<body>
Nobody Knows - Chapter 4
Selasa, 06 September 2011 @9/06/2011 05:47:00 PM



Disclaimer :

Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : Semua ini murni karena imajinasi gue karena sering banget RC sama Bia as Kazusa via twitter, nyolot-nyolotan cuma karena akademis. Terus gue berpikir, kayaknya oke kalau mereka kayak tetsukasa (you-know-me-so-well) tapi jelas, semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini. Murni pikiran gue. Settingnya saat Rei, Yukiko, sama Kazusa kelas dua belas, Tetsu kelas tiga belas, dan mereka semua sorcier (wow). Sebetulnya gue pengen banget post ini di Ryoku, tapi mungkin nunggu beberapa lama karena gue sendiri masih bingung. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.







- Chapter 4 -










PERI.
Peri adalah salah satu makhluk yang melegenda dalam cerita-cerita dongeng. Dia biasanya dikatakan memiliki kekuatan roh, jiwa, dan supranatural yang sangat mengagumkan. Pada umumnya, Peri diceritakan memiliki tubuh seperti manusia yang memiliki kekuatan sihir, kadang kala ada yang menyebutnya malaikat, setengah iblis, roh penasaran, bahkan jenis baru dari perpaduan antara malaikat dan manusia. Dia juga memiliki sayap, biasanya diceritakan sayapnya seperti sayap-sayap serangga dan terutama kupu-kupu, yang berfungsi untuk mengalirkan kekuatan sihir mereka. Kekuatan sihir Peri digunakan untuk melindungi dirinya sendiri dan apabila digunakan untuk menyerang lawannya akan berdampak sangat parah dan berbahaya. Iron, adalah salah satu sihir dari Peri yang paling terkenal, dikatakan bahwa Iron adalah sebuah sihir dengan efek racun yang tidak akan segan-segan mereka keluarkan apabila merasa terancam, dan efeknya adalah membuat bagian yang terkena Iron tersebut akan melepuh.

Rei mencetuk-cetukkan meja dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk menompang dagu sembari terus menggulirkan matanya, membaca sederet tulisan di buku tebal yang berjudul ENCYCLOPEDIA OF MYTHICAL; buku yang dipinjamnya di perpustakaan. Alisnya berkali-kali mengkerut bingung, jelas sekali dia tengah bergelut antara imajinasi dan logika. Seumur hidupnya, dia tidak percaya tentang dongeng sedikit pun, bahkan kalau boleh memilih, dia akan lebih mempercayai cerita Kamen Rider dan Doraemon ketimbang Snow White. Rei tidak pernah mengerti tentang dongeng, dan memang seorang Shibasaki tidak akan pernah diajarkan untuk mengerti dongeng.

Sejak beberapa hari yang lalu, sejak Character Building menceritakan dongeng-dongeng konyol itu, semua membicarakan desas-desus cerita itu, berbisik-bisik mencari jalan untuk menerobos kekkai pada malam hari tanpa ketahuan Anzen, atau keamanan sedikit pun. Namun sebagai mantan Himawari Seitokai—Anzen pula—Rei tidak mau meremehkan kinerja mereka karena kesalahan kecil apa pun pastilah bisa di pantau meski dia sendiri tahu, tidak sepenuhnya Anzen bisa menjaga keamanan. Namun Rei hanya terkekeh mendengar semua ini, membayangkan betapa kewalahannya Himawari Seitokai tahun ini mencegah segala kemungkinan yang ada karena desas-desus dongeng itu.

Dia menaikkan kakinya ke atas meja sambil terus membaca, menggubris segala teguran-teguran bahkan sapaan-sapaan dari setiap orang yang melintasinya di Common Room. Dia tetap dengan posisinya, duduk bersandar di sofa sebelah kanan, pojok dekat pintu geser yang terbuka dan mengarah pada teras; membiarkan angin malam berhembus masuk ke dalam ruangan. Ini adalah posisi dan tempat paling disukai Rei untuk menyamankan diri di musim yang paling di bencinya, musim panas.

