Unbirthday Party - Chapter 6
Selasa, 23 Agustus 2011
@8/23/2011 01:08:00 PM
Disclaimer :
- Ryokushoku o Obita punya para tuyul bersaudara.
- Kyoshiro Kitazawa punya gue as co-PM
- Fuji Amamiya punya Anna
- Dan beberapa chara yang di sebut punya PMnya masing-masing.
oOo
"Dulu, waktu aku sedih, Aku suka sekali melakukan ini, mengangkat kelereng tinggi-tinggi dan melihat bias cahaya yang memantul dari kelereng ini."
"—kalau aku sedih, aku terbiasa mengurung diri atau menyendiri, entah di kamar mandi, entah di tempat-tempat sepi. Alasannya mudah, aku tidak mau ada orang yang mengetahui rasa sedihku."
oOo
“Kelerengnya retak ya?”
Fuji tersenyum tipis sembari menggeleng pelan, tangan kanannya tetap terangkat tinggi-tinggi, memantulkan cahaya matahari sore dari lapisan kelereng bening itu; menatapnya lekat-lekat—sedangkan aku hanya bisa memandang gadis berambut hitam disampingku itu dengan bingung, kedua alis mengkerut dan manyun. Tanganku pun bergerak perlahan, merogoh saku baju dan mengeluarkan kelereng pemberian Fuji enam tahun yang lalu—masih utuh, mengkilat, dan sempurna tanpa retak sedikit pun. “Kelerengnya kenapa? Kelereng pemberianmu masih ada kok, kau bisa menggunakannya kalau mau.”
Menggeleng lagi—bingung.
“Kenapa?”
Masih tidak ada jawaban, gadis itu tetap membisu seolah tidak memiliki mulut untuk berbicara.
Aku gemas. Serius. Kalau boleh jujur hal yang paling aku tidak suka dari gadis ini adalah sulit mengekspresikan apa yang sedang dia pikirkan. Oh yah, kalau dia susah berbicara aku sudah bisa maklum—malah sekarang ini dia berbicara lancar-lancar saja tuh—tapi kalau sudah begini, melihat dia diam seribu bahasa, rasanya seperti berbicara dengan tembok yang tidak ada habisnya. Huh. Membuang muka sembari menggelembungkan pipi dengan sebal, tangan kananku bergerak lagi menyimpan kelereng pemberian Fuji dengan hati-hati; kemudian duduk bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada.
Ngambek ceritanya.
“Kyoshiro-san, boleh aku bertanya?” Aku menoleh cepat, memandang dua mata hitam Fuji disampingku meski masih memasang wajah manyun. Sedangkan gadis itu malah sama sekali tidak menoleh, tetap memandang kelereng kecilnya sembari tersenyum meragu. Tidak memandangku, bahkan tidak menatap mataku. Aku terdiam lama—entah mengapa rasanya ingin menangis; sedih. “Apa kabarmu sekarang ini?”
“Hah—?”
Reaksiku jelas jujur sejujur-jujurnya. Alisku berkerut, mulutku terbuka lebar, dan mataku melotot gemas memandang gadis bermarga Amamiya disampingku ini. Antara geli bercampur heran, antara senang bercampur sedih, aku hanya bisa terkekeh pelan setelah Fuji bertanya seperti itu, menertawakan diri sendiri sekaligus mengkasihani waktuku yang telah mati. Apakah pertanyaan itu lumrah untukku? “Dulu kau pernah bertanya seperti itu juga—dan jawabanku masih sama, aku baik-baik saja.”
Aku terkekeh pelan.
“Memangnya kau mengharapkan apa dari kabar seorang yang telah mati?” Tidak ada reaksi dari Fuji, dia tetap memandang kelerengnya, mengacuhkan semua jawabanku. Perlahan tangannya turun, meletakkan kelereng bening di sampingnya meski masih terdiam lama; masih enggan menatapku. “—apakah aku salah bicara?” tidak ada jawaban, gadis itu masih tetap menutup mulutnya—tanda tanya besar semakin banyak di kepalaku. “Fuji-chan? Ada apa? Tidak seperti biasanya kau diam begini, tidak seperti biasanya kau menyembunyikan sesuatu dariku, dan tidak seperti biasanya juga kau tidak menatapku.”
Fuji menggeleng.
“Ada apa Fuji-chan?”
“Kyoshiro-san, apa kau tidak bisa keluar dari Ryokubita?” Terhentak kaget—aku tersenyum tipis, menatap Fuji dengan ekspresi tenang bercampur tidak percaya. Memandangnya dengan berbagai pertanyaan melintas di kepala. Mengapa gadis itu tiba-tiba bertanya seperti itu? Memangnya kenapa kalau aku di Ryokubita? Apakah aku harus berjalan-jalan sebagaimana manusia pada umumnya? Dan bukankah sudah berkali-kali aku katakan bahwa waktuku tidak sama dengannya? “Kyoshiro-san?” terdiam lama—aku menggeleng perlahan sebagai jawaban singkat.
“Tidak Fuji-chan, bagiku Ryokubita sudah seperti rumahku—aku tumbuh di sini, aku hidup di sini, dan aku mati di sini.”
“Lalu kenapa kau tidak pergi ke Nirwana? Apa kau tidak ingin pergi menemui orang tuamu?”
