"Aneh, sangat aneh." Rei celetuk secara refleks pada buku dongeng kelima yang telah ia baca, dan melemparkannya ke tumpukkan sebelah kanan dengan gusar. Dia sudah membaca berkali-kali setiap buku dongeng yang dia pinjam, namun otaknya masih belum menerima imajinasi yang penuh kebodohan seperti itu. Sedangkan Araide hanya terdiam, memperhatikannya dari tempat duduk di hadapannya—entahlah benar atau tidak, Rei hanya merasakan seperti itu, feeling dia mengatakan demikian. "Apakah kau mengantuk sampai melihatku seolah aku adalah sasaran empuk pengganti kasur?"
"Apa kau tidak berpikir bahwa Anzen tadi itu aneh?" Araide celetuk, jelas dia mencoba mengubah topik. "Kenapa mereka tidak menggunakan mantra pendeteksi seperti apa yang kau lakukan tahun lalu?" Rei, dengan sangat sabarnya hanya mengerlingkan mata sekilas, membuka mulutnya untuk meremehkan namun dikatupkannya kembali—menghela nafas sambil memutar otak, mencari kata-kata yang pantas untuk jawaban untuk Araide.
"Sejak tahun lalu, Himawari Seitokai dipilih dari kelas delapan menuju sembilan," si Kiku terdiam, menimbang-nimbang jawaban yang pantas. "Sedangkan kau tahu sendiri, mantra pendeteksi adalah mantra yang diajarkan saat kita kelas sepuluh di musim gugur. sangat tidak mungkin mengajarkan sihir itu pada mereka yang masih kelas sembilan kalau dasar-dasarnya saja belum menunjukkan hasil yang memuaskan." jawab Rei sambil membuka-buka halaman selanjutnya.
Si gadis hanya terdiam mendengarnya, memperhatikan Rei yang tetap fokus pada buku bacaannya. Tanpa Rei sadari, Araide ini melihat ketenangan seorang Shibasaki yang sangat jarang ia lihat, ditengah-tengah kegelapan ruang perpustakaan yang hanya disinari oleh
Idarani dari Baswood si Kiku, dari seorang Reichi yang masih berusaha membiarkan imajinasi bergerak liar dalam bayangannya, dalam pikirannya.
Meski pun suasananya hening, Rei tahu pastilah Araide merasa aneh karena sekarang, di tengah persaingan mereka berdua, justru dia dengan sangat ajaibnya meminta tolong pada Araide, meminta bantuannya dalam hal yang terlemah, hal yang bisa menjadi satu point kemenangan untuk gadis itu. Tapi Rei tidak peduli—dia masih mengingat ucapannya, persaingannya, dan juga janjinya. Tapi mungkin ada satu hal yang Araide tidak tahu bahwa sejak awal, Rei memang tidak serius dengan semua ini. Dia hanya main-main, hanya menguji sejauh mana Araide bertindak, mempermainkan perempuan sebagaimana image-nya yang terbentuk sejak tahun lalu.
Dan sedetik, Rei memandang Araide. "Takut di detensi?" tanyanya meremehkan. Alisnya terangkat sedikit sambil mendengus resah. "Bayangkan, headline utama Hikari Journal—'Ketua Hikari Journal Yang Juga Mantan Ketua Shuppan Himawari Seitokai Mendapatkan Detensi di Perpustakaan'—lucu kedengarannya?" Araide mengeluh.
"—'Dan Juga Mantan Ketua Anzen' tambahkan itu agar terdengar sedikit keren." Rei tertawa pelan mendengar cemoohan Araide yang masih saja membisu setelahnya, memperhatikannya saat dia kembali membuka buku-buku dongeng selanjutnya. Canggung. "Apakah kau membaca dongeng ini hanya untuk mengalahkanku?" Araide bertanya pelan meski Rei tidak menjawab sama sekali, hanya mengangkat alisnya sebagai respon. "Atau karena kau penasaran saja?"
Si Kiku menyimpan bukunya sejenak.
