Saat Rei terbangun dari tidurnya, dia seketika sadar bahwa dirinya masih berada diperpustakaan, masih menggunakan bajunya yang kemarin—sendirian. Kepalanya refleks celingukan, mencari-cari sosok gadis Bara yang sudah tidak lagi nampak batang hidungnya, sudah kembali entah ke asrama, atau kemana. Beragam pertanyaan segera terlintas dibenaknya. Apakah gadis itu di detensi? Keluar jam berapa dia? Apakah dia ketahuan Anzen? Dimana jaketnya?
Rei jelas panik, tapi tubuhnya tidak bisa berbuat apa-apa, entah kenapa terlalu lemas untuk berdiri, atau masih belum seratus persen sadar, lelaki Kiku ini hanya bisa duduk di tempat; tidak bergeming. Di tambah lagi kepalanya terasa sangat sakit. Mungkin, karena semalam cuaca tidak begitu bersahabat sehingga Rei jadi agak flu. Mungkin begitu.
Begitu merasa sedikit lebih baik, Rei buru-buru jalan keluar, meninggalkan perpustakaan dan pergi menuju kantin—sudah jam sepuluh, jelas Rei tidak mau bersusah payah memasuki kelasnya hanya untuk di semprot dan di usir keluar kelas. Jelas sudah telat, lebih baik bolos. Lagi pula, dia lapar dan dia sangat butuh makanan. Meski begitu, Kiku muda ini masih memikirkan soal dongeng dan janjinya—memikirkan cara bagaimana dia membuktikan kalau dia percaya semua itu.
"Kenapa tidak masuk kelas? Bukankah hari ini jadwal kelasmu pagi tadi?" Rei terperangah saat suara adik laki-lakinya mengejutkannya secara tiba-tiba. Tetsu tengah duduk sendirian di salah satu meja kantin, memandangnya dan memandang arloji perak di tangan kanannya. "Bolos?" ujarnya santai. Rei tidak menjawab, masih sibuk memesan makanan ini dan itu, baru dia duduk di tempat yang sama dengan adiknya. Tangan kanannya bergerak lincah, melambaikan Baswood-nya dengan cepat: mengambil kopi, cemilan, air mineral, dan menyerahkan uang secara berturut-turut dan cepat. Tetsu hanya memandangnya dengan alis terangkat tinggi, kemudian berujar "
waw" kecil.
"Aku kesiangan." Rei menjawab pelan sambil melahap sarapannya, sedangkan si Sakura tidak merespon selain "Hmm" pelan, tetap sibuk dengan ocha panasnya dan koran pagi Hikari Journal, sambil bergumam kecil soal beberapa universitas yang tertera di daftar koran tersebut. Rei mendengarnya sekilas kalau Tetsu terus menerus berseru `wow` pada setiap universitas yang mencantumkan fakultas kedokteran. "Kau benar-benar ingin mengambil kedokteran, Tetchan? Kau kan
Sorcier, bukan
Genezer." Rei celetuk, tidak tahan untuk tidak berkomentar.
Tetsu tersenyum tipis, meletakkan ocha dan korannya dengan hati-hati; memandang kakaknya dengan santai. Ciri khas anak Sakura, Rei tahu itu. "Okaasan dan Otousan tidak keberatan, mereka setuju, Nao juga tidak keberatan aku mengambil pendidikan lagi setelah lulus tahun depan." tangannya bergerak menopang dagunya. "Aku ingin membantu orang-orang, tidak hanya sekedar melindungi mereka, tapi menyelamatkan mereka juga." Rei mengangguk sebagai isyarat bahwa alasan Tetsu sudah cukup membuatnya paham.
Dua kali adiknya menghadapi NOH selama dia di Ryokubita bukanlah hal yang mudah menghadapinya. Mungkin, Tetsu terlihat santai-santai saja, tapi Rei tahu, dia memiliki beban tersendiri. Fisik boleh sembuh—psikologis belum tentu. Tetsu memiliki sifat solidaritas yang tinggi, jadi mungkin benar adanya kalau dia terpukul dengan kematian teman-temannya waktu itu, terpukul karena luka-lukanya yang tidak kunjung sembuh. Rei mengangguk setuju.
"Lagi pula, pengobatan secara sihir dan medis itu berbeda loh—omong-omong Reichi, kau punya sesuatu benda yang mengkilap tidak? Bukan uang, tapi apa pun, tidak harus perhiasan, asalkan benda itu bisa mengkilap, entah kaleng, seng, atau apalah itu namanya, nanti aku minta dong."
"Buat apa?"
