Saat itu, Kazusa mencerocos panjang lebar soal dongeng, tapi sayangnya reaksi Shibasaki sama sekali tidak membuatnya puas, bahkan pergi meninggalkan Kazusa begitu saja. Namun tidak hari ini. Setelah seminggu berlalu, kelas Character Building kembali mengangkat topik soal dongeng, dan pertemuan kali ini diharuskan untuk menuliskan essay tentang dongeng apa saja yang kalian tahu. Semua anak antusias, begitu juga dengan Kazusa, Yukiko, namun tidak untuk Shibasaki. Kiku itu sama sekali tidak bergeming, belum menulis apa-apa, malah sibuk mencetak-cetukkan penanya ke atas meja kayu sehingga berbunyi tak-tek-tak-tek nyaring, dan tangan kanannya sibuk mencengkram rambut hitamnya yang berantakan.
"Dongeng itu adalah cerita-cerita manis yang sangat disegani oleh tiap anak perempuan—" Kazusa mendengar Shibasaki celetuk kalau dia ini anak laki-laki, wajar kalau dia sama sekali tidak menyeganinya. "—membayangkan menjadi seorang wanita cantik yang didambakan tiap pangeran berkuda putih, lelaki perkasa yang sekaligus tampan, serta berwibawa. Tidakkah kau berpikir itu indah? Atau membayangkan cantiknya kekuatan sihir seorang ibu peri ketika dia membuatnya cantik? Indah bukan?" Kazusa tetap mencerocos penuh kekaguman, mengabaikan protes dari Shibasaki. Yukiko mengangguk-ngangguk setuju, matanya berbinar-binar dan juga mulai mencerocos perihal dongeng sihir lainnya. Iya, dongeng sihir, bukan dongeng klasik.
"Tidak bisakah kau tutup mulutmu?"
"Kau tidak ada rasa romantis sama sekali!!" Kazusa manyun, memandang Shibasaki dengan curiga tiba-tiba. "Kenapa kau bisa mendapatkan—eh, menggaet banyak cewek??" tuding Kazusa, berbisik nyaris mendesis. "Kau santet, ya??" dan seketika Shibasaki menoyornya secara refleks dengan pena. "SAKIT!!!"
"Pakai otakmu, bego!!"
"Memang ucapanku, salah?!"
"Apa selama ini ada lelaki merayu perempuan dengan tokoh dongeng?! `Oh kau cantik sekali seperti putri salju yang tertidur`—kau pikir perempuan mana yang mau disamakan dengan mayat hidup?? Bego." Shibasaki mencerocos, jelas sekali dia kesal. "Ck!! Kuberitahu ya, ada 3 cara—satu karena aku tampan, dua karena tindakan, dan tiga karena perasaan. Nyata, bukan imaji seperti dongeng-dongengmu barusan. Tolol." Mengerenyit, Shibasaki mendengus sebal sembari melirik sekilas, dan terkekeh sesudahnya. Meremehkan. "Dari pada kau sibuk mengintrogasiku sedemikian rupa, kenapa tidak kau perhatikan saja tulisanmu sendiri? Mana ada orang pintar yang menulis karangan melewati satu garis di tiap kalimatnya? Dan tidak perlu cemburu, santai saja."
Kazusa langsung gelagapan dan merasa pipinya merona merah seketika, namun berusaha sebisa mungkin untuk tetap tampak tenang. Sedangkan Shibasaki hanya tersenyum—puas. Dan kemudian Kazusa memilih diam, terdiam lama sambil memandang Shibasaki yang tiba-tiba juga memandangnya lekat-lekat. Si Bara mengerenyit. "Apakah di perpustakaan ada kumpulan dongeng sihir?"
"Temani aku mencari dongeng-dongeng itu nanti malam. Bayar hutangmu."
"Kenapa aku harus menemanimu?! Kan banyak teman-teman lainnya!!" Araide manyun, tangannya terlipat dada dan menggeleng-geleng pelan. Menolak halus sebisa mungkin. Tapi Rei tidak menggubrisnya, tetap ngotot agar Araide menemaninya. "Aku memang berhutang padamu, tapi tidak mau mengambil resiko harus menemanimu malam-malam, bagaimana kalau aku di detensi??" Rei memandang Araide dengan malas.
"Aku jamin, aku tidak akan membiarkanmu di detensi hanya karena menemaniku."
Gila. Ini Gila!!!
Kemana persaingan nilai yang diajukan pada awal ajaran tahun ini?! Kenapa, sekarang, Kazusa Araide justru berada di perpustakaan paling belakang, jam sembilan lewat lima puluh lima menit, dan hanya untuk membantu saingannya mencari sebuah petunjuk tentang dongeng—tentang satu-satunya topik, pelajaran, bidang, atau sesuatu hal yang dikuasai Kazusa sedangkan si Kiku tidak? Kazusa memang ingin bersaing secara adil, tapi tidak harus saling membantu seperti ini juga!! Dan yah, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti keinginan Shibasaki yang mengatasnamakan hutang budi.
