<body>
Nobody Knows - Chapter 3
Senin, 05 September 2011 @9/05/2011 02:04:00 AM



Disclaimer :

Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : Semua ini murni karena imajinasi gue karena sering banget RC sama Bia as Kazusa via twitter, nyolot-nyolotan cuma karena akademis. Terus gue berpikir, kayaknya oke kalau mereka kayak tetsukasa (you-know-me-so-well) tapi jelas, semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini. Murni pikiran gue. Settingnya saat Rei, Yukiko, sama Kazusa kelas dua belas, Tetsu kelas tiga belas, dan mereka semua sorcier (wow). Sebetulnya gue pengen banget post ini di Ryoku, tapi mungkin nunggu beberapa lama karena gue sendiri masih bingung. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.







- Chapter 3 -











"Ngapain ada di depan asrama cewek?" Rei tersentak kaget saat Araide-cewek memanggilnya, atau lebih tepatnya menudingnya. Dilihatnya, Araide berkacak pinggang dengan mata menyipit curiga, berdiri tegak tepat dihadapannya yang tengah duduk di anak tangga menuju asrama perempuan. Rei mengacuhkannya. "Memata-mataiku, ya?" mendengus sebal sembari bersikap cuek dan tidak menjawab apa-apa, Rei memandang Araide dengan alis terangkat, bertanya dengan ekspresi wajahnya yang seolah-olah berkata untuk apa dia memata-matai Araide. Tidak berguna. Tapi kemudian dia berdiri, bersandar pada tembok.

"Kau ini sepertinya salah asrama," Rei berujar pelan. "Narsis tingkat tinggi. Seperti Kiku."

"Sayangnya Kiku itu tidak seperti Bara!! Jujur!!"

"Sayangnya kau Bara yang bodoh."

"Apa?! Situ oke?! Hah!! Mimpi!!!"

"Slogan." Mengibaskan tangan kanannya, jelas sudah bahwa Rei tidak ingin berdebat di jam-jam malam seperti ini, memilih untuk menghindari detensi dengan cara mengacuhkan Araide adalah keputusan yang baik. Namun sayangnya, Rei lupa kalau lawan bicaranya ini adalah Kazusa Araide, si biang gosip Hikari Journal yang artinya akan ada banyak pertayaan mencerocos dari bibir kecilnya itu.

"Lalu? Kau menunggu siapa?" pertanyaannya yang pertama.

"Yukiko-chan" Rei asal jawab.

"Hah?! Mau apa lagi kau?!"

"Kencan."

"APA??!!—tidak tahu diri!! Kau kan sudah putus dengannya!!" Rei menoleh memandang Araide sekilas dengan risih dan merogoh sakunya; mengeluarkan handphone, menuliskan pesan singkat tanpa mempedulikan ucapan Araide yang terus menghujaninya dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar. Oh tentu, kata-kata makian juga termasuk di dalamnya. "Shibasaki-baka!! Aku benci padamu!!" ujarnya sambil terengah-engah. Dan kemudian terdiam lama.

Rei tersenyum. "Sudah, pidatonya?" dilihatnya Araide langsung memicingkan matanya dengan curiga, memandang sinis manusia Kiku dihadapannya. "Aku sudah bilang padamu, jauh-jauh hari, bahwa kau tidak perlu mencampuri urusanku—ingat, kau punya urusanmu sendiri, bukankah lebih bermakna kalau waktumu kau habiskan untuk belajar agar bisa mengalahkanku? Jangan buang sia-sia dengan cara menceramahiku terus menerus seperti ini." Rei memandang Araide dengan senyuman tipis diwajahnya. "Dan aku tidak memata-mataimu, aku menunggumu."

Sekilas, kalau saja Araide menyadari, Rei melirik ke arah pintu asrama perempuan dan mengerutkan alisnya, berharap bahwa gadis yang benar-benar dia tunggu akan turun sehingga semuanya selesai, namun sayangnya Araide datang, dan entah pesan singkatnya itu sampai atau tidak, Rei tidak tahu, dia hanya berharap-harap cemas dan sekarang dengan sangat bodohnya dia mulai bersikap gombal seperti dulu—berkata bahwa dia menunggu Araide padahal dia sendiri tidak tahu menunggu karena apa.

