<body>
Nobody Knows - Chapter 1
Kamis, 18 Agustus 2011 @8/18/2011 01:45:00 PM



Disclaimer :

Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : Semua ini murni karena imajinasi gue karena sering banget RC sama Bia as Kazusa via twitter, nyolot-nyolotan cuma karena akademis. Terus gue berpikir, kayaknya oke kalau mereka kayak tetsukasa (you-know-me-so-well) tapi jelas, semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini. Murni pikiran gue. Settingnya saat Rei, Yukiko, sama Kazusa kelas dua belas, Tetsu kelas tiga belas, dan mereka semua sorcier (wow). Sebetulnya gue pengen banget post ini di Ryoku, tapi mungkin nunggu beberapa lama karena gue sendiri masih bingung. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.







- Chapter 1 -


REICHI SHIBASAKI - KIKU
KASUZA ARAIDE - BARA





"Hai cewek"

Gadis berambut hitam panjang itu tidak bergeming sekali pun suara familiar seorang lelaki di belakangnya itu tengah menyapanya. Dia berusaha keras untuk mencuci otaknya, meyakinkan dirinya bahwa si Kiku itu bukan memanggilnya. Kau tahu, banyak gadis lain disekitarnya, dan di tempat pengumuman seperti ini jelaslah sangat ramai, jadi kemungkinan dia memanggilnya adalah satu banding sepuluh. Lagi pula, lelaki itu mengenal banyak cewek selainnya, jadi memang pasti `cewek` yang dia panggil bukan dirinya, bukan Kazusa. "Kalah ya?" akan tetapi kalimat selanjutnya langsung meruntuhkan pertahanan Kazusa seketika. Lelaki itu benar-benar memanggilnya. "Kasihan."—mencemoohnya.

"Jangan besar kepala, Shibasaki-kun!"

"Kepalaku tidak besar, Araide-chan." Shibasaki tersenyum saat Kazusa menoleh memandangnya dengan raut wajah kesal meski lelaki berusia dua puluh dua tahun itu justru memandangnya dengan ekspresi ceria tanpa dosa, dengan tubuh tegap bersandar pada tembok dengan santai. "Tapi faktanya memang menyatakan kalau kau ini kalah, kan?" alisnya terangkat, tangannya terlipat, dan tentunya masih tersenyum. "Tiga kali" tambahnya.

"Jangan sombong!"

"Fakta."

"Terserah katamu—aku pasti akan mengalahkanmu!!"

"Coba saja."

"Heh!! Kau pikir kau siapa?!"

"Reichi Shibasaki."

Dan aku benci padamu.


oOo—


BRUK.


"HSSSSSTTTT!! Berisik ih, Kazusa-chan! Kau mau Iwasaki-sensei mengutukmu jadi kodok, apa? Hah? SSSTT!!" " Yukiko Ryokuemon mencerocos protes saat gadis Bara satu angkatannya itu datang dengan cara membanting buku secara kasar ke atas meja. Namun Araide kecil ini tidak menggubrisnya, justru malah semakin manyun. Kesal sampai ubun-ubun. "Eh... kau kenapa? Sakit?"

"Apa sih, tujuan si Ikuya-Ikuya bersaudara itu diciptakan?!" geram Kazusa sembari duduk dengan gusar di atas kursi perpustakaan senyaman mungkin. Sedangkan yang di ajak bicara malah bengong nyaris seperti kuda. "Apa kegunaan dia di dunia ini? Apa cuma jadi kuman perusak mata?" gadis Bara itu mencerocos lagi, sebal.

Yukiko-chan mengerenyit, memandang teman satu angkatannya itu dengan tatapan heran. "Kau sebegitunya mengenal baik Ikuya-senpai, ya? Yah—yah, wajar sih sebenarnya, kau kan pernah satu tahun berada di divisi yang sama dengannya. Tapi apa Ikuya-senpai sebegitu menyebalkannya? Setahuku sih tidak. Apalagi Ikuya yang perempuan, aku rasa dia anak yang manis ah. Kalian satu asrama, kan? Memangnya kenapa? Ada gosip ya? Gosip apa? Ayo cerita, ayo cerita!" berujar panjang lebar, gadis Kiku mencerocos sembari nyengir, sebuah cengiran lebar khas Yukiko Ryokuemon

Dan Kazusa pun langsung menoleh cepat, raut wajahnya tegang karena menahan marah sekaligus shock. "Kau tidak tahu—" mantanmu? Tapi Kazusa langsung bungkam begitu melihat Yukiko-chan menggeleng pertanda tidak mengerti. Ah, ya. Memang sebenarnya aneh juga kalau hampir semua murid Ryokubita tahu kalau Reichi Shibasaki dan Tetsuyama Ikuya itu sebenarnya kakak beradik—jelas dari marga sudah berbeda, pastilah tidak mudah membuat orang percaya kalau mereka itu saudara kandung, terkecuali menganggap mereka memang saudara karena mirip satu sama lain. "Sebetulnya bukan Tetsu-senpai dan Ikuya-chan yang aku maksud, tapi seorang lelaki—" sok tebar pesona "—yang mirip sekali dengan mereka. Yah, kau pasti tahulah siapa dia."

