Nobody Knows - Chapter 11
Minggu, 30 Maret 2014
@3/30/2014 08:37:00 PM
Disclaimer :
Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini.
Murni pikiran gue. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini
kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya.
Well, kritik dan sarannya diterima.
Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.
Bego.
Bego. Tolol. Sinting.
Ide dari belahan otak bagian mana, sampai-sampai Kazusa berani mencetuskan keinginannya untuk mengantar si playboy cap kelinci ini pulang?!—tunggu, apa tadi? Keinginan? Tidak, tidak. Itu salah. Itu bukan keinginan, tapi melainkan hanya sebuah ide gila yang sampai sekarang, masih tetap menjadi misteri tersendiri bagi Kazusa karena bisa-bisanya dia berpikir demikian. Tapi nasi sudah menjadi bubur; Kazusa memintanya dan Shibasaki mengizinkannya.
Iya. Si Kiku itu justru meng-iya-kannya.
Lengkap sudah ketololan Kazusa hari ini.
Jarum jam di arloji Shibasaki—tapi Kazusa sempat melirik sekilas—sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit; artinya lima belas menit lagi sebelum Shibasaki pulang. Satu lagi keajaiban alam yang terjadi saat ini adalah, mereka kini tengah berjalan-jalan santai di Hakamadote. Iya. Hakamadote. Itu jauh sekali dari stasiun dan cowok sinting di samping Kazusa benar-benar santai seolah tidak ada yang salah dengan keputusannya saat ini. Apakah Kazusa tidak berkeinginan untuk bertanya? Hah!! Mengantarnya saja sudah cukup menjadi keputusan bodoh, tahu! Apalagi kalau harus bertanya? Makin bisa di cap tukang-gossip-nomor-satu-di-Ryokubita, tahu!. Lagi pula, kalau ada bagian otak Kazusa yang masih waras—ralat, masih bisa berpikir positif, saat ini mereka hanya berjalan-jalan biasa saja kok, hanya menghabiskan waktu dari pada duduk-duduk bego di stasiun.
"Mau eskrim?"—oke, ternyata tidak hanya jalan-jalan biasa. Si Kiku itu akhirnya membuka suara setelah sekian lama membungkam mulutnya seperti orang dungu. "Di traktir, ga?" Kazusa menimpali. Niatnya sih, ingin mencemooh—tapi diluar dugaan, lelaki itu mengangguk dan langsung berlalu begitu saja. Kazusa melongo. "EH! Aku bisa bayar sendiri!!"
"Jawaban atau ucapan pertama biasanya jauh lebih jujur, Araide." Ucap Shibasaki dengan derai tawanya yang khas. Kazusa hanya bisa menggerutu—antara malu, enggan, gengsi, tapi juga mau. Yah, mengambil sedikit keuntungan dalam kesempitan (dan kesempatan juga) bukan hal yang jahat, toh? "Mau rasa apa? Coklat?" Kazusa mengangguk. "Omong-omong Shibasaki, dengan begini, tahun ini berarti aku loh ya yang menjadi best student? Fufufu." Si Kiku menoleh, menatap Kazusa dengan ekspresi datar dan tangan kanan menyodorkan eskrim cokelat pesanannya. "Belum tentu, Araide," timpal Shibasaki "Best Student itu tidak hanya dinilai dari otak, tapi juga nilai dan kemampuan, tahu."
Kazusa mencibir. "Perilaku juga jadi penilaian!"
"Kalau gitu, memang perilaku-ku bagaimana sampai-sampai aku tidak bisa jadi best student?"
"Kau kan di detensi berkali-kali!!" Kazusa terdiam, seakan-akan menyadari dia salah ucap. "Eh, maksudku, perilaku yang dimaksud itu—engg—dilihat dari kesopanan dan bagaimana kau bersikap pada sensei atau..." gadis Bara itu tidak meneruskan ucapannya. Melihat reaksi seperti itu, Shibasaki tertawa. "Ucapan pertama biasanya jauh lebih jujur loh, Araide," sahut Shibasaki kalem.
"Sok tahu banget." si Kiku tertawa. "Sebenarnya kita mau ngapain sih, kesini?" demi mengalihkan topik pembicaraan, akhirnya Kazusa mau-tidak-mau bertanya juga dan Shibasaki sibuk dengan eskrimnya. Entah karena tergiur, Kazusa jadi ikut-ikutan melahap eskrimnya. "Aku mau beli cemilan dulu, tapi sepertinya tidak perlu—tidak banyak toko yang buka ternyata." Kazusa mencibir. Bukannya banyak kiri-kanan toko kelontong yang buka? Apa Shibasaki buta? Kacamatanya harus setebal apa, sih? Mendengar jawaban si Kiku, Kazusa memaksakan melangkah lebih dulu ke stasiun secepat mungkin, memaksa Shibasaki untuk mengikutinya agar tidak terlambat. Sebenarnya, setengah hati Kazusa berkata semakin cepat mengantar Shibasaki, semakin cepat pula semua ketololan Kazusa hari ini berakhir.