"Sudah bacanya? Paham gak?" Rei tersentak kaget; menoleh cepat dan langsung mendapati Araide berdiri disampingnya dengan tangan terlipat di dada. Gadis itu menunjukkan ekspresi kaget karena Rei juga sebegitunya terkejut. "Kenapa sih? Kau pikir aku hantu?!" dia bertanya cepat, menutupi semburat merah yang menjalar di pipinya. Dan Rei hanya bisa menghela nafas lega sambil mengusap-usap dadanya, berusaha tenang sekaligus mencoba untuk kembali fokus pada buku di tangannya. "Kau tuli, ya?!" Rei tidak menggubrisnya sampai Araide mencondongkan tubuhnya mendekati Rei. "Kok kau bego sih? Ngapain cari definisi peri dan dongeng di ensiklopedia? Itu kan pengetahuan umum! Tidak ada yang pernah memberitahumu, hm?" sahutnya sambil mengetuk-ngetuk halaman yang kebetulan sedang Rei baca.

Si Kiku memandang datar Araide, lalu tersenyum. "Einstein mengetahui gravitasi dari buah apel yang jatuh dari pohonnya, tidak ada yang memberitahu dia tapi bisa tuh menemukan teori itu. Apalah gunanya ensiklopedia kalau teori lengkapnya sudah ditemukan." tangannya sibuk membalik halaman, mencoba untuk membacanya lagi. Namun Araide justru lebih sering mencerocos, bahkan gadis itu ikut duduk di sofa satu lagi, menghadap Rei, bahkan dengan posisi yang sama dengannya.

"Kau ini benar-benar masa kecil kurang bahagia" Rei berhenti, membeku seketika namun cepat-cepat mengerling mencoba sabar. "Sangat aneh ada orang yang tidak memiliki masa-masa indah dengan dongeng-dongeng—apakah di Amerika sana tidak ada cerita semacam itu? Bukankah ada super hero yang menjadi kesukaan para anak lelaki?" gadis Bara itu terus menerus menghujani Rei dengan pertanyaan demi pernyataan yang terus terang saja membuat Rei menahan nafas. "Atau kau sengaja pura-pura tidak tahu? Nggak mau disangka kekanakan, maunya kelihatan kuat? Idiiih—"

"—katakan padaku, apa kau pernah melihat dongeng konyol itu dengan mata kepalamu sendiri, Bara?" Rei bertanya frontal, bukuknya ditutup dengan kasar. Jelas Araide terkejut sekilas, namun buru-buru dia mengerjapkan mata dan membuka mulutnya, tapi ditutupnya kembali. "Pernah?" Rei mengulangi, benci diacuhkan. Dan gadis itu menjawab lantang, memberi tahu Rei bahwa dia pernah melihatnya, meski tidak yakin. Sedangkan si Kiku hanya bisa mengangkat alisnya, jelas jawaban Araide membuatnya menimbang-nimbang. Bara, adalah sekelompok orang yang sok, berkata A meski sebenarnya B, seperti Kii-chan, dan Rei tidak bisa memahaminya. Sampai pada akhirnya, Rei mencondongkan tubuhnya, menurunkan kakinya, dan berbisik, "—seperti apa?"



oOo—


Saat itu, Kazusa mencerocos panjang lebar soal dongeng, tapi sayangnya reaksi Shibasaki sama sekali tidak membuatnya puas, bahkan pergi meninggalkan Kazusa begitu saja. Namun tidak hari ini. Setelah seminggu berlalu, kelas Character Building kembali mengangkat topik soal dongeng, dan pertemuan kali ini diharuskan untuk menuliskan essay tentang dongeng apa saja yang kalian tahu. Semua anak antusias, begitu juga dengan Kazusa, Yukiko, namun tidak untuk Shibasaki. Kiku itu sama sekali tidak bergeming, belum menulis apa-apa, malah sibuk mencetak-cetukkan penanya ke atas meja kayu sehingga berbunyi tak-tek-tak-tek nyaring, dan tangan kanannya sibuk mencengkram rambut hitamnya yang berantakan.

"Dongeng itu adalah cerita-cerita manis yang sangat disegani oleh tiap anak perempuan—" Kazusa mendengar Shibasaki celetuk kalau dia ini anak laki-laki, wajar kalau dia sama sekali tidak menyeganinya. "—membayangkan menjadi seorang wanita cantik yang didambakan tiap pangeran berkuda putih, lelaki perkasa yang sekaligus tampan, serta berwibawa. Tidakkah kau berpikir itu indah? Atau membayangkan cantiknya kekuatan sihir seorang ibu peri ketika dia membuatnya cantik? Indah bukan?" Kazusa tetap mencerocos penuh kekaguman, mengabaikan protes dari Shibasaki. Yukiko mengangguk-ngangguk setuju, matanya berbinar-binar dan juga mulai mencerocos perihal dongeng sihir lainnya. Iya, dongeng sihir, bukan dongeng klasik.

