Nobody Knows - Chapter 10
Minggu, 30 Maret 2014
@3/30/2014 07:23:00 PM
Disclaimer :
Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini.
Murni pikiran gue. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini
kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya.
Well, kritik dan sarannya diterima.
Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.
"Aku jamin, aku tidak akan membiarkanmu di detensi hanya karena menemaniku."
—Pembohong.
Kazusa menggerutu sepanjang pelajaran setiap kali mengingat ucapan si playboy busuk cap kelinci itu. Bukan hanya playboy, tapi si kiku brengsek itu juga pembohong; penipu ulung! Bisa-bisanya Kazusa percaya dengan ucapannya waktu itu!—hah!! Itu karena pada waktu itu Kazusa dalam posisi terdesak, tahu! Dipaksa! Terpaksa! Amit-amit kalau ada yang bilang justru karena Kazusa percaya! Huh!
Sepanjang prestasi seorang Araide ini di sekolah Ryokubita, baru kali ini dia menorehkan catatan merah di raport-nya. Kamisama, kenapa semua keadaan menyebalkan ini harus terjadi? "Psst! Kazunyan!" Menoleh refleks ketika ada yang memanggil sekaligus mencolek punggungnya, Kazusa mengangkat alisnya begitu Ko menatapnya dan nyengir lebar. "Pacarmu, mana?" Kazusa melotot.
"Pacar apaan?!" Si Bara menaikkan nada suaranya; lalu nyengir polos ke arah sensei yang langsung menatapnya. "Gomen, Sensei—" Kazusa menoleh lagi ke arah Ko "kau ngomong apa, sih?!" Yang ditanya malah cengar-cengir.
"Rei-kun." Jawabnya singkat.
Seketika, Kazusa menoleh—ke kiri dan ke kanan, lalu kembali menatap Ko. "Mana aku tahu, dan dia bukan pacarku!" Gadis itu kembali membalikkan badan, menatap ke arah depan sembari memangku dagu dengan telapak tangan kanannya.
Reichi tidak masuk kelas. Lagi.
—oOo—
“Mau kemana?”
Rei menoleh ketika telinganya mendengar suara khas Araide kecil di belakangnya. Perhatiannya yang sedari tadi sibuk dengan ponsel, seketika terhenti—fokusnya kini beralih pada si Bara. Gadis itu tampak cemberut, mungkin merasa diacuhkan. “Eh, telingamu tuli ya?!” Rei tersenyum melihat Araide malah mengumpat. “Eh malah senyam-senyum! Kau mau kemana? Tadi sensei mencarimu, tahu!” lanjut Araide, masih dengan nada kesal.
“Aku agak ragu kalau sensei mencariku—tapi aku lebih ragu mendengar ucapan seorang gadis yang dulu membangga-banggakan status keanggotaan Hikari Journal-nya kemarin, sekarang justru tudak tahu apa-apa?” Rei mengabaikan pertanyaan Araide, dan lucunya, lelaki itu menyukai ekspresi gadis Bara yang tampak malu sekaligus kebingungan. “Apa sih, maksudmu?” Rei mengangkat bahunya sekilas. “Kau benar-benar tidak tahu, Araide?” gadis itu menggeleng. “Bilangnya anggota Hikari Journal yang paling oke…”
Biasanya, kalau melihat kejadian beberapa bulan lalu, jauh-jauh hari sebelumnya, akan ada perdebatan panjang sebagai kelanjutan dari lontaran-pertanyaan-pernyataan-semi-sindiran yang keluar dari mulut Rei barusan—atau entah siapa yang memulai duluan. Namun, kali ini berbeda—tidak ada nada tinggi, adu mulut, bentakan, dan pertengkaran padahal Rei sudah memulainya duluan. Gadis itu diam. Reichi mau tidak mau jadi ikut terdiam—dia heran dengan absennya amukan Araide hari ini. Tetapi sebenarnya, si Kiku itu lebih heran karena gadis Bara itu malah tersipu malu, membuang muka, dan menghindari tatapannya—reaksinya jauh dari kata
biasa.
Hei, kemana Araide yang suka mencak-mencak seperti anak ayam itu pergi?
“Kau… mau kemana?”
Rei terkejut mendengar pertanyaan Araide. Perhatiannya yang sedari tadi sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkutat di otaknya kini buyar. Dan yah, Rei jadi gelagapan. “Eh—aku mau pulang.” Rei berdeham. “Pulang? Kau diskors?” Meski samar, Rei menangkap nada khawatir dari suara Araide barusan. Mungkin ini hanya perasaan Rei saja—tapi entah benar atau tidak, Rei jadi merasa tidak nyaman. "Tidak, ini permintaan orangtuaku—meski, yah kebanyakan sensei menganggap aku memang harus di skors."
"Berapa lama?" tanya Araide.
"Entahlah, Kouchou memberiku izin dua minggu dan itu mepet sekali dengan waktu ujian," Rei menjawab dengan suara pelan—secara refleks karena kini Rei lebih peka pada orang-orang (atau lebih tepatnya pertanyaan) yang haus gossip. "Tapi aku juga tidak tahu pasti, bisa saja kurang dari dua minggu, atau lebih. Tergantung orangtuaku," lelaki itu nyengir "tergantung orangtuaku mau menghukumku, maksudnya." Araide menghela nafas, matanya terpejam untuk beberapa saat. Rei memperhatikannya—dan ketika gadis itu membuka mata perlahan, tatapan mereka bertemu. Dan si Kiku menyadari, Araide sering kali tersipu malu.
"Kau pulang jam berapa?"
"Lagakmu sudah seperti seorang istri yang menanti suaminya pulang," Araide menggerutu mendengarnya. "Setengah jam lagi—tapi sekarang aku mau langsung pergi ke stasiun." Rei tersenyum. Secara refleks, laki-laki itu melangkah mendekati Araide sembari memanggul tas hitamnya, dan menepuk-nepuk kepala si Bara dengan pelan. "
See you, Araide."
Tapi belum jauh Rei melangkah, Araide berhasil menghentikan langkahnya.
"Boleh aku mengantarmu?"
—oOo—
Label: Fanfiction, Kazusa Araide, Reichi Shibasaki