Tapi itu hanya setengah hatinya.
Lalu setengahnya lagi?
Dan ketika stasiun sudah di depan mata, Kazusa menghela nafas. Sebelum keberangkatan, gadis Bara itu menatap si Kiku, membungkam mulutnya meski otaknya sibuk merancang kata-kata. Shibasaki yang merasa diperhatikan seketika menoleh—tersenyum lembut. Tangan besarnya lagi-lagi terangkat; menepuk-nepuk kepala Kazusa. "Terima kasih ya, Araide." kata si Kiku pelan. Kazusa mengangguk, mulutnya masih tertutup rapat. Namun ketika melihat Shibasaki melangkah memasuki kereta—gadis Bara itu memanggilnya. Lagi, Shibasaki membalikkan badannya, menatap Kazusa dengan tatapan heran. "Ada apa?" tanya Shibasaki pelan. Jarak mereka tidak seberapa, tapi Kazusa merasa ada yang aneh.
Setengah hatinya tak rela.
"Hati-hati pulangnya." ucap Shibasaki tiba-tiba. Kazusa terperangah.
"Nyindir?" Kazusa menggerutu. Seharusnya perkataan Shibasaki barusan adalah kalimat Kazusa. "Kau yang harusnya hati-hati, baka!"
"Ngomong begitu sama masinisnya dong." Shibasaki tertawa renyah. "Yah, sebenarnya setengah-setengah sih—setengah mengejek, setengah jujur. Kau sudah mengantarku sampai sini, tidak ada yang mengantarmu sampai sekolah, kan? Jadi hati-hati pulangnya."
"Aku bukan anak kecil yang harus dinasehatin, tau!"
"Aku juga bukan anak kecil yang harus diantar pulang, tau!"
"Aaah! Sudah sana pulang!" Lelaki itu tertawa.
"Baiklah—terima kasih sekali lagi ya, Araide." Masih dengan senyuman di wajahnya, Shibasaki melambaikan tangannya, mengucapkan sampai jumpa, dan berbalik. Tapi lagi-lagi, Kazusa menahannya—memanggil Reichi. Shibasaki terkejut, tapi terlihat jelas dia langsung mengendalikan ekspresinya "Apa lagi? Kau menahanku pulang berkali-kali, sebenarnya kau ini tidak rela ya aku pergi meninggalkanmu?" Kazusa gelagapan—sungguh, ini diluar kendalinya! "Kau bisa menanyakan emailku pada Tetchan kalau kau kangen, Araide."
"Bukan—"
Shibasaki mengangkat alisnya, menunggu jawaban si Bara. Tapi gadis itu menggantungkan ucapannya. Shibasaki menghela nafas panjang. "Kazusa," gadis itu menengadahkan kepala, menatap lelaki berkacamata dihadapannya. "Aku tidak ingin melanggar janjiku sekali lagi. Pulanglah." otak Kazusa berputar cepat. Janji? Janji apa? Janji yang ma—"Aku jamin, aku tidak akan membiarkanmu di detensi hanya karena menemaniku." Shibasaki menjawab pertanyaan Kazusa tanpa ditanya.
—ah.
Suara pengumuman keberangkatan kereta mulai terdengar, dan Kazusa tidak punya banyak waktu. Dia harus mengutarakan apa yang ada di pikirannya. "Kau bisa membuatku mati penasaran," Shibasaki meresponnya dengan hanya mengangkat sebelah alisnya. "Siapa yang membuatmu keluar malam-malam—soal peri, dongeng, dan apalah itu namanya, sampai-sampai kau di detensi? Kau mau membuktikannya untuk siapa?" Kazusa mencerocos. Si Kiku tertegun beberapa detik, lalu tersenyum. "Siapa ya?" jawabnya iseng. Kazusa menggerutu.
"Jangan bercanda!"
"Baiklah, baiklah—" lelaki itu tampak berpikir, suara pengumuman keberangkatan kereta masih tetap terdengar, dan Kazusa melihat si Kiku tersenyum tipis. "—aku membuktikannya untukmu, Kazusa. Tidakkah kau menyadarinya?" Mendengar ucapan Shibasaki, Kazusa terpana. Tubuhnya kaku. Ingin rasanya tidak mempercayai ucapan Shibasaki, tapi entah kenapa ia tidak bisa. Melihat wajah Kazusa merona merah, Shibasaki tertawa. "Kau percaya? Hei wajahmu semerah kepiting rebus, Araide! Aku hanya bercan—"
Sebelum Shibasaki menyelesaikan ucapannya, pintu gerbong tertutup.
Dan si Kiku itu menyadari, ia terjebak dalam ucapannya sendiri.
"Jawaban atau ucapan pertama biasanya jauh lebih jujur, Araide."
—oOo—
Label: Fanfiction, Kazusa Araide, Reichi Shibasaki