"Tidak bisakah kau tutup mulutmu?"

"Kau tidak ada rasa romantis sama sekali!!" Kazusa manyun, memandang Shibasaki dengan curiga tiba-tiba. "Kenapa kau bisa mendapatkan—eh, menggaet banyak cewek??" tuding Kazusa, berbisik nyaris mendesis. "Kau santet, ya??" dan seketika Shibasaki menoyornya secara refleks dengan pena. "SAKIT!!!"

"Pakai otakmu, bego!!"

"Memang ucapanku, salah?!"

"Apa selama ini ada lelaki merayu perempuan dengan tokoh dongeng?! `Oh kau cantik sekali seperti putri salju yang tertidur`—kau pikir perempuan mana yang mau disamakan dengan mayat hidup?? Bego." Shibasaki mencerocos, jelas sekali dia kesal. "Ck!! Kuberitahu ya, ada 3 cara—satu karena aku tampan, dua karena tindakan, dan tiga karena perasaan. Nyata, bukan imaji seperti dongeng-dongengmu barusan. Tolol." Mengerenyit, Shibasaki mendengus sebal sembari melirik sekilas, dan terkekeh sesudahnya. Meremehkan. "Dari pada kau sibuk mengintrogasiku sedemikian rupa, kenapa tidak kau perhatikan saja tulisanmu sendiri? Mana ada orang pintar yang menulis karangan melewati satu garis di tiap kalimatnya? Dan tidak perlu cemburu, santai saja."

Kazusa langsung gelagapan dan merasa pipinya merona merah seketika, namun berusaha sebisa mungkin untuk tetap tampak tenang. Sedangkan Shibasaki hanya tersenyum—puas. Dan kemudian Kazusa memilih diam, terdiam lama sambil memandang Shibasaki yang tiba-tiba juga memandangnya lekat-lekat. Si Bara mengerenyit. "Apakah di perpustakaan ada kumpulan dongeng sihir?"



oOo—



"Temani aku mencari dongeng-dongeng itu nanti malam. Bayar hutangmu."

"Kenapa aku harus menemanimu?! Kan banyak teman-teman lainnya!!" Araide manyun, tangannya terlipat dada dan menggeleng-geleng pelan. Menolak halus sebisa mungkin. Tapi Rei tidak menggubrisnya, tetap ngotot agar Araide menemaninya. "Aku memang berhutang padamu, tapi tidak mau mengambil resiko harus menemanimu malam-malam, bagaimana kalau aku di detensi??" Rei memandang Araide dengan malas.

"Aku jamin, aku tidak akan membiarkanmu di detensi hanya karena menemaniku."



oOo—


Gila. Ini Gila!!!

Kemana persaingan nilai yang diajukan pada awal ajaran tahun ini?! Kenapa, sekarang, Kazusa Araide justru berada di perpustakaan paling belakang, jam sembilan lewat lima puluh lima menit, dan hanya untuk membantu saingannya mencari sebuah petunjuk tentang dongeng—tentang satu-satunya topik, pelajaran, bidang, atau sesuatu hal yang dikuasai Kazusa sedangkan si Kiku tidak? Kazusa memang ingin bersaing secara adil, tapi tidak harus saling membantu seperti ini juga!! Dan yah, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti keinginan Shibasaki yang mengatasnamakan hutang budi.

"Kau—sejak dongeng semua itu kau ini berbeda," Lelaki itu hanya ber-hmm pelan, menanggapi dengan santai dengan alis terangkat sedikit sekali pun pandangannya tetap fokus pada deretan yang di tunjuk dengan jarinya. "Apakah kau benar-benar merasa kesal karena ucapanku?" dan Shibasaki tidak menjawab.

