- Chapter 2 -
"Cari mati itu namanya!!" Tetsu melengos lemas sembari menatap Kazusa yang kini melotot memandangnya. Gadis Bara itu mulai menunjukkan sikapnya yang keras kepala, memilih untuk tetap memaksa kakak kelasnya itu agar mau menuruti keinginannya. "Kau ini, Reichi di lawan—" Kazusa mendengus, jelas merasa yakin kalau kakak kelasnya itu akan menceramahi dia dengan segala macam keahlian seorang Shibasaki yang-juga-jago-sihir-seperti-dirinya. Cuih. "—tidak mengerti jalan pikiran kalian berdua."
Sang gadis melotot geram. "Kau mau mengajariku atau tidak? Cukup menjawab iya atau tidak repot bener sih!! Gak usah bertele-tele!!" suaranya tinggi dan lantang sehingga kepala-kepala manusia yang berada di kantin refleks menoleh ke arahnya, lebih tepatnya ke arah meja berisikan tiga orang dari jurusan Sorcier itu sambil berbisik-bisik. Kazusa tidak peduli. "Pokoknya, aku tunggu di kelasku nanti sore setelah kelas berakhir dan kau harus datang atau kalau tidak—kukutuk kau!!"
Tetsu mengernyit, memandang kekasihnya yang hanya bisa menghendikkan bahu sekilas. Mulutnya terbuka namun buru-buru ditutupnya lagi, mengurungkan niatnya untuk protes dan memilih untuk menurut. Tanpa banyak basa-basi, Kazusa pun berbalik dan melangkah meninggalkan pasangan Sorcier itu menuju kelasnya. Tapi kemudian berbalik saat Tetsu berujar "dasar Bara" dan langsung melotot marah. Tetsu nyengir pasrah.
Kazusa melangkah gontai menuju kelasnya dengan wajah masih menekuk kesal, dan hanya tersenyum sekilas saat Ise-sensei sudah berada di kelasnya untuk pelajaran Sains. Tapi gadis Bara ini mau tidak mau harus semakin menekuk wajahnya, merutuki papan tulis yang mengumumkan bahwa hari ini adalah kelas praktek, dan dia harus satu kelompok (dan hanya berdua pula) dengan Shibasaki Reichi. Menoleh cepat dan mendapati Shibasaki sudah berdiri santai di meja prakteknya, Kazusa mencak-mencak dalam hati.
Dan berjalan pelan, mendekati lelaki tukang tebar pesona itu.
"Kau akan kalah" bisik Kazusa saat dia sudah berada di samping Shibasaki yang lagi-lagi dengan sangat sok-nya justru sama sekali tidak menggubrisnya. Mengacuhkannya seperti biasa. Tapi Kazusa tidak bisa di tipu, dia dengan jelas-jelas melihat Shibasaki bergumam tanpa suara `terserah padamu` meski sekilas. Dan yah, darahnya langsung mendidih karena sebal. "Jangan karena kita satu kelompok, kau bisa merasa—"
"Potong Mandrake-nya kecil-kecil."
"—hebat-dan-pintar" Kazusa menuruti interuksi Shibasaki dengan emosi dan terus mengeluh panjang. "Aku paling benci orang yang egois dan tidak tahu diri sepertimu. Aku juga paling benci lelaki yang tidak memiliki perasaan dan juga jahat sepertimu. Kau laki-laki sok keren yang suka tebar pesona, yang merasa dirinya paling tampan dan paling hebat atau apalah itu namanya—" aku benci padamu.
Dan kemudian hening. Shibasaki melirik Kazusa sekilas saat sekitarnya sudah tidak lagi terdengar seruan panjang dari mulut sang Bara yang terus menerus mengeluh. Tidak lagi terdengar cerocosan panjang lebar seperti radio rusak disampingnya. Namun ternyata Kazusa masih bergumam tanpa suara, menggerakkan bibirnya dengan pelafalan kata-kata makian yang bermacam-macam. Tentu, tangannya masih sibuk memotong-motong Mandrake dengan emosi. Shibasaki tersenyum tipis. "Kau tahu? Jangan terlalu benci padaku—perbedaan antara benci dan cinta itu tipis, Araide-chan."
PRAK—
"—ouch!!"
