<body>
A THOUSAND FIREFLIES.
Senin, 19 Desember 2011 @12/19/2011 01:44:00 PM




A THOUSAND FIREFLIES.



 Dulu waktu kecil ada sebuah cerita yang sangat  aku percayai. Entah dari mana cerita ini bermula aku sendiri tidak tahu, namun setiap kali aku bertanya pada keluargaku atau mereka yang sudah tinggal lama di desa ini, mereka selalu bilang kalau cerita ini sungguhan, nyata, dan memang benar adanya. Konon katanya, di desa ini ada sebuah kepercayaan—atau biasa mereka bilang ‘kenyataannya’—bahwa setiap ibu yang meninggal dunia dan anaknya masih kanak-kanak, maka jiwa ibu tersebut akan berubah menjadi seekor kunang-kunang yang akan terus menerangi malam si anak. Uniknya, kunang-kunang ini akan terlihat menyendiri padahal kenyataannya kunang-kunang selalu berkelompok. Mereka bilang, kunang-kunang seperti inilah yang dipercaya—atau memang—sebagai roh dari ibu untuk selalu mengikuti anaknya kemana pun dia pergi.

Tapi itu dulu saat usiaku lima tahun, atau lebih tepatnya lepas dari lima belas tahun yang lalu. Sekarang usiaku sudah genap dua puluh tahun dan aku masih penasaran dengan cerita itu. Tahukah kalian kalau kebanyakan orang sering kali memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu di pikirkan, tapi malah memikirkannya sampai kepala mereka seperti mau copot? Kalau melihat dari apa yang aku perhatikan selama ini, tujuh puluh persen manusia itu seperti itu—kalau bahasa gaul jaman sekarang adalah lebay. Aku tidak tahu apakah aku masuk dalam kriteria lebay atau tidak tetapi jujur saja aku masih penasaran dengan cerita itu.

“Kakak sedang apa?” Aku menoleh saat suara cempreng tiba-tiba terdengar di belakangku, mataku langsung menangkap sosok anak perempuan kecil berambut hitam yang dikuncir dua seperti kuping kelinci. Aku jelas terkejut, malam-malam begini—sekitar jam delapan malam terakhir aku lihat, mungkin sekarang sudah jam sembilan—berada di sekitar halaman kosong yang sangat luas dan gelap rasanya aneh juga. “Kakak sedang apa? Kok jongkok-jongkok begitu?” tanyanya lagi. Aku hanya bisa tersenyum dan menghela nafas sambil berdiri tegak, menepuk-nepukkan bagian celana jeansku yang kotor. Mata hitam anak kecil itu menatapku lekat-lekat—polos bercampur penasaran.

“Mencari kunang-kunang,” jawabku ramah. Anak itu langsung membulatkan mulutnya dan bersuara ‘Oh’  nyaring. Polos sekali. “Adik sendiri sedang apa di sini?” aku bertanya dengan suara pelan masih mempertahankan senyum ramahku. “Adik namanya siapa?”

“Namaku Chikita kakak.” Dia menjawab dengan riang, entah kenapa melihat anak kecil polos seperti ini lucu juga. “Kakak namanya siapa? Chikita juga mau mencari kunang-kunang!!” kali ini giliranku yang berkata ‘Oh’ nyaring. “Nama kakak Matheo, kakak juga sedang mencari kunang-kunang. Mau cari sama-sama?” mungkin sudah takdirnya kalau yang namanya anak kecil itu menggemaskan, terlebih lagi untuk aku yang memang menyukai anak kecil, rasa-rasanya ingin aku mencubit pipi gembul Chikita. Gadis kecil itu mengangguk-ngangguk riang. “Umur Chikita berapa?” tanyaku lagi, dan dia menjawab dengan jari-jarinya, menunjukkan kelima jari dari tangan kanannya, dan dua dari jari kirinya. Oh, dia berusia tujuh tahun berarti sekitar kelas satu ada dua SD. Wajar saja dia masih polos.

Chikita dengan lincah mulai berlarian kesana-kemari, dia melambai-lambaikan senter kecil yang dia bawa-bawa ke sembarang arah, seolah-olah tengah memainkan kembang api. Di desa ini memang masih banyak tanah kosong dan rumah pun memiliki jarak yang sangat jauh. Penerangan di jalan pun sebenarnya masih terhitung gelap, tapi mungkin karena penduduk desa ini sudah terbiasa jadinya tidak begitu jadi masalah dan hanya di beri pengaman melalui cara tradisional yakni meronda. Hanya saja, entah karena aku memang terlalu lama pergi ke Jakarta—sekitar sepuluh sampai tujuh tahun yang lalu—atau memang di sini sudah sangat terbiasa, rasanya aneh juga melihat Chikita berlari-lari sendirian di hari yang sudah malam seperti ini.

“Chikita enggak di cari Mama?” tanyaku pada akhirnya setelah gadis kecil itu mengajak untuk berjongkok di salah satu tanah kosong berikutnya. Chikita menggeleng pelan. “Enggak di cari Papa?” dia menggeleng lagi. Oh? Apa dia sudah tidak punya orang tua? “Memangnya enggak takut keluar malem-malem ya? Kan malem-malem itu banyak hantu yang bergentayangan loh!” ujarku bercanda, tapi anehnya Chikita malah tertawa pelan ciri khas anak kecil. Dia tidak takut, sepertinya. “Chikita enggak takut kakak, soalnya Chikita sekarang kan mau ketemu mama.”