“Apa kau ingin aku pergi ke sana?”
“Tidak—sungguh aku tidak bermaksud berbicara seperti itu…”
Tersenyum tipis, menatap kosong lurus ke depan, menengadahkan kepala menatap langit sore yang cerah, aku tidak bisa berujar apa-apa, hanya bisa menahan sedih yang entah mengapa menyeruak begitu saja. Aku tahu dan aku paham, bahwa sudah sepatutnya, sudah semestinya, dan bahkan seharusnya, untuk tiap-tiap orang yang mati harus pergi ke Nirwana—sebagaimana kepercayaan orang-orang di sini, sebagaimana mereka beranggapan bahwa mereka yang telah mati akan lahir kembali. Menjadi orang yang baru dan menjalankan waktu yang baru—hidup.
Bohong kalau aku bilang aku tidak ingin lahir kembali—bohong kalau aku bilang aku lebih suka mati. Jelas aku ingin hidup, aku ingin merasakan kebahagiaan lagi, aku ingin membuktikan bahwa hidup itu menyenangkan—akan tetapi satu hal yang menjadikan alasan kuat mengapa aku belum mau ke Nirwana adalah aku tidak ingin melepaskan kehidupanku sebelumnya, melepaskan kenangan-kenangan samar dengan Okaasan dan Otousan serta dengan Megu-chan sekali pun hal itu aku lalui hanya sementara.
Dan sungguh, aku tidak ingin melepaskan kenangan bersama Fuji-chan.
“Kyoshiro-san? Apakah aku salah bicara?”
Aku menggeleng—“Kalau aku ke Nirwana, nanti aku akan terkenal seperti Hideto Takarai dan susah untuk bertemu denganmu bahkan mungkin tidak akan bertemu loh, memangnya kau rela?” Fuji tertawa geli, sedangkan aku hanya bisa menggarukkan kepalaku yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Loh, itu benar, kan? Nanti kalau aku terkenal, Fuji kan tidak bisa bertemu denganku—thehe. Dan sekali lagi senyum tipis tergambar di raut wajahku yang pucat, memandang Fuji yang masih tertawa pelan. “Sebetulnya hanya karena belum bisa pergi ke sana saja kok, Fuji-chan. Hanya karena itu, sungguh.”
“Kenapa?” Perlahan aku menggeleng lagi, menjawab singkat pertanyaan gadis kecil itu sekaligus sebagai pertanda aku tidak mau membicarakannya lebih lanjut. Akan tetapi Fuji bersikeras—bebal. “Aku tidak bisa membayangkan kau di sini sendirian, merayakan ulang tahun tanpaku—aku tidak bisa membayangkan kalau aku lulus, tidak bisa membayangkan kau kesepian—sedih, sangat sedih kalau aku membayangkan itu. Sangat sedih mengingat bahwa suatu hari aku akan lulus kemudian meninggalkan Ryokubita—meninggalkanmu…”
Hening, baik aku mau pun Fuji tidak ada yang berkomentar. Aku hanya bisa terdiam lama, terpaku memandang Fuji yang kini menunduk rendah, mengigit bibir bawahnya, dengan pundak bergidik—seperti menahan tangis. Sedangkan aku masih terdiam, memperhatikan kedua tangannya yang terkatup erat, meremas satu sama lain, dan terlihat bergetar. Isak tangisnya perlahan mulai terdengar yang entah mengapa membuatku meringis sedih; tanganku bergerak reflek mengusap pipinya. “Jangan menangis—sungguh, aku tidak apa-apa.”
Gadis itu masih menunduk, menyembunyikan tangisnya dariku.
“Aku—terus terang saja sedih, sangat sedih mengingat bahwa suatu hari nanti aku akan kembali merayakan ulang tahunku sendirian—bahkan hal itu sering kali mengganjal dipikiranku sejak dulu, membayangkan kau lulus, membayangkan kau pergi, dan membayangkan aku hanya bisa duduk sendirian di sini. Tapi aku tidak mau egois, aku tidak mau menginginkan kebahagiaan hanya untuk diriku sendiri—aku ingin kau bahagia, aku ingin kau hidup, Fuji-chan. Bahkan kalau memang aku boleh egois, kalau aku boleh memaksa, aku ingin kau hidup untukku, aku ingin kau melanjutkan hidupku.”
Dia menggeleng. “Tapi aku ingin menemanimu…”
“Kau memiliki kehidupan yang panjang Fuji-chan—waktumu terus berputar, sedangkan waktuku telah mati. Tidak masalah kalau kau tidak menemaniku lagi nantinya karena selama ini bagiku sudah cukup; bahkan lebih dari cukup. Kalau pun memang kau sudah harus lulus, kalau pun memang kau sudah harus pergi, dan kalau pun memang waktunya sudah habis, aku benar-benar tidak apa-apa, tidak masalah, dan kau tidak perlu sedih—karena pada kenyataannya apa yang kita mau—lebih tepatnya aku—tidak akan pernah bisa sejalan.”
Aku tersenyum.
“Karena kita berbeda, Fuji-chan. Ingat itu.”
oOo
Rabu, 15 Juli 2009
Fuji Amamiya, 21 tahun - Kyoshiro Kitazawa, 16 tahun.
oOo
Label: Fanfiction, Fuji Amamiya, Kyoshiro Kitazawa, Ryokubita