<body>
The last fairytale
Kamis, 08 September 2011 @9/08/2011 01:44:00 AM



Disclaimer :
  • Hogwarts beserta penghuninya punya JK. Rowling dan segenap Staff IH.
  • Clara Eileithyia punya @deeladiladhila
  • Shoichi L. Wayland punya @bluerning
  • Yuji M. Wayland punya @mafiajahe
  • Lagu dari Richard Marx – Right Here Waiting buat sesi galaunya.
  • Beberapa fanfiction yang ga bisa di sebutin satu-satu, makasih karena udah jadi referensi.
  • Dan beberapa chara yang disebut punya PMnya masing-masing.
Timeline : Winter, 1996-1997. Last year.


Cuma fanfic biasa, setelah hampir empat jam galau mau post apa enggak. Terima kasih buat segala kritik dan sarannya, terima kasih karena menjadi pembaca, dan terima kasih karena kalian memaklum bahwa saya masih seorang newbie. :]







“Wherever you go, whatever you do, I will be right here waiting for you.
Whatever it takes or how my heart breaks,
I will be right here waiting for you”




 Richard Marx – Right Here Waiting











Faktanya, bagi Clara, Shoichi Leonard Wayland akan tetap menjadi Batman, dan adiknya, Yuji Myron Wayland, akan menjadi Robin Hood. Sedangkan dia, Clara Eustacia Eileithya akan menjadi Catwoman. Iya, Catwoman, bukan Andromeda, bukan Dawn, bahkan dia bukan Wonder Woman, apalagi superheroine lainnya. Clara juga bukan tokoh manis dari fairytale karena semua tokoh yang ada di dongeng-dongeng klasik itu sama sekali tidak masuk dalam list, tidak sesuai dengan sifatnya. Dia Catwoman, cukup Catwoman.

Dan akan selalu begitu, selalu seperti itu.

Karena Clara tahu, Catwoman sama sekali bukan pilihan Batman.


— o —



"Mana marshmallow milikku?" Clara menoleh sambil menghentikan pena bulu ditangannya yang sedari tadi lincah menyusun kata-kata di atas kertas essay ramuannya, menguraikan beberapa formulasi dengan sederet angka sebagai perhitungannya, menuliskan resep demi resep yang di pinta sang professor. Tapi kemudian tangannya berhenti, mengalihkan fokusnya pada sosok laki-laki berparas Asia yang tiba-tiba datang dihadapannya. Clara menganga, tidak menjawab apa-apa. Si gadis pun memutuskan untuk menunggu pertanyaan selanjutnya dari si lelaki selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan bahwa mungkin telah terjadi sedikit kesalahan pada telinganya, kesalahan pada sistem inderanya, karena si lelaki bermarga Wayland itu sama sekali tidak melanjutkan kata-katanya. Dan Clara memutuskan untuk kembali melanjutkan tugasnya, berkutat pada tumpukkan essay yang nyaris seperti neraka.

"Kau tuli, Eileithyia?" Marganya disebut, dan artinya Clara tidak tuli sama sekali.

Menengadahkan kepalanya sekali lagi, memandang sosok Shoichi Wayland dengan kedua mata hitamnya, Clara hanya memasang wajah polos tidak mengerti. Iya. Dia memang tidak mengerti ucapan lelaki gagak itu, tidak mengerti kenapa Sho bertanya tentang marshmallow padanya. Mungkin, lelaki itu hanya menjahilinya seperti biasa, mengajaknya beradu mulut.

"Apa?" tanya gadis berambut kecoklatan ini dengan sangat kalem sambil memandang Sho. Alisnya terangkat, merelakan pandangannya teralihkan dari tugasnya sejenak dan berujar setenang mungkin: sesuatu yang sama sekali bukan Clara Eileithyia. Diperhatikannya Sho berdecak malas, menyibukkan diri dengan menggaruk-garukkan kepalanya yang Clara yakin, tidak gatal sama sekali, hanya untuk menghilangkan kegugupannya, atau kecewa, atau apa hingga pada akhirnya dia tidak menjawab, lagi. Dan Clara kembali menulis di saat Sho bergerak duduk di salah satu kursi dihadapannya, memandang ke arah luar jendela ruangan rekreasi asrama dan seolah tak terjadi apa-apa.