Kemudian semuanya tetap hening. Lelaki Kiku itu tetap fokus pada deretan buku-buku, dan Kazusa sendiri mau tidak mau menolongnya, mencarikan beberapa buku yang menurutnya bagus dan sesuai dengan dongeng yang diinginkan Shibasaki. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut setelahnya, hanya pembicaraan formal tentang apakah ini yang kau cari, atau apakah seperti ini yang kau mau, dan semacamnya. Entah sudah berapa lama mereka di perpustakaan, Kazusa tidak tahu—sampai akhirnya tubuh kecilnya tiba-tiba ditarik, membiarkan wajahnya berada dipelukan Shibasaki.

Seketika aroma kopi menyeruak dari tubuh lelaki Kiku itu, membuatnya menahan nafas dan membiarkan detak jantungnya berdegup kencang. Namun beberapa detik kemudian, Kazusa menyadari apa yang telah terjadi dan seketika meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tangannya secara refleks bergerak lurus mendorong tubuhnya ke belakang, menjauhi tubuh Shibasaki dan terus memberontak meski pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, Shibasaki semakin memeluknya erat. "Heh!! Berisik!! Bisa diam tidak?? Ada orang—jam berapa sekarang?" tanyanya pelan. Dengan hati-hati, Kazusa menggeleng sebagai jawaban bahwa dia tidak tahu, dan kembali diam sembari—yah, jujur saja, sedikitnya menikmati aroma kopi dari tubuh si Kiku.

"Apa kau yakin tidak ada orang di sini? Tadi aku berpatroli di sini sih tidak ada orang yang datang kok" Suara asing yang jelas jauh lebih muda dari mereka berdua mulai terdengar mendekat, dan Kazusa langsung menyimpulkan bahwa pastilah itu Himawari Seitokai—Anzen yang bertugas malam, berpatroli hari ini. Jantungnya seketika berdetak lebih cepat, entah takut, gugup, panik, atau apa pun dia tidak tahu. Araide kecil ini tidak tahu, yang jelas dia hanya memejamkan matanya, berdoa agar tidak di detensi. Akan tetapi, ketika Kazusa memejamkan matanya, dia merasa pipinya merona merah, merasakan sesuatu yang canggung—detak jantung Shibasaki seirama dengan detak jantungnya, kalut.

"Apa tidak sebaiknya periksa ke dalam?" Kazusa merasa tangan Shibasaki semakin mencengkram erat pundaknya. "—tidak tuntas kalau hanya di sekitar sini" dan suara-suaranya semakin terdengar mendekat, tapi tidak tahu berbicara tentang apa. "Tapi masih banyak yang harus diawasi, sudah yuk pergi, lagi pula bukankah kalau memang ada yang melanggar, pastilah ketahuan, toh mereka tidak pulang ke asrama—" Kazusa mencengkram baju Shibasaki kuat-kuat. "—yuk pergi." Dan suara langkah kaki terdengar menjauh, artinya Anzen sudah pergi sehingga dalam sekejap suasana kembali hening. Tanpa banyak alasan, Shibasaki melepaskan Kazusa dan menghela nafas lega—dan Kazusa baru menyadari bahwa lelaki itu tidak bernafas sedari tadi.

"Ke... napa?"

Shibasaki menunduk, memandang Kazusa samar-samar dalam gelap. "Apanya yang kenapa? Kalau tidak aku peluk, kau pasti bertingkah aneh-aneh—di luar dugaan, jadi ya kubekap saja agar diam. Keberatan? Maaf kalau begitu." Kazusa menggeleng pelan, dan si Kiku mengerenyit. "Lalu?"

"Kenapa kau tadi menahan nafas?"

Tidak ada jawaban, dilihatnya Shibasaki kembali pada rutinitasnya, menelusuri buku demi buku dengan telunjuknya dan menjelajahi isinya dengan kedua mata hitamnya. Kazusa hanya terdiam sehingga lagi-lagi terjadi keheningan, kebisuan yang lama sampai akhirnya si kiku menutup salah satu buku dengan gusar. "Tidak kah kau berpikir cepat? Pakai otakmu!! Kalau aku bernafas, maka kita akan ketahuan—aku laki-laki dan deru nafasku itu berat, bukankah kalau terdengar kita akan ketahuan? Aku sudah janji padamu untuk tidak membuatmu di detensi hanya karena membantuku. Itulah kenapa aku menahannya. Lagi pula—" Shibasaki tampak gusar, dia mengacak-ngacak rambutnya dengan helaan nafas berat. "—ada hal-hal tertentu yang bisa aku tahan dengan cara menahan nafas."



oOo—

Label: , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next