Dan kemudian dia teringat—tangannya buru-buru merogoh saku kemejanya dan menyerahkan beberapa foto pada Araide, menyodorkannya dengan santai sekali pun tatapan gadis Bara itu masih tetap sinis, bahkan curiga. "Hanya foto. Candid." ujar Rei santai yang sebenarnya dalam hati merasa bersyukur dia membawa beberapa foto candid disakunya yang kebanyakan adalah foto Miho dan adik perempuannya. "Tolong berikan pada orang-orang yang ada di foto ini—" ada beberapa, banyak "—atau cukup simpan saja di meja ruang rekreasi asrama."

Araide mengernyit, mengambil foto-foto itu dengan berat hati, dan melihat-lihatnya sekilas. Tapi kemudian gadis itu terdiam lama, membeku. Rei tersenyum tipis; berbalik selagi Araide mengamati foto-foto itu, meninggalkan si Bara secepat dia bisa—namun berhenti sejenak. "Oh iya, satu lagi—" si Bara menoleh "—kau manis kalau tersenyum."




oOo—




Sent : Doraemon-chan
Subject : untitle

Aku di bawah. Sampai jam 10, mungkin. Dimana?



Sent : Doraemon-senpai
Subject : Gomenasai.

Aku tidak mau bertemu sebelum semua selesai.
Aku benci padamu.




oOo—




"Eh eh, Kazusa-chan, kau sadar tidak sih Reichi-kun jadi sering ada di depan asrama putri?" Yukiko-chan mengerling dengan senyum misterus "Kenapa ya?" Yukiko-chan bertanya polos, matanya memandang Kazusa sesekali, berusaha untuk menutupi rasa ingin taunya meski hal itu sama sekali tidak berhasil. "Jangan-jangan..."

"Apa—HEI!!! apa kau akan bilang kalau `benci itu mendekati cinta` seperti yang lainnya? Hah?" Kazusa berujar spontan, tangannya secara refleks sibuk memotong-motong kentang goreng dengan brutal. Kentara sekali kalau gadis ini sebal. "Aku tidak tahu apa-apa soal kenapa si Shibasaki mendadak jadi satpam, tapi toh mungkin dia masih menjiwai jabatannya tahun lalu menjadi Anzen. Atau mungkin dia mau menemui adiknya, atau memang sedang melakukan—err, ritual? Atau bahkan di usir dari asramanya? Atau—"

"—atau bisa jadi menunggumu!! Cieee!!!"

"NO WAY!! Itu sama sekali enggak mungkin!! Kami—eh, maksudnya aku dan Shibasaki hanya berurusan soal persaingan akademis ini!! Dan kau harus tahu, aku melakukan ini karenamu!! Karena Rei-chan!! Karena dia berani-beraninya menyakiti kalian!!" Kazusa berbicara dengan berapi-api, kesal.

"Tapi memangnya kau gak sadar ya?" Yukiko berujar lagi, masih senyam-senyum. "Biasanya itu tanda-tanda barring in rabu, tahu!!" dan gadis Ryokuemon mencerocos, tangannya melambai-lambaikan tusuk bekas ringoame-nya. Tapi tiba-tiba dia mengangguk ke arah pintu kantin dan cengar-cengir jahil, mengarahkan pandangan Kazusa untuk melihat ke belakang—melihat sosok lelaki Kiku yang masuk ke dalam kantin dengan tampang berantakan. "Sepertinya dia ada masalah, hibur dong."

Kazusa mengernyit "Apa sih?! Apa hubungannya denganku!?" dan seperti biasa, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, bergumam dengan memaki-maki kecil. Mengacuhkan Yukiko-chan yang masih cengar-cengir. "Kau aneh, cowok seperti itu masih saja kau perhatikan! Kau ini benar-benar sudah putus atau belum sih??"