Meski sedetik kemudian, tangan Clara berhenti bergerak; menatap ke arah Sho yang masih sibuk memandang ke luar jendela, memperhatikan awan tipis yang bergerak perlahan di angkasa—di tengah musim dingin. Clara mendesah pelan.

"Sok rajin." Sho bersuara secara tiba-tiba tanpa menoleh.

"Lebih baik pura-pura rajin dari pada tidak mengerjakan sama sekali, Batman." Clara mengangkat wajahnya, memandang Sho sambil menjulurkan lidah sebelum akhirnya kembali pada essaynya. Namun pada akhirnya keduanya kembali terdiam, Sho kembali menikmati pemandangan di luar sana, memperhatikan awan-awan yang bergerak. Sedangkan Clara kembali melakukan aktifitasnya—bukan pada tugasnya, tapi aktifitasnya yang lain: merasakan detik demi detik yang berlangsung sangat lama, merasakan waktu seakan enggan berlalu dengan cepat, seakan ada sesuatu hal yang berharga untuk dilewatkan. "Kau curang, kau menyebalkan."

Sho menoleh, mengerenyit bingung. Sedangkan Clara hanya mendesah pelan, memandang Wayland dengan tatapan teduh—sesuatu hal yang belum pernah dia tunjukkan pada lelaki pembela kebenaran itu, sesuatu yang membuat Sho tersentak bingung. "Apa?" dia mengulang pertanyaan yang sama dengan Clara, dan Clara hanya menggeleng pelan sebagai isyarat untuk mengabaikannya, mengabaikan fakta bahwa dia sudah mengibarkan bendera putih. Ya. Bendera putih telah dia kibarkan, tetapi harap di catat bahwa bendera putih ini bukan dikibarkannya untuk yang pertama kali.

"Kau ngomong apa sih?"

Clara mengangkat lagi wajahnya dan memandang Sho lama.

Baginya, meski pun telat menyadari, Clara masih merasa bahwa pemuda dihadapannya itu masih tampan seperti biasa, apalagi sekarang usianya tujuh belas tahun. Meski pun tubuhnya terhitung pendek jika dibandingkan anak lelaki lain di sekolah, Clara tidak peduli, toh itu pun karena karena dia berdarah Asia, dan hal itu sama sekali tidak menghalangi dirinya untuk berdebar kencang saat Sho memarahinya, menjahilinya, atau saat-saat bersamanya, atau bahkan saat bersama dengan Robin Hood. Rambut hitamnya jatuh menutupi sedikit dahinya dan terlihat sangat halus untuk ukuran seorang lelaki. Ia juga memiliki senyum tertahan yang bisa menyebabkan histeria yang lebih gila lagi, membuat dirinya, atau bahkan gadis lain menahan nafas sampai mati.

Sebagai nilai tambahan, menurut Clara pribadi, pemuda itu pastilah cocok mengenakan pakaian apa saja.

Sejak mereka kelas lima, Clara sering kali mendengar murid-murid perempuan berseru histeris dibelakangnya, entah itu teman seangkatan, adik kelas, atau senior sekali pun dengan harapan mereka dapat menyapa lelaki itu—minimal berharap dia menoleh pada mereka. Anna, Lunlun, dan Caeli pun berpendapat demikian meski saat itu Clara merasa mereka cukup gila karena menyukai Wayland, menyukai lelaki brengsek yang tidak mengerti perempuan. Tapi itu dulu. Dulu saat Clara tidak tahu betapa Shoichi Wayland terlihat menarik. Siapa yang bisa menyangka bahwa secara perlahan, usia remaja mengharuskan dirinya untuk menemukan seorang pangeran dalam dunia nyata, secara perlahan menyadarkan si kecil Eileithyia bahwa dia harus melupakan keajaiban Fairytale.

Menyadarkan bahwa bertepuk sebelah tangan tidak pernah ada dalam mitologi dongeng.

Dan dia sungguh kesal.