Tersentak kaget dan buru-buru menoleh, lelaki Kiku itu langsung mendapati suara rintihan sekilas yang terdengar nyaring di sampingnya; mendapati Kazusa Araide tengah menggenggam tangan kirinya, mencengkram telunjuknya yang berdarah, mengalir deras. Shibasaki tertawa terbahak-bahak, tidak tahu diri. "Bego—makanya lakukanlah semuanya dengan baik!! Kau ini perempuan atau bukan?! Memotong saja tidak bisa."
Kazusa mengernyit. "Berisik!! Dasar laki-laki berhati batu!!" ujarnya bergetar menahan sakit, marah, sekaligus malu. Wajahnya menegang saat melihat darah mengalir deras dari lukanya, sedikit gemetar karena mendadak merasa ngeri, namun raut wajah Kazusa tidak lagi menegang karena itu, melainkan karena terkejut saat telunjuknya di raih Shibasaki yang langsung membersihkan darahnya, mengemutnya. Kazusa membeku—"Apa-apaan sih!!!" memekik refleks dan menarik tangannya, gadis Bara ini melotot marah, wajahnya merona merah. "Kurang ajar!! Jangan seenaknya—" mulutnya komat-kamit tanpa suara "—MESUM!!"
Shibasaki mematung, memandang Kazusa dengan wajah jelas tersinggung. Kazusa sendiri merasa tidak enak, kenapa dari sejuta makian yang terlintas di otaknya justru kata-kata itu yang keluar? Dan anehnya, kenapa Kazusa harus merasa gugup tiba-tiba?! "Apakah anak berusia lima tahun mengemut darah anak perempuan sebaya juga di sebut mesum?" ujar Shibasaki dengan tenang meski jelas, dia masih tersinggung. "Aku memang sudah dewasa—tapi jangan samakan aku dengan orang-orang dewasa yang di otakmu itu."
Bara muda ini terhenyak saat Shibasaki berbicara seperti itu dan menyambar pisau di tangannya, melanjutkan pekerjaannya, memotong-motong Mandrake dengan kasar. Kazusa mengkerutkan alisnya dan manyun, entah harus berbuat apa. Jelas, sebenarnya dia tidak enak hati—tapi tunggu!! Itu bukan hal yang serius!! Lagi pula, suruh siapa Shibasaki bersikap seperti itu padanya?! Bersikap—
"Plester. Untukmu."
—tidak bisa di tebak. Misterius.
Mengambil plester dengan canggung, Kazusa berujar terima kasih tanpa suara dan langsung memakainya karena merasa jijik sendiri dengan darahnya. Meski pun demikian, Kazusa akhirnya memberanikan diri bertanya dari mana Shibasaki mendapatkan plester ini—basa basi, tentu saja—dan lelaki itu mengangguk ke arah Rei-chan yang tersenyum padanya. Kazusa melongo. "Kenapa Rei-chan bisa memberikan plester ini kepadamu? Kenapa tidak langsung memberinya padaku?" Shibasaki tidak menjawab, hanya terdiam dan tetap fokus pada pekerjaannya—tetap diam-diam menghanyutkan seperti apa yang pernah terlintas di pikiran Kazusa tahun lalu.
"Mungkin," dia berujar pelan "karena aku tampan, jadi semua orang tahu mauku."
Kepala sapi.
Araide kecil ini langsung cemberut dan memilih untuk menganggap ucapan itu tidak dia dengar dan bahkan berpura-pura lupa soal pertanyaannya barusan. Dia lupa, kalau disampingnya ini adalah anak Kiku. Kiku yang menyebalkan. Memilih kembali fokus pada pekerjaannya, Kazusa bertukar tugas dengan Shibasaki, mengaduk-ngaduk ramuannya dengan perlahan. "Terima kasih, Shibasaki-kun—"
"Hmm. Bagus kalau kau tidak apa-apa" ujar si kiku pelan. "Karena kalau sampai kau cedera parah, maka semua praktek ini aku yang mengerjakan dan nilai sepenuhnya milikku—itu artinya, kau kalah. Lagi." Kazusa mengerjap, membuka mulutnya hendak protes namun Shibasaki melanjutkan ucapannya lagi tanpa menghiraukan si Bara. "—dan kau hutang budi padaku. Harus kau bayar suatu hari nanti."