"Kau—sejak dongeng semua itu kau ini berbeda," Lelaki itu hanya ber-hmm pelan, menanggapi dengan santai dengan alis terangkat sedikit sekali pun pandangannya tetap fokus pada deretan yang di tunjuk dengan jarinya. "Apakah kau benar-benar merasa kesal karena ucapanku?" dan Shibasaki tidak menjawab.
Kemudian semuanya tetap hening. Lelaki Kiku itu tetap fokus pada deretan buku-buku, dan Kazusa sendiri mau tidak mau menolongnya, mencarikan beberapa buku yang menurutnya bagus dan sesuai dengan dongeng yang diinginkan Shibasaki. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut setelahnya, hanya pembicaraan formal tentang apakah ini yang kau cari, atau apakah seperti ini yang kau mau, dan semacamnya. Entah sudah berapa lama mereka di perpustakaan, Kazusa tidak tahu—sampai akhirnya tubuh kecilnya tiba-tiba ditarik, membiarkan wajahnya berada dipelukan Shibasaki.
Seketika aroma kopi menyeruak dari tubuh lelaki Kiku itu, membuatnya menahan nafas dan membiarkan detak jantungnya berdegup kencang. Namun beberapa detik kemudian, Kazusa menyadari apa yang telah terjadi dan seketika meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tangannya secara refleks bergerak lurus mendorong tubuhnya ke belakang, menjauhi tubuh Shibasaki dan terus memberontak meski pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, Shibasaki semakin memeluknya erat. "Heh!! Berisik!! Bisa diam tidak?? Ada orang—jam berapa sekarang?" tanyanya pelan. Dengan hati-hati, Kazusa menggeleng sebagai jawaban bahwa dia tidak tahu, dan kembali diam sembari—yah, jujur saja, sedikitnya menikmati aroma kopi dari tubuh si Kiku.
"Apa kau yakin tidak ada orang di sini? Tadi aku berpatroli di sini sih tidak ada orang yang datang kok" Suara asing yang jelas jauh lebih muda dari mereka berdua mulai terdengar mendekat, dan Kazusa langsung menyimpulkan bahwa pastilah itu Himawari Seitokai—
Anzen yang bertugas malam, berpatroli hari ini. Jantungnya seketika berdetak lebih cepat, entah takut, gugup, panik, atau apa pun dia tidak tahu. Araide kecil ini tidak tahu, yang jelas dia hanya memejamkan matanya, berdoa agar tidak di detensi. Akan tetapi, ketika Kazusa memejamkan matanya, dia merasa pipinya merona merah, merasakan sesuatu yang canggung—detak jantung Shibasaki seirama dengan detak jantungnya, kalut.
"Apa tidak sebaiknya periksa ke dalam?" Kazusa merasa tangan Shibasaki semakin mencengkram erat pundaknya. "—tidak tuntas kalau hanya di sekitar sini" dan suara-suaranya semakin terdengar mendekat, tapi tidak tahu berbicara tentang apa. "Tapi masih banyak yang harus diawasi, sudah yuk pergi, lagi pula bukankah kalau memang ada yang melanggar, pastilah ketahuan, toh mereka tidak pulang ke asrama—" Kazusa mencengkram baju Shibasaki kuat-kuat. "—yuk pergi." Dan suara langkah kaki terdengar menjauh, artinya Anzen sudah pergi sehingga dalam sekejap suasana kembali hening. Tanpa banyak alasan, Shibasaki melepaskan Kazusa dan menghela nafas lega—dan Kazusa baru menyadari bahwa lelaki itu tidak bernafas sedari tadi.
"Ke... napa?"
Shibasaki menunduk, memandang Kazusa samar-samar dalam gelap. "Apanya yang kenapa? Kalau tidak aku peluk, kau pasti bertingkah aneh-aneh—di luar dugaan, jadi ya kubekap saja agar diam. Keberatan? Maaf kalau begitu." Kazusa menggeleng pelan, dan si Kiku mengerenyit. "Lalu?"
"Kenapa kau tadi menahan nafas?"
Tidak ada jawaban, dilihatnya Shibasaki kembali pada rutinitasnya, menelusuri buku demi buku dengan telunjuknya dan menjelajahi isinya dengan kedua mata hitamnya. Kazusa hanya terdiam sehingga lagi-lagi terjadi keheningan, kebisuan yang lama sampai akhirnya si kiku menutup salah satu buku dengan gusar. "Tidak kah kau berpikir cepat? Pakai otakmu!! Kalau aku bernafas, maka kita akan ketahuan—aku laki-laki dan deru nafasku itu berat, bukankah kalau terdengar kita akan ketahuan? Aku sudah janji padamu untuk tidak membuatmu di detensi hanya karena membantuku. Itulah kenapa aku menahannya. Lagi pula—" Shibasaki tampak gusar, dia mengacak-ngacak rambutnya dengan helaan nafas berat. "—ada hal-hal tertentu yang bisa aku tahan dengan cara menahan nafas."