"Yah, sebenarnya sih bukan itu. Maksudku, apa kau akan puas menerima kemenangan secara sepihak? Reichi-kun seperti sedang tidak semangat, dan bisa saja dia mengabaikan persaingan kalian berdua sehingga nantinya kau menang dengan mudah, apa kamu mau begitu? Katanya Bara, masa mau menang dengan cara begitu? Kalau Bara, ya menang dong secara Bara!! Katanya oke?!" Ryokuemon itu mencerocos, mengepalkan tangan kanannya dan bergerak-gerak seolah menyemangati Kazusa bak pemain taiko.

Sebagai Bara, perempuan tertua di keluarga Araide ini jelas tertohok.

Dia menoleh secara refleks, memandang Shibasaki yang sekarang sedang duduk bersama ketua asramanya, dan juga dengan ketua asrama Sakura. Bahkan dari ekor matanya, Kazusa menyadari bahwa mantan ketua asrama Kiku dan mantan ketua Himawari Seitokai dua tahun yang lalu juga mulai berjalan menghampiri kerumunan itu—berbincang-bincang sembari tertawa. Kazusa jadi mengernyit. Benarkan lelaki itu sedang ada masalah? Sebenarnya sih, mau tidak mau Kazusa menyadari bahwa sejak pelajaran mantra di awal musim panas kemarin, Shibasaki seperti tidak bersemangat lagi bersaing dengannya, sering kali dia membiarkan Kazusa menjawab pertanyaan demi pertanyaan dan lainnya—meski yah, tentu saja, nilainya masih berada di atasnya meski perbedaannya sangat tipis.

Dan tiba-tiba Shibasaki menoleh—memandangnya.

Kazusa membuang muka seketika, menatap kentang goreng dihadapannya dan menggeleng, mengernyit sembari menghela nafas berat; menyesali tingkahnya barusan. Dia sebal, sekaligus malu. "Omong-omong Kazusa-chan," Yukiko berbicara lagi, kali ini tidak ada cengiran jahil atau suara `ciee` panjang yang menggodanya. "Kalau kau jadian, traktir ya!!"

"—apa?!"

Tapi sebenarnya semua itu benar. Kazusa tidak mau mengakui kalau ucapan Yukiko yang mau tidak mau membuatnya memperhatikan Shibasaki dengan seksama, membuatnya tidak bisa lepas memandang lelaki itu, mengeceknya hampir tiap menit seolah ada kemungkinan si Kiku itu akan ambruk, jatuh karena sakit, atau kelelahan, atau stress. Atau bahkan tiba-tiba berdiri dan kemudian menari perut secara tiba-tiba pun jadi. Tidak ada kata lain atau bahkan niatan lain kenapa Kazusa memperhatikan Shibasaki, hal itu hanya karena duel. Akademis. Keadilan. Atau cemas. Meski tentu saja, argumennya yang terakhir ia sanggah terang-terangan.

Dia ini Bara, dan dia adil.




oOo—


Hari ini adalah hari yang paling membosankan bagi Reichi. Character Building di siang hari. Yah, memang, sebenarnya pelajaran ini memang sering kali membosankan. Selain karena sensei-nya, Goro Yamakawa, sudah sangat tua, biasanya pembahasan atau cerita-cerita di pelajaran ini tidaklah menarik. Misalnya hari ini. Yamakawa-sensei bercerita tentang legenda peri-peri yang tersebar luas di Dunia, bahkan katanya di Ryokubita pun ada beberapa peri, di salah satu pelosok garden, katanya. Yamakawa-sensei menjelaskan bahwa majou atau penyihir biasanya bisa melihat peri-peri itu, hanya tinggal mengandalkan keberuntungan karena si peri sangatlah pemalu. Setiap majou bisa melihatnya, namun hanya beberapa saja yang dapat berbincang-bincang dengan mereka. Peri itu berwujud wanita cantik, dengan aura biru laut yang kentara. Katanya, apabila ada pasangan yang melihatnya, maka mereka akan menjadi jodoh dan setia sepanjang masa. Sedangkan apabila yang melihatnya adalah sahabat karib, berapa pun jumlahnya, maka mereka akan mendapatkan tiga pertanyaan untuk diuji kesetiannya sebagai sahabat.