"Para kurcaci brengsek itu memintanya sebagai transaksi—pengganti uang." Rei melongo, tidak percaya. Tangannya refleks menurunkan sumpit dan bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, terkejut dengan jawaban Tetsu. "Aku meminta mutiara bulan pada mereka—semacam, errr,
yah, mutiara biasa, tapi warnanya emas api—emas kemerahan, maksudku. Mutiara itu akan terbentuk satu di tiap bulan purnama dan langka. Bagus untuk penguat ramuan-ramuan tertentu dan ini tugas sainsku." Tetsu mencerocos, menjelaskan pada kakaknya dengan santai.
"Kau—
kurcaci?"
"Iya. Memang kenapa?"
"Kok?"
"Kau sudah pikun apa? Aku
Western, ingat? Peri dan Kurcaci, berhubungan baik, dengan tongkat, serta penciptaan benda-benda magis?"
"Bukan itu—maksudku, mereka itu
nyata?"
"Apanya?"
"KURCACI, TOLOL!!!"
"Eeeehh??" Tetsu mengerutkan alisnya, bingung dengan pertanyaan Reichi barusan. "Kau sakit jiwa? Jelaslah mereka ada, benda-benda magis mereka pun demikian, hanya saja bentuk dan sifatnya berbeda dengan apa yang dijelaskan di cerita-cerita dongeng. Tapi aku rasa wajar sih kalau kau merasa aneh—kau
Eastern, kan? Wajar saja."
Rei bingung. "Jadi—mereka itu nyata?" Tetsu mengangguk, masih merasa aneh dengan reaksi kakaknya. "Dan kau—West—bisa melihatnya? Berbincang-bincang?" Pertanyaannya terlontar lagi, masih memastikan bahwa apa yang diucapkan adiknya itu benar, di luar konteks
east dan
west. "Mereka itu nyata? Sungguhan?" Pemuda Sakura itu tampak bingung, alisnya mengkerut kesal, memandang Rei dengan ekspresi aneh bercampur geli.
"Kau tidak percaya?" Rei tidak menjawab. "Kau tinggal di dunia sihir,
Aniki. Mereka nyata, tiap West pasti akan melihatnya, terbukti dengan setiap penulis mitologi beraliran sihir Western meski tidak semuanya sih, tapi rata-rata mereka aliran West. Aku sebenarnya sih tidak yakin kalau hanya West yang bisa melihatnya, menurutku East, Shaman, dan Sage bisa melihat Kurcaci dan Peri, hanya saja mungkin tidak bisa berbicara banyak hal—seperti aku yang tidak bisa sepenuhnya mengerti pembicaraan Roh dan Siluman sepertimu, bahkan berhubungan baik pun sangat langka. Kebetulan saja, Kitazawa orangnya baik."
"Jadi aku bisa melihatnya?"
"Oh—tentu, tapi aku rasa kau tidak menemui Kurcaci itu—Peri jauh lebih baik, dan
ya Rei. Mereka itu nyata." tambah Tetsu saat melihat mimik wajah kakaknya yang penuh dengan pertanyaan. "Para cebol itu—kurcaci maksudku—memiliki sifat yang beragam, ada yang konyol, bego, dan semacamnya. Tapi mereka memiliki kesamaan yang menyebalkan, mereka tempramental, dan itu jauh lebih susah diatasi ketimbang saat mereka mabuk. Sedangkan kalau Peri, mereka jauh lebih baik—tidak semua, memang, tapi setidaknya mereka masih bisa diajak berkomunikasi dengan baik—dan mudah ditemui. Mereka menetap."
Tetsu berhenti mencerocos saat dia menyadari kalau Rei sama sekali tidak bersuara, memilih untuk diam dan menjadi pendengar yang baik secara ajaib, secara langka. Tetsu tahu, bagi Rei yang hidup di tengah keluarga realistis seperti Shibasaki pastilah tidak akan percaya dengan mudah, bahkan Tetsu merasa tidak yakin apakah paman dan bibinya itu percaya sihir sekali pun darah Bibinya mengalir darah yang sama dengan keluarganya—Rei menjadi
majou pun pastilah setelah mengalami beragam pilihan yang berat.
"Dimana?"
"Apa?"
"Tempat aku bisa bertemu si Peri?"
—oOo—
Mantra Kurogami-sensei memang keren.
Kazusa merasa puas karena pelajaran mantranya kali ini benar-benar sukses, bahkan secara ajaib Kurogami-sensei memujinya. Kemarin, Nekoyanagi-sensei juga memberinya ucapan selamat karena Shikigami miliknya berkembang dengan pesat melebihi murid-murid yang lain—bahkan mengalahkan si Play Boy Kelinci Kiku itu. Tapi rasanya aneh dia tidak ada di kelas, kalau pun ada pastilah ekspresi si Kiku itu akan menjadi sebuah hadiah yang tidak terlupakan bagi Kazusa, melihat ekspresi kagetnya yang kentara karena telah Kazusa kalahkan.
