Tapi sebenarnya semua itu benar. Kazusa tidak mau mengakui kalau ucapan Yukiko yang mau tidak mau membuatnya memperhatikan Shibasaki dengan seksama, membuatnya tidak bisa lepas memandang lelaki itu, mengeceknya hampir tiap menit seolah ada kemungkinan si Kiku itu akan ambruk, jatuh karena sakit, atau kelelahan, atau stress. Atau bahkan tiba-tiba berdiri dan kemudian menari perut secara tiba-tiba pun jadi. Tidak ada kata lain atau bahkan niatan lain kenapa Kazusa memperhatikan Shibasaki, hal itu hanya karena duel. Akademis. Keadilan. Atau cemas. Meski tentu saja, argumennya yang terakhir ia sanggah terang-terangan.
Dia ini Bara, dan dia adil.
—oOo—
Hari ini adalah hari yang paling membosankan bagi Reichi. Character Building di siang hari. Yah, memang, sebenarnya pelajaran ini memang sering kali membosankan. Selain karena sensei-nya, Goro Yamakawa, sudah sangat tua, biasanya pembahasan atau cerita-cerita di pelajaran ini tidaklah menarik. Misalnya hari ini. Yamakawa-sensei bercerita tentang legenda peri-peri yang tersebar luas di Dunia, bahkan katanya di Ryokubita pun ada beberapa peri, di salah satu pelosok garden, katanya. Yamakawa-sensei menjelaskan bahwa majou atau penyihir biasanya bisa melihat peri-peri itu, hanya tinggal mengandalkan keberuntungan karena si peri sangatlah pemalu. Setiap majou bisa melihatnya, namun hanya beberapa saja yang dapat berbincang-bincang dengan mereka. Peri itu berwujud wanita cantik, dengan aura biru laut yang kentara. Katanya, apabila ada pasangan yang melihatnya, maka mereka akan menjadi jodoh dan setia sepanjang masa. Sedangkan apabila yang melihatnya adalah sahabat karib, berapa pun jumlahnya, maka mereka akan mendapatkan tiga pertanyaan untuk diuji kesetiannya sebagai sahabat.
Yamakawa-sensei pun bercerita soal legenda pesta hantu yang ada di Ryokubita, yang biasanya terjadi satu tahun sekali, tepatnya sehari setelah badai salju terjadi. Katanya, apabila hari ini terjadi badai salju, maka keesokan harinya, tepat pada pukul dua belas malam, di area pemakaman akan bergentayangan semua setan-setan Ryokubita. Mereka akan berpesta, dan menari-nari, dan bernyanyi entah dalam rangka merayakan apa. Meski pun demikian, Yamakawa-sensei juga tidak bisa memastikan dengan benar. Katanya tidak pernah ada yang melihat dua kejadian itu setelah angkatannya lulus, dan itu terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan baik setan mau pun peri, mereka dapat mengabulkan satu permintaan, secara sihir, tentu, namun tetap tidak bisa memenuhi permintaan yang berkaitan dengan nyawa.
Itu takhayul. Rei tidak percaya.
Dia memang tidak percaya dongeng. Bukan karena dia seorang laki-laki atau bahkan bukan karena sekarang ini dia sudah berusia di atas dua puluh, usia yang dikatakan dewasa menurut undang-undang Jepang pada umumnya, melainkan karena memang dia tidak pernah bisa mengerti dimana bagusnya dongeng-dongeng itu. Tidak logis. Dan bukankah semua itu kebohongan? Mana ada yang namanya Peri merubah seseorang, apalagi wanita, menjadi cantik hanya dalam hitungan jam? Kenapa tidak sekalian saja menjadi cantik selamanya? Dan kenapa bisa-bisanya seorang pangeran jatuh cinta hanya karena sebuah sepatu—bagaimana kalau sepatu itu bau? Astaga. Aneh dan akan terus aneh. Semakin dipikirkan, semakin Rei tidak mengerti.
Yukiko pernah bercerita tentang dongeng-dongeng sihir, bahkan sering. Namun karena Rei tidak tertarik, bahkan tidak percaya, dia memilih untuk cuek dan tidak mendengarnya. Yukiko tidak marah, dia hanya menggembungkan pipinya dan manyun seperti biasa, kemudian berceloteh riang sesudahnya. Atau memintanya mengajari bahasa Inggris. Dan lain-lain yang menjadi rutinitas biasa tiap hari.
Sihir memang bisa menjadikan segalanya bisa terjadi dengan mudah, sekali pun hal itu di luar logika dan sama sekali tidak logis. Dan dongeng tetaplah dongeng, tidak bisa dijadikan kenyataan. Lagi pula, apa menariknya dunia dongeng seperti itu? Dunia yang segala kebaikan pasti akan mendapatkan imbalan, dan kejahatan akan mendapatkan hukuman. Dunia yang apabila kita tetap melangkah di jalan yang lurus, maka kita aman, tidak akan tersesat di dalam hutan apabila kita melangkah menyimpang. Dan dunia yang apabila ada seorang ayah atau raja yang sakit, maka tinggal meminta kepada anak-anaknya mencarikan obat, yang tulus dan pemberani akan mendapatkannya, dan yang licik serta picik akan kalah. Kemudian, semuanya berakhir bahagia. Selalu bahagia. Tidak seru.