"Kalau ngomong jangan setengah-setengah," Sho berujar kalem, "Aneh sekali, kemana seorang Eileithyia yang cerewet luar biasa? Mulutmu rapat karena diolesi perekat super?" lelaki itu mengatainya seperti biasa, dan Clara hanya manyun. "Kalau ada masalah, cerita. Jangan di pendam sendirian." sahutnya bijak meski untuk Clara, ucapan itu seperti dialog pembuka pada sebuah pidato yang berujung wacana yang membuat gadis Ravenclaw ini hanya bergumam pelan menanggapinya, nyaris berbisik. "Clara selalu bertanya-tanya, kenapa Batman harus menjadi laki-laki yang tidak punya hati?" Pemuda itu menaikkan sebelah alis, kemudian menopangkan dagu dengan sebelah tangan, menatap Clara lekat-lekat. "Karena?" tanya Sho.

Clara melengos kesal, "Semuanya, Wayland."

"Jangan main tebak-tebakan. Kenapa tidak langsung saja sih kau jelaskan padaku?"

Clara memicingkan matanya. Sebal. "Karena kau sama-sama tujuh belas tahun, tapi kau menyebalkan."


— o —



Faktanya adalah, mereka tidak pernah berkenalan secara resmi. Mereka kenal hanya dari sebungkus marshmallow di tengah musim dingin di ruang rekreasi. Bahkan, percaya atau tidak, mereka tidak pernah bersalaman secara langsung untuk berkenalan, atau sekedar menanyakan nama masing-masing dari mulut orang lain pun tidak.

Mereka hanya mengandalkan memori otak saat pemilihan asrama di Aula Besar.

Saat keduanya sama-sama menjadi penghuni asrama Ravenclaw.


— o —



"Kalau suka, kenapa tidak kau utarakan saja?"

Clara menggeleng, menunduk dalam-dalam dan memeluk kedua tiang penyangga. Lelaki singa disebelahnya hanya bisa duduk menemani, sesekali menepuk-nepuk pucuk kepala neechan-nya atau kakak perempuannya itu. Yuji menemani Clara di sore hari, di atas jembatan yang menjadi tempat paling favorit untuknya kalau sedang ada masalah. Iya. Jembatan. Disinilah tempatnya yang paling nyaman untuknya, tempat dimana setiap dia sedih dia akan ke sini, duduk-duduk lama di pinggir jembatan seperti orang nyaris hendak bunuh diri. Tempat dimana dia bertemu kedua kakak angkatnya yang luar biasa sabar menghadapinya—dan sebenarnya Clara berharap Argentum dan Cheryl berada di sini untuk menemaninya.

"Clara enggak lagi ngomongin Batman kok, Robin—enggak usah sok tahu begitu."

"Bohong ah. Terus mikirin apa?"

"Kak Argent sama kak Cheryl. Mereka sedang apa ya?"

"Jangan bohong, tadi pagi kau baru saja menerima surat dari mereka, bukan? Mereka sudah lulus, biarkan mereka menikmati kehidupan barunya sebagai orang dewasa." Yuji berujar bijak, kakinya berayun-ayun menendang-nendang udara. "Clara-chan selalu seperti ini. Dulu kau juga pernah bercerita kalau kau suka dengan senior—errr siapa itu? Yang anak Ravenclaw juga? Ya itulah—tapi tidak kau utarakan sampai akhirnya dia berpacaran dengan orang lain. Kau bilang kau sakit hati, blablablabla. Sekarang, kau mau mengulangi hal yang sama?"

Menghela nafas berat, Clara agak sedikit merasa menyesal meminta Yuji menemaninya. Dia lupa, kalau adik dari Wayland-satu-nya-lagi-itu memiliki hobi untuk mengamati segala sesuatu, bahkan hal yang terkecil yang tidak pernah Clara duga pun tak pernah luput dari perhatiannya. Tidak sulit baginya untuk mengetahui kepribadian, perilaku, kebiasaan hingga latar belakang seseorang hanya dalam beberapa hari saja, bahkan hal itu bukanlah hal asing bagi Yuji. Tapi karena itu juga, Clara sering bercerita banyak dengannya, bahkan Yuji adalah satu-satunya laki-laki yang mau mendengarkan semua cerita dongeng muggle yang pernah Clara baca, tidak seperti kebanyakan lelaki yang mencemooh dirinya—atau perempuan lain karena itu. Clara sering kali berpikir, apakah Yuji juga bisa menyimpulkan seperti apa Clara?