"Siapa?"

"Si-Ikuya-lelaki-satu-lagi-yang-menyebalkan-sok-tebar-pesona itu!!"

"Hah?" Yukiko makin tidak mengerti, tapi kemudian dia berujar lagi. "Memangnya apa yang terjadi sih?" Kali ini giliran Kazusa yang terdiam. Perlahan dia memejamkan mata sembari menghembuskan nafas berat, dengan otak berputar cepat menuntut kalimat makian apa lagi yang mampu dia lontarkan pada lelaki Kiku itu. Sial. Semuanya harus berputar-putar disekelilingnya bahkan secara tidak sadar dia menerjunkan diri berada di lingkaran setan itu—padahal semua ini urusan teman-temannya, bukan urusannya. Tapi karena teman-temannyalah maka Kazusa berani seperti ini!! Argh—!! Playboy tengik!! "Hei, Kazusa-chan."

"Eh? Iya?"

"Jangan bilang yang kau maksud itu Reichi-kun?"

Kazusa tidak menjawab.


oOo—


"Kau tidak lebih dari seorang—seekor serigala yang hanya mempermainkan perasaan wanita!" kata mantan ketua shuppan Himawari Seitokai, Kazusa Araide, beberapa saat yang lalu atau lebih tepatnya beberapa hari setelah perang hebat antara kedua Rei. Sedangkan yang di ajak bicara sama sekali tidak tertarik berdebat panjang, memilih untuk diam membaca buku dengan santai. Namun Araide-chan terus mencerocos marah seperti radio rusak yang tidak ada tombol off-nya sama sekali.

"Aku rasa aku tidak pernah mendengar cerita serigala yang baik hati, Araide-chan" ujar Reichi dengan santai. Mata hitamnya tetap membaca sederet tulisan di buku pelajarannya itu, tidak mempedulikan gadis Bara di sampingnya yang sedang melotot marah. "Lagi pula aku sama sekali bukan orang yang terlalu memusingkan hal itu—sungguh kekanak-kanakan sekali."

"Tapi seharusnya kau tahu diri! Rei-chan menangis karenamu!! Ko juga!! Apa sih yang ada di otakmu saat menerima perasaan mereka berdua?" Araide mencerocos panjang, matanya melotot, dan berkacak pinggang seperti seorang ibu mengomeli anaknya yang nakal. Tapi lagi-lagi Reichi sama sekali tidak menggubrisnya, tetap membaca dengan santai. "Kau seharusnya memikirkan perasaan Rei-chan yang sudah bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya padamu!! Juga Ko!! Apa sih yang kau perbuat sampai-sampai mereka begitu menyukaimu?"

Rei tidak menggubrisnya. Lagi.

"Hei!! Dengarkan kalau orang sedang berbicara!!"

Menurunkan buku dan meletakkannya di atas meja, Rei memandang Araide dengan seksama, dengan senyum tipis tergambar di wajahnya. "Kupikir semua anak bara itu pintar—" Araide melotot lagi (dan Rei berpikir bisa-bisa matanya keluar) "—tapi pada kenyataannya kau ini pengecualian. Kau bego."

"JANGAN SEMBARANGAN!!—kau tidak mendengarkanku bicara!!"

"Kata siapa?"

"Barusan? Kau sama sekali tidak memandangku saat aku bicara panjang!!"

Rei memandang Araide sekali lagi, alisnya terangkat tinggi, dan secara refleks bola matanya mengerling. Mencoba sabar. "Begini ya, adik kecil, sejak kapan mendengarkan itu menggunakan mata?" dan seketika wajah Araide langsung merona merah, geram. "Lagi pula, apa urusannya denganmu? Semua itu—hubunganku dengan Rei-chan dan juga Yukiko-chan adalah urusanku pribadi. Jangan sok tahu. Apakah hidupmu ini hanya berputar pada gosip-gosio belaka? Sungguh kasihan—pantas bodoh."


"HEH!!"


"Dan lagi," Rei melanjutkan kata-katanya tanpa mempedulikan Araide "aku tegaskan bahwa semua ini adalah urusanku, kau tidak perlu ikut campur atau kau akan berhadapan denganku."


"Kau ini benar-benar—maniak tidak tahu diri yang seenaknya mematahkan hati orang lain!!"


"Terima kasih kembali."


