kemudian menghembuskan nafas, menggeleng perlahan, dan menarik tangan kekasihnya itu untuk beranjak kembali ke meja mereka. “Sudah, ayo duduk lagi.”

“Ummm—dadah Terry.”

“Heh…!!”

. . .

Aku tidak mengerti manusia, aku tidak mengerti mereka berdua—tetapi entah kenapa aku suka.

Label: , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next