Clara Eileithyia sebenarnya bukan gadis yang populer, tidak ada hal yang sangat luar biasa dalam diri gadis itu. Dia hanyalah seorang murid kelas tujuh dari asrama Ravenclaw, Hogwarts, yang sedang menuju usia tujuh belas tahun. Gadis pembenci pelajaran ramuan, hitung-hitungan, dan ramalan. Suka mengobrol obrolan gadis dengan teman-temannya di kelas, cerewet, manja, kekanak-kanakan, dan juga muggle. Selain semua itu, Clara hanyalah gadis biasa saja—atau kecuali memang sejak kelas enam, beberapa pendapat mengatakan bahwa kecantikan gadis ini tergolong di atas rata-rata, setidaknya menurut semua murid lelaki yang pernah Yuji kenal.

"Clara lagi enggak mau diceramahin, Yuji."

"Kalian ini pemain drama yang paling hebat." Clara menoleh, memandang Yuji yang masih sibuk mengayun-ayunkan kakinya. "Tanpa kalian sadari—menurut pendapatku—bahwa kalian ini sudah sering kali menumbuhkan bibit-bibit romansa, cinta, sayang, atau apalah itu namanya di tengah penyangkalan atas perasaan kalian masing-masing. Tapi dengan sangat bodohnya, kalian saling menunggu satu sama lain—kau menunggu Aniki, dan—mungkin—begitu juga sebaliknya. Kalian juga sama-sama menyangkal dengan cara yang sama, bahwa semakin sering adu mulut, kalian akan jadi benar-benar membenci satu sama lain. Tapi kenyataanya?" dia tetap mencerocos meski Clara sudah menggeleng. "Berkali-kali orang mencoba menyadari kalian berdua—aku, senior Anna, senior Caeli, atau yang lainnya—tetapi kalian malah berjengit ngeri dan pura-pura memasang ekspresi jijik. Kalian munafik, atau mungkin Clara-chan yang munafik."

Tertegun lama, Clara mendesah.

"Clara-chan selalu baca dongeng kan? Nah, apakah ada dongeng yang seperti kisah hidup Clara-chan? Kisah yang selalu seperti ini: diam, menunggu, dan berakhir dengan tangisan karena menyesal. Adakah dongeng seperti itu?" si gadis tidak menjawab, membiarkan Yuji mencerocos lebih lanjut. "Tidakkah kau menyadari bahwa hidupmu ini nyata? Kau bukan seorang Snow White yang di jemput pangerannya secara tiba-tiba loh, bukan juga Cinderella yang di jemput hanya karena sepatu—paham tidak maksudku?"

Tentang kenyataan bahwa hidupmu bukanlah sebuah cerita dongeng?

Ada beberapa hal yang paling dibenci Clara dari Yuji, yakni ketika pemuda disampingnya itu mengumbar semua fakta yang ada, membeberkan segala rahasia yang susah payah dia tutup rapat-rapat dengan wajah polosnya dengan berpura-pura memandang langit dengan tatapan menerawang, kemudian terdiam seolah mempersilahkan Yuji mengumbar semua rahasia lainnya. Menguak misteri. Dan Clara, dengan sangat jujur membenci sesuatu kejujuran yang menyakitkan—meski pada akhirnya gadis Ravenclaw ini tertegun mendengarnya.

Selalu.

Selalu seperti itu, dan akan selalu seperti itu.

Mau tidak mau, Clara harus mengakui kebenaran ucapan Yuji itu benar adanya dan mulai mencoba untuk melupakan ego tentang pikirannya yang terus menerus mencari kalimat sangkalan apa lagi untuk menolaknya—namun hal itu tidak pernah berhasil. Setiap kali mencoba, dia selalu saja gagal; selalu membuat ia merasa seperti orang bodoh sekaligus pengecut. "Jadi..." Clara bersuara pelan, mengerlingkan matanya sekilas; mencoba mencari-cari kalimat, atau kata, atau bahkan huruf yang cocok untuk mengutarakan pikirannya. "...apa yang harus Clara lakukan?"

Angin berhembus lagi.

Tidak ada jawaban.