"Aku heran, apa sih yang mereka lihat darimu sampai-sampai bisa jatuh cinta?"


"Karena aku tampan, mungkin?"


"Menjijikan."


Rei terkekeh sembari menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan kanannya, memandang Araide dengan helaan nafas panjang. "Kalau kau tanya padaku, aku sendiri tidak tahu. Jujur saja." jeda sebentar, Rei memandang lurus ke depan, tatapannya kosong. "Aku hanya akan mengejar siapa yang aku mau, dan tidak akan menolak siapa yang datang padaku. Tidak juga melarang yang pergi, dan bahkan menghalangi siapa yang akan merebutnya dariku."


Araide terdiam, jelas dia marah. "Aku benci lelaki seperti dirimu ini, Shibasaki-kun." Rei menoleh, tersenyum tanpa arti. "Aku sungguh benci padamu—Baka. Lelaki sepertimu benar-benar harus dimusnahkan di muka bumi ini. Aku bersumpah akan membalas perbuatanmu, membalas rasa sakit Rei-chan dan juga Ko!! Aku akan—"


"Teruslah memaki, bocah. Apa yang kau lakukan hanyalah sebatas perilaku anak-anak yang seperti merengek pada orang tua karena tidak diberikan permen kesukaannya—" Rei terdiam, memandang Araide dengan sinis meski sebenarnya ucapannya itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan siapa yang dewasa atau siapa yang anak-anak. Ucapan itu terlontar begitu saja. "—tapi kalau kau memang bersikukuh ingin membalas perbuatanku, seperti ucapanmu barusan, dan barusan-barusannya lagi, maka tidak ada salahnya kalau aku menanggapinya, bukan?" Araide terdiam, tidak menjawab. "Dan karena aku baik, maka aku akan berikan dua pilihan padamu. Kalahkan aku seperti apa yang aku lakukan—memacari banyak orang? Atau mengalahkanku dengan akademis."


"A—" Araide tergagap, tapi kemudian menghela nafas panjang. "Akademis."


"Kalau begitu kalahkan aku."




oOo—



"Apa sih yang ada di otakmu itu?" Rei mengerlingkan mata dengan perlahan, mencoba sabar saat Tetsuyama Ikuya kembali mencerocos panjang lebar saat Rei bercerita tentang pertengkarannya dengan Araide. "Kazunyan itu benar, jangankan dia—aku saja adik kandungmu sama sekali tidak mengerti jalan pikiranmu." Rei terdiam, tangannya masih sibuk dengan remote tv dan mengacuhkan. "Tsk. Apakah aku labil seperti ini adalah keturunan?"

"Jangan sembarangan." Akhirnya Ikuya sulung bersuara, menoyor kepala adiknya yang sekarang berambut kecoklatan. "Tidak usah kau pikirkan—seperti yang aku bilang sebelumnya, aku hanya mengejar siapa yang aku mau, yaitu Yukiko-chan, dan tidak akan menolah siapa yang datang padaku, yaitu Rei-chan." Rei tersenyum samar, matanya memandang layar tv yang sedang menayangkan acara berita (sepertinya belakangan ini sering terjadi gempa hebat di Jepang) "Dan aku pun tidak akan melarang siapa yang pergi, atau menghalangi siapa yang akan merebutnya dariku."

Tetsu menghela nafas menanggapi ucapan kakaknya itu dengan malas. "Kau ini," dia mengerenyit sebal "kita sudah sama-sama menginjak usia dewasa—apalagi kau, dua puluh dua tahun!! Seharusnya kau sudah tidak bermain-main lagi seperti ini!! Dan bukannya Okaasan dan Otousan sudah sering kali bertanya siapa calonmu nantinya? Aku tidak mau kau mendapati karma, Rei."

"Kau ini kadang-kadang terlihat sakura." Rei mengejek dengan malas. "Tak usah khawatir, aku sudah punya calon kok. Hanya tinggal mengejarnya saja," dari ekor matanya terlihat jelas kalau adik laki-lakinya itu melongo. "Mudah bagiku."

"Mu—APA?! KAU PIKIR PEREMPUAN ITU SEPERTI LOTRE?!" Tetsu menjerit shock mendengar ucapan kakaknya itu. Ya, sekali pun Tetsu tahu kalau Reichi Shibasaki memang sudah di kenal sebagai playboy Kiku yang memiliki catatan tersendiri, tapi rasanya tetap aneh kan kalau mendengarnya? Rasanya seperti halilintar menyambar di siang bolong. "Kau mengejar cewek—" dia mengerenyit "eeng, biasanya kau mengejar cewek itu—tunggu!! Kau tidak sedang mengejar Kazunyan, kan?"

Rei tersenyum misterius.

"Menurutmu?"



oOo—

Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next