“Mama?” aku bertanya dengan spontan dengan ekspresi bingung sedangkan Chikita mengangguk. “Chikita kan udah bilang, Chikita mau cari kunang-kunang, biar nanti Chikita ditemenin sama mama. Kakak juga cari kunang-kunang buat ketemu sama mama-nya kakak, kan?” aku hanya bisa tertegun mendengar jawaban Chikita, lalu mengangguk sebagai jawaban singkat. “Kakek bilang kalau Mama enggak akan pergi kemana-mana, Mama cuma berubah jadi kunang-kunang supaya bisa temenin Chikita kalau Chikita pergi malam-malam. Kakek bilang, memang sudah waktunya Mama berubah menjadi kunang-kunang biar malam Chikita enggak gelap lagi.”

Aku hanya ber-hmm pelan menimpalinya dengan mata masih tetap fokus menatap anak kecil berusia tujuh tahun dihadapanku itu. Cerita tentang kunang-kunang itu ternyata masih menjadi cerita yang khas di desa ini, dan sepertinya menjadi cerita turun menurun meski kenyataannya setelah mereka dewasa, mereka pasti akan merasa tolol karena sempat mempercayai semua cerita itu—enggak tahu juga sih tapi setidaknya aku seperti itu. “Kenapa kunang-kunangnya enggak muncul-muncul??” Chikita merengek, pipinya menggelembung dan bibirnya manyun; dia kesal. “Chikita kan mau ketemu mama…” dia merengek lagi, kali ini nyaris menangis. Secara refleks aku memeluk Chikita untuk membuatnya tenang sambil terus membujuknya untuk tetap mencari di tempat lain.

“Kakak, kenapa mama harus jadi kunang-kunang?” pertanyaan polos Chikita barusan membuatku terkejut lagi dan langsung memandang anak kecil yang baru aku kenal beberapa menit lalu dengan rasa iba. “Kenapa Mama gak sama Chikita aja setiap hari? Kenapa harus jadi kunang-kunang?” aku mengusap-usap kepala Chikita dengan lembut, masih berusaha menenangkannya. Pertanyaan Chikita sebenarnya pertanyaan yang sering kali terlintas di benakku selama ini, dari pertama kali aku mendengar cerita ini dari mulut ayahku, dari aku pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, dan sampai aku kembali ke sini seminggu yang lalu. Sekarang, aku justru dihadapkan pada pertanyaanku sendiri meski dalam bentuk yang berbeda.

“Kata Kakek kan karena kunang-kunang itu bersinar, jadi biar bisa menerangi malamnya Chikita.” Aku berusaha menjawab meski Chikita malah jadi menangis tersedu-sedu. “Kakak rasa, Mama jadi kunang-kunang biar Chikita enggak ngerasa kikuk.” Aku mulai ngelantur namun gadis cilik itu justru terlihat tertarik dengan jawabanku. “Maksud kakak, kunang-kunang kan kecil, jadi Mama bisa mengawasi Chikita kemana pun Chikita pergi, bisa jagain dan tunjukin jalan buat Chikita malam-malam, dan karena kunang-kunang itu kecil, Mama jadi bisa leluasa mengawasi Chikita, dan Chikita juga jadi enggak ngerasa kikuk.”

“Chikita enggak ngerti…”

Aku memiringkan kepala ke kiri, memikirkan kata-kata yang bisa dimengerti anak berusia tujuh tahun. Bingung juga, masalahnya pertanyaan Chikita kan pertanyaan yang aku tanyakan juga. “Mama jadi kunang-kunang supaya bisa jagain Chikita setiap waktu.” Ujarku pelan pada akhirnya. “Kalau misalnya jadi kucing, kan ketahuan, atau jadi gajah, atau burung. Jadi lebih baik jadi kunang-kunang saja. Biar kecil, setidaknya kasih sayang yang diberikan Mama berasa dan tulus.”

Setelah hampir satu jam bermain-main dengan kunang-kunang. Chikita tampak lelah dan terkulai lemas di punggungku begitu aku menggendongnya dan membawanya pulang. Sedari tadi gadis cilik ini menunjuk-nunjukkan arah rumahnya yang katanya berwarna biru terang dengan dua tiang besar berwarna putih di dekat pintu masuk. Begitu sampai di depan rumahnya, seorang pria paruh baya datang menghampiri dan menggendong Chikita untuk merebahkannya di tempat tidur. Beliau adalah kakeknya Chikita dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Aku hanya tersenyum.

“Kakek, kenapa Chikita ngotot buat mencari kunang-kunang?” tanyaku pada akhirnya, tidak tahan untuk tidak bertanya. Sang kakek hanya tersenyum. “Kasih ibu itu sepanjang masa, itulah kenapa cerita kunang-kunang itu ada.”

oOo

Pada malam hari, Ibumu akan menjadi kunang-kunang. Dia terbang ke hamparan bunga-bunga di sepanjang jalan, menelusuri remang cahaya untuk hinggap di dedaunan, berteduh dari embun, lalu terbang lagi ke atap rumah, ke tiang listrik, dan kemudian pergi ke bawah jembatan. Ibumu akan menjadi kunang-kunang sepanjang malam, mencari kamu yang telah lama menghilang.”



---------------------------------
dibuat untuk tugas Ujian Akhir Semester kelas Apresiasi Sastra. Seperti biasa, bagian endingnya selalu aneh soalnya bingung mau buat kayak apaan tau #digetok. terinspirasi dari lagi Owl city - firefly. 

Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next