"Reichi-kun!!" Rei menoleh saat namanya disebut, dan berbalik memandang Yukiko. "Tuh, kan!! Bukan cuma kakekku saja yang pernah melihatnya!! Kau sih, tidak percaya!! Tidak asik!!" Rei tersenyum.
"Memang tidak percaya, itu cuma buat anak-anak," jeda, si Kiku mengernyit sebentar "kau kan anak-anak, wajar kalau percaya." dan Ryokuemon itu refleks melemparkan buku karena sebal. Pipinya mengembung seperti biasa, dan manyun.
"Hei Kazusa-chan, kau kenapa melihatku begitu?" Yukiko bersuara, memanggil Araide dengan berbisik pelan; Rei mau tidak mau menoleh memandang lagi ke belakang, mendapati gadis itu bertanya pada si Bara dengan tangan kanan melambai-lambai tepat di hadapan wajah si Bara. Matanya menyipit, bibirnya tersenyum jahil. "Cemburu, ya?—Iiih!! Jangan cemburu begitu, Reichi-kun tidak ada yang punya kok!! Kalau suka, bilang saja!! Enggak usah pakai acara duel segala."
"Enak saja!!" Si Bara memprotes, manyun. Tapi kemudian berwajah normal lagi, malah menunjukkan mimik penasaran memandang Yukiko dan berbicara pelan. "Eh, kau kan sudah putus, kok masih bisa akrab begitu sih? Kalau aku jadi kau, dan mendapati dia selingkuh dengan gadis lain, bukan cuma putus, aku pun pasti akan pura-pura tidak mengenalnya, sama sekali. Kok aku tidak tahu sih kalian putus kenapa, cerita dong!!" Tapi Yukiko tidak menjawab, dia hanya nyengir sambil menghendikkan bahu saat Rei, yang masih memandangnya, memandang gadis itu dengan isyarat memintanya diam. Dia menurut. "Eh?! Kenapa kau malah melotot ke arah Ko sih?!" Araide menyadari, dan langsung memencak.
"Tidak bisakah kau untuk tidak bergosip?" Rei bertanya kalem.
"Memang kenapa? Mulutku ini, bukan mulutmu!!"
"Tidak masalah, sebenarnya. Terserah kalau kalian mau bergosip. Tapi bukankah sudah aku katakan, jangan campuri urusanku." Araide mengerenyit, tangannya meremas kertas dengan sangat kesal, jelas dia merasa kesal. "Lagi pula, kalau kau memang seorang anggota Hikari Journal, yang katanya bisa mendapatkan berita dengan sangat mudah serta akurat, terpercaya, atau apalah itu namanya, kenapa tidak kau cari tahu sendiri saja?" Rei tersenyum meremehkan.
"Kau benar-benar cowok yang enggak punya hati—" Araide celetuk, memulai untuk memprotes dirinya entah untuk keberapa kali. "Aku jamin, pasti tidak ada yang akan menyukaimu setelah semua ini!! Hanya keajaiban saja yang bisa—"
"Aku tidak percaya keajaiban. Aku percaya kenyataan."
"—kau tidak percaya keajaiban? Kau tidak percaya mimpi?" si Bara mangap, kaget. "Kau—apakah kau tidak percaya dongeng yang barusan?" Rei terdiam, tidak menjawab dan memilih hanya menghendikkan bahunya seraya mengerlingkan matanya, mencoba sabar dengan pertanyaan Araide lainnya. "Ya ampun?? Kau tidak percaya??? Kasihan!!" tapi kali ini, Rei menahan nafas, memandang gadis Bara itu dengan ekspresi sedikit bingung, bercampur kesal. "Kau tahu? Aku menang satu point darimu"
"Harus ya, semua anak di dunia ini percaya dongeng?" tanya Rei kalem.
"Kau dulu percaya sihir tidak? Buktinya sekarang ada kau mempelajari sihir, bukan? Nah, dongeng pun begitu!! Jangan bilang tidak ada dongeng kalau ternyata suatu hari nanti kau harus menelan bulat-bulat perkataanmu barusan!! Lihat saja!!"
"Apa untungnya bagiku percaya dongeng?" Araide tidak menjawab. "Tidak ada, kan?"
"—sungguh, kau ini masa kecil kurang bahagia."
Tidak ada suara, Rei hanya memandang Araide sebentar, kemudian berbalik. Entah kenapa. rasanya benar-benar menyakitkan.
"Kau percaya semua dongeng itu?"
"Percaya."
"Aku sama sekali tidak, menurutku aneh."
"Sayang sekali, padahal kalau kau percaya, pasti akan seru jadinya."
"Yah, aku tidak akan percaya kalau belum melihatnya."
"Kalau begitu, kenapa senpai tidak melihatnya saja?"
"Apa kalau aku sudah lihat, dan aku percaya, kau mau menerimaku?"
"...."