Tapi Shibasaki bolos, dan Kazusa tahu itu.
Tadi pagi sebenarnya Kazusa ingin sekali membangunkan Shibasaki yang tertidur pulas di meja perpustakaan, membangunkannya atas nama keadilan dan kebaikan hati—karena kalau bukan karena dua hal itu, Kazusa memilih untuk tidak peduli—namun dia tidak tega, terus terang saja, melihat wajah Shibasaki yang teduh membuatnya merasa kasihan. Kazusa memang tidak tahu apa-apa, tapi membayangkan salah satu beban yang dipikul lelaki Kiku itu pastilah berat, dan terkadang membuat dia merinding.
Iya. Kazusa tahu satu hal—mengandalkan posisinya sebagai bagian Hikari Journal, tentu saja—bahwa menjadi tulang pungung dua keluarga sekaligus pastilah berat. Menjadi anak tunggal Shibasaki dan menjadi anak sulung Ikuya dengan tanggung jawab yang sama, pastilah membuatnya bingung. Ini Jepang, bukan Amerika, dan peraturan warisan di Negeri Sakura ini tidaklah mudah. Kazusa merasa kasihan pada si Kiku, iya.
Kasihan. Titik.
Hingga pada akhirnya Kazusa membiarkan pemuda itu lebih lama di perpustakaan, membiarkannya tertidur lebih lama. Yukiko sempat bertanya padanya mengapa Shibasaki tidak masuk, dan gadis Bara ini hanya bisa menghendikkan bahu sekilas, menjawab bahwa dia tidak tahu. Kazusa memang tidak tahu
kenapa, tapi dia tahu
mengapa. Dan Kazusa juga tidak tahu apakah Shibasaki sudah ada di kamarnya atau belum, atau sudah makan, atau dia ketahuan dan di detensi, atau apa pun.
"Makan yuk, Kazusa-chan?" Yukiko berujar pelan membuyarkan lamunan Kazusa dengan celetukkan polosnya seperti biasa. "Kau lapar tidak?" Dia mengangguk dan berdiri, menjawab dengan pelan sambil terus melangkah keluar kelas. Yukiko terus bertanya kenapa dengan dirinya, kenapa seorang Kazusa Araide tiba-tiba menjadi diam tak bersuara. Lesu. "Apakah kau sakit?"
"Tidak kok! Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Hee? Masa sih? Atau kau lagi PMS? Eh tapi kalau kau PMS biasanya kau makin brutal, kau akan berteriak—GRAAA!! GRAAA!!—dengan tanduk keluar dari kepalamu, mengamuk tak jelas." Yukiko mencerocos, mengomentari ini dan itu. "Atau kau memikirkan Reichi-kun?"
"Kenapa kau berpikir seperti itu??"
Tapi gadis Hakamadote itu hanya menghendikkan bahunya dan berjalan terus ke depan, sesekali menyikutnya dan menggodanya dengan ini dan itu. Menjelaskan bahwa sedari tadi Yukiko memperhatikannya, saat Kazusa berhasil merafalkan mantra, dia terlihat senang, tapi saat menoleh pada kelompok lelaki, dia terlihat lesu. Sayangnya, Kazusa tidak percaya itu, tidak terpengaruh. Tapi yang namanya Yukiko, dia terus mencerocos meski Kazusa sama sekali tidak menanggapinya. Mereka melangkah semakin pelan saat menghadapi anak tangga, saat Yukiko masih terus mencerocos soal Shibasaki.
"Mungkin ya, kau ini merasa kesal karena tidak bisa menunjukkan keberhasilanmu pada Reichi-kun." Kazusa terdiam lama dan tetap berjalan menelusuri anak tangga dengan sangat lambat meski teman seangkatannya itu masih terus mencerocos ini dan itu. Sebenarnya saja, Kazusa memang memikirkan Shibasaki, memikirkan tentang kemungkinan apa saja yang bisa dia dapatkan. "—sepertinya makan Kare enak, tapi aku ingin makan ramen. Tapi kalau aku makan ramen biasanya Reichi-kun akan memarahiku dan—
ADAOW!!!"