— o —



"Aku menyebalkan bagaimana, sih?" Sho bertanya lagi, kali ini di nada suaranya tidak ada lagi ketenangan—gusar, seolah tidak terima Clara membisu, tidak menjawab pertanyaannya meski berkali-kali, bibir merah lelaki itu bertanya hal yang sama. Tapi Clara tahu, Batman dari asrama Ravenclaw ini memang sangat membenci kalau diacuhkan. Arogan. "Yeah, kita sama-sama tujuh belas tahun, sama-sama Ravenclaw, sama-sama kelas tujuh, dan—apa sih yang bisa membuatmu bilang aku ini menyebalkan, Eileithyia? Apanya yang semuanya??"

"Lupakan, Clara tadi hanya asal cuap saja kok." Clara menggeleng dan kembali memulai mengerjakan tugasnya lagi meski sebenarnya dia sudah selesai. Mungkin Yuji benar, Eileithyia sangatlah munafik. Tapi belum saja tinta hitam tertoreh di atas perkamennya, Clara memekik kaget saat kertas penuh tulisan itu sekejap hilang dari pandangannya, di ambil secara paksa oleh Sho tanpa permisi. Clara kaget. "—HEI!!!" ujarnya protes.

"Maumu apa sih? Bicara jangan setengah-setengah!! Sudah sering aku katakan kalau aku tidak suka itu?"

"Kan Clara sudah bilang tadi, lupakan, Sho!! Clara cuma asal cuap!!"

"Bohong—"

"Kembalikan-perkamen-Clara-sekarang-juga!!"

"Tidak mau sebelum kau bilang kenapa—kau membawa-bawa namaku tapi kau tidak menjelaskan alasannya."

"Tidak cukupkah alasan yang tadi?"

"Kau sudah tujuh belas tahun, Clara. Jangan bersikap manja terus menerus, dan jangan seperti anak-anak!! Bangun!! Kau ini sudah dewasa!! Kau hidup di dunia nyata—bukan dongeng antah berantah!!" Dan waktu seolah berputar, menghantarkan mereka kembali ke tahun-tahun sebelumnya ketika kedua remaja Ravenclaw ini sering adu mulut, dimana si lelaki selalu menggunakan nada ketus, dan si perempuan menggunakan nada manja. Tapi kali ini berbeda, keduanya menggunakan nada tidak mengerti yang kentara, dimana si perempuan lebih condong ke arah tidak tahu harus berkata apa.

Refleks, Clara melemparkan satu bungkus marshmallow ke arah Sho, marah. "Clara memang anak-anak!! Clara memang manja!! Clara masih kecil dan Clara belum dewasa!! Sho pikir Sho siapa mengomentari bahkan mengatur-ngatur semua hidup Clara sampai seperti ini? Sho bukan Mum!! Sho bukan Dad!! Sho juga bukan Cyrilla!! SHO BUKAN SIAPA-SIAPA!!"

"Kau—" Sho berdecak, melemparkan perkamen Clara ke sembarang arah. "Kau bicara apa sih?? Kenapa kau jadi ngelantur seperti ini—HEI!! AKU TIDAK MENGATURMU, TOLOL!! AKU HANYA BERTANYA KAU INI KENAPA!!!"

"JANGAN BENTAK-BENTAK CLARA!!"

"AKU TIDAK AKAN MEMBENTAK KALAU BUKAN KAU YANG MULAI!!!"

Hening. Lagi.

Detik demi detik semakin enggan berlalu dengan cepat, seakan mengejek Clara atas kemunafikannya yang sudah kentara. Tidak ada suara, kedua Ravenclaw remaja itu masih tetap membisu, membiarkan kehangatan yang berasal dari perapian menghilang begitu saja, membiarkan api hangat itu mati seketika namun tidak membiarkan api kemarahan mereka hilang sedikit pun. "Haah…" Akhirnya Clara pun mendesah, menjadikannya yang pertama kali memecah kesunyian ini. Sekali lagi, bukan karena disebabkan oleh karakternya yang memang tidak bisa diam, tetapi kali ini karena sikap Sho yang membuatnya terbujuk untuk segera menyudahi semuanya, karena perkataan Yuji seketika terlintas di benaknya. Dan sebagai pihak yang kalah sekaligus penyebab semua ini, ia harus bertanggung jawab.