Brengsek.
"—perbedaan antara benci dan cinta itu tipis, Araide-chan."
Kazusa melihatnya saat gadis itu kembali ke kelas Sorcier setelah pelajaran sains berakhir tiga puluh menit yang lalu. Rambut hitam berantakan dengan paras pria dewasa itu tidak mungkin tidak disadari oleh siapa pun yang mengenalnya. Menjadi satu-satunya anak Kiku tertua diangkatannya memang bukan hal yang spesial, namun menjadi hal yang mencolok itu benar adanya. Mata hitam kelam itu benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah keturunan siluman serigala, bak pemangsa yang hendak menerkam mangsanya, mampu menembus, dan membaca pikiran siapa pun yang melihat matanya. Lelaki itu memandangnya—tersenyum mengejek saat menyadari bahwa Kazusa tengah berdiri memandangnya. Dan darah kebencian Araide kecil ini langsung mendidih.
Si playboy cap kelinci: Reichi Shibasaki.
Dia menyeringai dirinya seolah—atau
memang—meremehkannya, menatapnya dengan sangat santai seolah menganggap Kazusa hanya seorang anak kecil yang tersesat di koridor. Kesal, Kazusa langsung memalingkan wajahnya dengan cepat, mengalihkan pandangannya sembari berharap rasa panas di wajahnya ini menghilang seiring dengan langkah kakinya yang bergerak menjauhi kelas dengan tergesa-gesa.
Aku benci padamu.
Semua bermula sejak beberapa bulan yang lalu, atau lebih tepatnya saat kejadian di kelas sebelas, sejak Reichi Shibasaki dengan sangat kurang ajarnya menyakiti hati Rei-chan dan Ko secara bersamaan. Entah apa yang dilakukan oleh Shibasaki itu sampai-sampai membuat kedua gadis dari asrama Sakura serta Kiku itu jatuh cinta padanya. Kazusa benar-benar tidak tahu, yang dia tahu hanyalah kedua temannya itu terluka, sedih, dan marah. Karena Shibasaki.
Aku benci padamu.
Dan dia sudah bersumpah akan membuat jera manusia Kiku itu.
"Loh? Kau mau kemana?" Kazusa mengangkat wajahnya saat suara familiar Tetsuyama-senpai terdengar pelan menyapanya, bahkan sosok laki-laki berambut kecoklatan itu sudah berada dihadapannya. Dia menepati janjinya, soal kejadian di kantin tadi siang. Ya. Kazusa memang meminta Tetsu-senpai untuk mengajarinya mantra setelah kelas sains usai karena merasa butuh bantuan untuk mengalahkan kakaknya, mengalahkan Shibasaki-kun. "Katanya mau belajar sihir?" tanyanya polos. Kazusa tak menjawab, hanya mengangguk ke arah kelas Sorcier—ke arah kakak laki-laki sang senpai. "Ngapain si Rei masih ada di sini?"
Kazusa menggeleng. "Aku tidak mau berlatih kalau ada Shibasaki—" tidak mau ketahuan, lebih tepatnya. "Mungkin lain kali aku akan meminta bantuanmu." dia berujar pelan, tersenyum ceria seperti biasa. Dan Tetsu terkekeh sembari menepuk-nepuk pucuk kepalanya dengan sayang. Kazusa tahu, saat duel kelas mantra tahun lalu, senpainya ini adalah lawannya dan dia hebat—setengah hati memang menyebutkannya, tapi faktanya memang begitu. "Kembali saja Tetsu-senpai, aku mau berlatih di kamar."
"Baiklah, kalau begitu aku kembali—Nao menunggu." dia menghendikkan bahu, dan Kazusa menggodanya dengan cara ber-ciee panjang. Tapi sayangnya, si Sakura sudah kebal dengan semua itu, dia hanya mengibaskan tangannya santai dan membungkuk sopan, berpamitan lebih dulu. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan Kazusa, dia berbalik. "Omong-omong Kazunyan,"
"Ya?"
"Jangan terlalu benci pada kakakku, hati-hati karma."
"Apa?"
"Perbedaan antara benci dan cinta itu tipis"
Kazusa terpana, memandang Ikuya dengan shock bercampur kagum. Mereka
kembar. Kazusa yakin itu.
—oOo—