Yamakawa-sensei pun bercerita soal legenda pesta hantu yang ada di Ryokubita, yang biasanya terjadi satu tahun sekali, tepatnya sehari setelah badai salju terjadi. Katanya, apabila hari ini terjadi badai salju, maka keesokan harinya, tepat pada pukul dua belas malam, di area pemakaman akan bergentayangan semua setan-setan Ryokubita. Mereka akan berpesta, dan menari-nari, dan bernyanyi entah dalam rangka merayakan apa. Meski pun demikian, Yamakawa-sensei juga tidak bisa memastikan dengan benar. Katanya tidak pernah ada yang melihat dua kejadian itu setelah angkatannya lulus, dan itu terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan baik setan mau pun peri, mereka dapat mengabulkan satu permintaan, secara sihir, tentu, namun tetap tidak bisa memenuhi permintaan yang berkaitan dengan nyawa.

Itu takhayul. Rei tidak percaya.



Dia memang tidak percaya dongeng. Bukan karena dia seorang laki-laki atau bahkan bukan karena sekarang ini dia sudah berusia di atas dua puluh, usia yang dikatakan dewasa menurut undang-undang Jepang pada umumnya, melainkan karena memang dia tidak pernah bisa mengerti dimana bagusnya dongeng-dongeng itu. Tidak logis. Dan bukankah semua itu kebohongan? Mana ada yang namanya Peri merubah seseorang, apalagi wanita, menjadi cantik hanya dalam hitungan jam? Kenapa tidak sekalian saja menjadi cantik selamanya? Dan kenapa bisa-bisanya seorang pangeran jatuh cinta hanya karena sebuah sepatu—bagaimana kalau sepatu itu bau? Astaga. Aneh dan akan terus aneh. Semakin dipikirkan, semakin Rei tidak mengerti.

Yukiko pernah bercerita tentang dongeng-dongeng sihir, bahkan sering. Namun karena Rei tidak tertarik, bahkan tidak percaya, dia memilih untuk cuek dan tidak mendengarnya. Yukiko tidak marah, dia hanya menggembungkan pipinya dan manyun seperti biasa, kemudian berceloteh riang sesudahnya. Atau memintanya mengajari bahasa Inggris. Dan lain-lain yang menjadi rutinitas biasa tiap hari.

Sihir memang bisa menjadikan segalanya bisa terjadi dengan mudah, sekali pun hal itu di luar logika dan sama sekali tidak logis. Dan dongeng tetaplah dongeng, tidak bisa dijadikan kenyataan. Lagi pula, apa menariknya dunia dongeng seperti itu? Dunia yang segala kebaikan pasti akan mendapatkan imbalan, dan kejahatan akan mendapatkan hukuman. Dunia yang apabila kita tetap melangkah di jalan yang lurus, maka kita aman, tidak akan tersesat di dalam hutan apabila kita melangkah menyimpang. Dan dunia yang apabila ada seorang ayah atau raja yang sakit, maka tinggal meminta kepada anak-anaknya mencarikan obat, yang tulus dan pemberani akan mendapatkannya, dan yang licik serta picik akan kalah. Kemudian, semuanya berakhir bahagia. Selalu bahagia. Tidak seru.

"Reichi-kun!!" Rei menoleh saat namanya disebut, dan berbalik memandang Yukiko. "Tuh, kan!! Bukan cuma kakekku saja yang pernah melihatnya!! Kau sih, tidak percaya!! Tidak asik!!" Rei tersenyum.


"Memang tidak percaya, itu cuma buat anak-anak," jeda, si Kiku mengernyit sebentar "kau kan anak-anak, wajar kalau percaya." dan Ryokuemon itu refleks melemparkan buku karena sebal. Pipinya mengembung seperti biasa, dan manyun.