"Apa yang akan kau lakukan kalau aku bilang—aku ingin bersamamu,
sebentar?"
"Elemen dasar, tanah dan angin itu bisa dijadikan mantra penyerangan, tornado yang dahsyat, dan begitu tornado itu terbentuk, lafalkan dengan elemen api, itulah yang Tetchan lakukan saat menyerang Ishibashi-san saat duel mantra tahun lalu. Kau bisa melakukannya kalau memang kau menguasai elemen utama dari si tornado itu, tanah dan angin. Baswoodku—yang juga sama dengan Tetchan—sangat lihai dengan elemen tanah, wajar kalau dia bisa mengendalikan tornado dengan mudah." Shibasaki memaparkan dengan santai meski tangannya masih sibuk dengan buku dongengnya.
Kazusa, yang merasa aneh kalau hanya duduk-duduk saja mulai berdiri memutari beberapa rak buku sambil tetap mendengarkan penjelasan dari Shibasaki perihal mantra—sebuah barter karena Kazusa menemaninya mencarikan tentang apa itu dongeng dan semacamnya. Barusan saja, Kazusa memang sengaja celetuk tentang mantra, tentang keluhan-keluhannya akan mantra yang sulit dia kuasai, entah karena tongkatnya, atau memang dia tidak bisa. Bahkan, Kazusa juga sempat bertanya tentang mantra penyerangan apa saja yang seru, yang bisa membuatnya bersemangat.
Awalnya Kazusa merasa Shibasaki pasti enggan menjawabnya, tapi siapa sangka lelaki itu justru menanggapinya dengan santai, menjelaskan, memaparkan, bahkan memberikan jawaban yang dicarinya. Dan si Kiku itu terus mencerocos menjawab pertanyaan dari gadis yang tentu saja mendengarkannya dengan antusias. Beberapa saat kemudian, Kazusa menyadari ada yang aneh, tiba-tiba saja suara Shibasaki terkadang bernada naik-turun meski sama sekali tidak bernada seperti orang yang marah. Gusar, Kazusa celingukan mencarinya.
Dan mendapati si Kiku sedang menusuri rak demi rak dengan tumpukkan buku di tangan kiri.
"Kau lapar tidak?" Kazusa mengerjap kaget dengan pertanyaan Shibasaki yang sebenarnya sederhana, tapi karena apa, si Bara merasa canggung sehingga dia hanya bisa melongo memandang teman seangkatannya itu, tidak percaya dengan ucapannya. "Kok bengong? Kau tuli?" ujarnya sekali lagi sambil tersenyum geli, alisnya terangkat sebelah, dan memandangnya lekat-lekat. Kazusa pun menggeleng sebagai jawaban meski dia sendiri tidak tahu apakah jawaban yang dia maksudkan. "Kalau lapar, bilang. Nanti akan aku bawakan kau makanan—ke kantin, atau ke dapur,
mungkin."
"Kau—aku masih penasaran, kenapa kau ingin sekali mempelajari dongeng?" sekali lagi, Araide kecil ini bersikukuh ingin mendapatkan jawaban dari Shibasaki, meminta lelaki itu untuk menjawab pertanyaannya yang sudah sering kali dia ulang, dia tanya berkali-kali. Tapi lagi-lagi Shibasaki tidak menjawab, memilih diam di sampingnya dengan tangan sibuk meletakkan buku-bukunya lagi; kemudian setelah semuanya selesai, pemuda itu menoleh padanya. "Kenapa kau melihatku begitu? Aku hanya bertanya, tahu."
"Kenapa kau ingin selalu tahu hal itu?"
"Karena penasaran, terus terang saja."
"Kalau aku tidak mau menjawab, kau mau apa?"
"Cari tahu, mungkin?"