"Clara capek bertengkar terus dengan Sho—jangan potong, Clara benar-benar capek aduk mulut. Clara capek terus menerus bertengkar, dan Clara akui kalau Clara kalah dalam perang dingin selama tujuh tahun ini—tidak bisa menyaingi sikap tenang di segala situasi seperti Sho." Ngelantur, itulah yang ada di benak Sho saat Clara berujar panjang seperti itu. "Yang Clara pinta adalah—tolong, jawab dengan sejujur-jujurnya apa pun yang Clara tanyakan, jangan protes dan jangan mengelak. Untuk pertama kalinya—dan terakhir kali mungkin—Sho bisa menjawab dengan kepala dingin. Maksud Clara, tetaplah menjawab dengan kepala dingin, seperti biasa."

"Oke." jawab Sho simple. Dan Clara, sekali pun sudah terjadi kesepakatan gadis itu tetap diam, tidak bersuara apa-apa. Jelas, Sho kesal karena sikap Clara, tapi mengingat ucapan gadis itu barusan, sebisa mungkin dia mencoba sabar, mencoba menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu padanya, apa pun bentuknya. Bisa saja, ucapan gadis itu benar-benar serius kali ini.

"Kau Batman, dan Yuji Robin Hood."

"Lalu?"

"Lalu Clara apa, Sho?"

"Kau kebanyakan membaca dongeng—buku yang tidak berguna." Sho mengerenyit, lagi. Tidak mengerti apa yang diucapkan teman seasramanya itu. Oh, bagus. Sungguh sangat bagus karena gadis kecil pecinta dongeng ini malah memasukkan unsur lain, atau kalimat lain, atau topik lain dalam pembicaraan mereka yang bahkan sama sekali belum selesai. Curang karena Sho: Batman, Yuji: Robin Hood, dan bertanya Clara adalah apa sangatlah menggelikan.

Tapi sekali pun ini adalah hal yang lucu, tidak ada yang tertawa.

"Sho tahu siapa itu Batman dan Wonderwoman, kan??" Sho mengangguk canggung, memandang Clara dengan tanda tanya besar dibenaknya. "Clara tanya sekali lagi. Sho ini Batman, Yuji ini Robin Hood, lalu Clara ini apa, Sho?" gadis itu mengulang pertanyaannya, dan lelaki dihadapannya tertegun sejenak, entah berpikir, entah terkejut.

"Kau—errr... Catwoman?"

Tidak ada respon dan Sho menjadi salah tingkah sendiri. Sedangkan Clara hanya berdiri mematung.

"... tidak bisakah Clara menjadi Wonder Woman?"

"Err—" Sho mengerenyit, berpikir serius. "Sepertinya tidak—errr.... menurutku kau cocok jadi Catwoman, dan yah, kau ini Catwoman. Cukup Catwoman."

Seketika, Clara langsung menghela nafas berat sambil memejamkan mata, membiarkan memorinya terus-menerus memutar ulang kalimat si sulung Wayland barusan, dan berpikir bahwa semuanya sudah berakhir, semuanya sudah terbayar penuh. Perasaan tenang seketika meluap, pikirannya terasa ringan ke udara. Ringan, seperti bulu-bulu bertebaran, seperti saat ia melepas kelulusan kedua kakaknya, seperti saat dia mengikhlaskan kematian Evie, bahkan ringan seperti saat dia menangis sejadi-jadinya ketika di caci mudblood.

Darah lumpur.

Kotor.

"Aku benci padamu, Shoichi..." Clara berujar pelan, sedikit bergetar menahan tangis. "aku membencimu teramat sangat, membencimu dengan segenap hatiku sampai aku tidak menyadari kalau ternyata aku menyukaimu—aku mencintaimu."


— o —



Fakta lainnya adalah, setelah semua kejadian itu berlalu, Shoichi Wayland memutuskan untuk membuat kesimpulan sederhana di saat itu juga bahwa Clara hanya sedang emosional sehingga gadis itu marah-marah, berbasa-basi dengan kalimat-kalimat aneh yang tidak bisa dia mengerti, menyangkutpautkan dengan imajinasi yang melekat padanya sedari dulu, memberikan substitusi yang sopan untuk kata 'aneh' sehingga dia hanya bisa tertawa ringan sambil menoyor kening Clara dan kemudian berlalu begitu saja.

Meninggalkan Eileithyia menangis di tengah ruangan rekreasi asrama yang dingin.

Meninggalkan satu kisah dongeng yang lagi-lagi tidak bisa dia percayai sekali pun ini adalah kisah nyata.



— o —

Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next