"Hei Kazusa-chan, kau kenapa melihatku begitu?" Yukiko bersuara, memanggil Araide dengan berbisik pelan; Rei mau tidak mau menoleh memandang lagi ke belakang, mendapati gadis itu bertanya pada si Bara dengan tangan kanan melambai-lambai tepat di hadapan wajah si Bara. Matanya menyipit, bibirnya tersenyum jahil. "Cemburu, ya?—Iiih!! Jangan cemburu begitu, Reichi-kun tidak ada yang punya kok!! Kalau suka, bilang saja!! Enggak usah pakai acara duel segala."

"Enak saja!!" Si Bara memprotes, manyun. Tapi kemudian berwajah normal lagi, malah menunjukkan mimik penasaran memandang Yukiko dan berbicara pelan. "Eh, kau kan sudah putus, kok masih bisa akrab begitu sih? Kalau aku jadi kau, dan mendapati dia selingkuh dengan gadis lain, bukan cuma putus, aku pun pasti akan pura-pura tidak mengenalnya, sama sekali. Kok aku tidak tahu sih kalian putus kenapa, cerita dong!!" Tapi Yukiko tidak menjawab, dia hanya nyengir sambil menghendikkan bahu saat Rei, yang masih memandangnya, memandang gadis itu dengan isyarat memintanya diam. Dia menurut. "Eh?! Kenapa kau malah melotot ke arah Ko sih?!" Araide menyadari, dan langsung memencak.


"Tidak bisakah kau untuk tidak bergosip?" Rei bertanya kalem.

"Memang kenapa? Mulutku ini, bukan mulutmu!!"

"Tidak masalah, sebenarnya. Terserah kalau kalian mau bergosip. Tapi bukankah sudah aku katakan, jangan campuri urusanku." Araide mengerenyit, tangannya meremas kertas dengan sangat kesal, jelas dia merasa kesal. "Lagi pula, kalau kau memang seorang anggota Hikari Journal, yang katanya bisa mendapatkan berita dengan sangat mudah serta akurat, terpercaya, atau apalah itu namanya, kenapa tidak kau cari tahu sendiri saja?" Rei tersenyum meremehkan.

"Kau benar-benar cowok yang enggak punya hati—" Araide celetuk, memulai untuk memprotes dirinya entah untuk keberapa kali. "Aku jamin, pasti tidak ada yang akan menyukaimu setelah semua ini!! Hanya keajaiban saja yang bisa—"

"Aku tidak percaya keajaiban. Aku percaya kenyataan."

"—kau tidak percaya keajaiban? Kau tidak percaya mimpi?" si Bara mangap, kaget. "Kau—apakah kau tidak percaya dongeng yang barusan?" Rei terdiam, tidak menjawab dan memilih hanya menghendikkan bahunya seraya mengerlingkan matanya, mencoba sabar dengan pertanyaan Araide lainnya. "Ya ampun?? Kau tidak percaya??? Kasihan!!" tapi kali ini, Rei menahan nafas, memandang gadis Bara itu dengan ekspresi sedikit bingung, bercampur kesal. "Kau tahu? Aku menang satu point darimu"

"Harus ya, semua anak di dunia ini percaya dongeng?" tanya Rei kalem.

"Kau dulu percaya sihir tidak? Buktinya sekarang ada kau mempelajari sihir, bukan? Nah, dongeng pun begitu!! Jangan bilang tidak ada dongeng kalau ternyata suatu hari nanti kau harus menelan bulat-bulat perkataanmu barusan!! Lihat saja!!"

"Apa untungnya bagiku percaya dongeng?" Araide tidak menjawab. "Tidak ada, kan?"

"—sungguh, kau ini masa kecil kurang bahagia."

Tidak ada suara, Rei hanya memandang Araide sebentar, kemudian berbalik. Entah kenapa. rasanya benar-benar menyakitkan.


oOo—


"Kau percaya semua dongeng itu?"

"Percaya."

"Aku sama sekali tidak, menurutku aneh."

"Sayang sekali, padahal kalau kau percaya, pasti akan seru jadinya."

"Yah, aku tidak akan percaya kalau belum melihatnya."

"Kalau begitu, kenapa senpai tidak melihatnya saja?"

"Apa kalau aku sudah lihat, dan aku percaya, kau mau menerimaku?"

"...."



oOo—

Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next