Shibasaki terkekeh mendengar jawaban gadis Bara itu sambil menggeleng pelan, menyandarkan tubuhnya pada rak buku di samping tangga kecil tempat Kazusa duduk-duduk. Iseng. "Mungkin karena aku sudah dewasa, dan aku ingin kembali menjadi anak-anak makanya aku ingin mempelajari—bukan, maksudku, ingin menikmati dongeng-dongeng itu lagi. Semacam itu." Meski jawaban Shibasaki terdengar mantap, Kazusa terus terang saja tidak percaya, matanya memicing. "Karena semua ucapanmu kemarin itu memang benar. Aku bisa di bilang masa kecil kurang bahagia."
"Hah? Apa maksudmu?"
Shibasaki tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis sembari meninggalkan Kazusa dengan sedikit celetukan pelan, menyuruhnya untuk berpikir sendiri. Kazusa jelas hanya mengerenyit, tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang ini. Tiba-tiba saja, Shibasaki menjadi kalem dan bersikap baik, perhatian, dan dia pun hanya bisa menghela nafas resah. Jantungnya juga sering kali berdebar kencang tak karuan tadi, bahkan dengan sangat hebatnya, Kazusa merasa sedikit senang saat Shibasaki bersikap seperti itu, memberi perhatian kecil padanya. Iya. Kecil, tidak muluk apalagi berlebihan.
Contohnya adalah saat tadi, Shibasaki yang bertanya tiba-tiba apakah dia lapar, atau tidak. Atau saat tubuh kecil Kazusa menggigil kedinginan, Shibasaki menyelimuti dirinya dengan jaket jeans miliknya sambil lalu melanjutkan rutinitasnya dengan setumpuk buku-buku, mengabaikan penolakan Kazusa—yang pada akhirnya mau tidak mau menggunakan jaket si Kiku karena dia memang kedinginan.
Kazusa tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti. Sejak semua ini di mulai, sejak persaingan apalah itu namanya dilakukan olehnya, Kazusa menjadi dekat dengan Shibasaki, mau tidak mau, dan Kazusa secara tidak langsung pun mengakui kalau Shibasaki memang menarik—mungkin karena dia dewasa? Kazusa tidak tahu. Bahkan, Kazusa pun melihat satu fakta yang mungkin hanya dia yang melihatnya, fakta bahwa pipi lelaki Kiku itu sering kali merona merah saat ditanya tentang dongeng, bahkan saat dia menjawab pertanyaan Kazusa barusan.
Dan Kazusa baru menyadari, sekelilingnya sepi.
Melangkah menyusuri rak-rak buku lainnya, gadis Bara ini melangkah mendekati meja perpustakaan tempat semula mereka memulai aktifitas semua ini, mengecek dan mencari jawaban apa yang dilakukan si Kiku itu sampai hening seperti ini. Awas saja, kalau dia kedapatan sedang mencoba kabur, meninggalkan Kazusa sendirian di perpustakaan hanya karena ulahnya, hanya karena kebaikan hatinya yang dia balas dengan hal seperti itu. Kazusa tidak akan segan-segan mengadukannya, me—
—menyadari bahwa si playboy kelinci itu tertidur lelap.
Tubuh lelaki itu terkulai di atas meja kayu dengan lengan tangan menjadi pengganti bantal di atas buku tebal, sedangkan tangan kiri terlipat sebagai penyangga bagian tubuh lainnya. Nafasnya mendesah pelan, dengan deru yang teratur meski Kazusa memperhatikan kalau raut wajah lelaki itu tidak terlihat tenang—tetap memasang wajah serius seperti biasanya. Hanya saja, kali ini dia melihat guratan pori-pori di sekitar keningnya, seolah memberitahu Kazusa bahwa Shibasaki sering kali berpikir keras—memberitahunya bahwa lelaki dihadapannya ini adalah sosok yang serius.
Kazusa duduk perlahan di kursi satunya lagi, dihadapan Shibasaki dengan kedua tangan menompang dagunya, memperhatikan lelaki yang tengah tertidur lelap di depannya. Kazusa tersenyum tipis, merasa aneh melihat Shibasaki memiliki ekspresi lembut seperti sekarang ini—teduh. "Maumu ini apa sih sebenarnya, hei manusia Kiku?"