Menoleh cepat saat Yukiko memekik, Kazusa melihat seorang gadis berambut hitam panjang menubruk gadis Kiku itu; tidak sengaja tentu saja, tapi yang menarik perhatian Kazusa bukan hal itu melainkan gadis berambut panjang adalah Shiki Aoyama, adik kelasnya yang juga asrama Bara. "Go-gomen Senpai!!" kata Aoyama-chan panik. Gadis kecil itu buru-buru berbalik dan membantu Yukiko sambil terus meminta maaf tak henti-henti. "A-aku tidak melihat kalian karena aku terburu-buru jadi—
Doraemon-senpai." Mengerenyit, Kazusa menoleh memandang Aoyama-chan yang tampak semakin panik, dan berbalik mengikuti arah pandang gadis itu.
Reichi Shibasaki.
Laki-laki Kiku itu berdiri tak jauh dari tempat ketiga gadis ini berdiri; mungkin hanya berjarak lima sampai tujuh anak tangga. Ekspresinya datar—namun Kazusa jelas tidak buta. Meski sekilas, dia melihat lelaki terkejut sebelum akhirnya, dengan sangat hebatnya, dia bersikap tenang dalam hitungan detik. Yukiko mengaduh, Aoyama-chan menunduk, Shibasaki menatap mereka dan Kazusa menatap Shibasaki. "Gomen, aku harus per—"
"Tetap di tempatmu."
Kazusa, sebagai Anggota Hikari Journal jelas merasa ada yang aneh di sini. Antena-radar-berita yang ada di kepalanya secara fiktif mulai berbunyi; terlebih lagi saat Shibasaki perlahan mendekat, Aoyama-chan justru bergerak mundur. Dan lagi, entah karena Shibasaki yang bergerak cepat, atau Aoyama yang tidak bisa kemana-mana, lelaki Kiku itu berjalan mendekat dan langsung menyambar tangan kanan si Bara kecil. Jelas, Kazusa dan Yukiko sama sekali tidak di gubris kehadirannya.
"Kita harus bicara,
Doraemon," Kazusa tersentak saat Shibasaki membentak Aoyama yang hanya bisa menutup mata karena takut, sedangkan Yukiko hanya membuang muka, menutupi raut wajahnya yang tidak bisa Kazusa lihat. "Tidak di sini, di tempat lain." Aoyama menggeleng, tidak mau. "Aku tidak peduli dan aku minta kau untuk tidak me—"
"Dia tidak mau, jangan dipaksa!" Semua menoleh memandang kazusa yang dengan tololnya berkomentar, membentak si serigala Ikuya meski suaranya berusaha terdengar tenang. Mata hitam gadis Bara ini pun langsung memandang mata kelam Shibasaki saat lelaki itu menoleh; menatapnya tajam bercampur muak. Kazusa yakin, Shibasaki pasti kesal karena berkali-kali secara tidak langsung Kazusa ikut campur dan jelas, Kazusa merasa takut. Tapi dia tidak bisa mundur—tidak boleh mundur. "Kau tidak bisa mengerti itu? Dan apa kau tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik dan sopan, hah?!" Semuanya terdiam, Kazusa canggung. "Lepaskan Aoyama, kau menyakitinya."
"Aku lelah mengulang kata-kataku, Kazusa Araide.
Cukup, jangan campuri urusanku." gertak Shibasaki.
"Kali ini ada urusannya—dia adik kelasku."
"Dia
kouhai-mu, dia
kouhai-ku."
"Kau tidak bisa memperlakukan dia seperti itu."
"Lalu? Apa kau mau menjadi senpai yang budiman?"
"Dia Bara"
"Persetan dengan itu."
"TIDAK BISAKAH KAU MELIHAT AOYAMA KETAKUTAN MELIHATMU?! DIA TIDAK MAU BICARA DENGANMU, BUTA!!"
"DAN TIDAK BISAKAH KAU BERHENTI MENCAMPURI URUSANKU?!" Shibasaki berteriak marah dan mau tidak mau membuat Kazusa shock. Belum ada hitungan hari dia melihat wajah teduh dan mencium aroma kopi dari lelaki di hadapannya ini, sekarang semuanya sudah buyar lagi: mereka sudah kembali bertengkar seperti biasa—lebih ekstrim, tepatnya. Tidak ada yang berbicara setelahnya, Yukiko dan Aoyama-chan hanya bisa memandang kejadian di hadapannya dengan nafas tertahan, panik sekaligus penasaran.
"Aku akan berhenti mencampuri urusanmu kalau kau sudah berhenti mengganggu perempuan itu," sahut Kazusa, tegas. Tapi Shibasaki tidak menjawab sama sekali, hanya ada gerakan samar-samar dari Yukiko dan Aoyama-chan yang berjalan mundur menjauhi mereka, menghindari pertengkaran hebat. Namun ternyata Shibasaki hanya berbalik dan melangkah menjauhi kerumunan, pergi sebelum Kazusa sempat bertanya bagaimana keadaannya dan apakah dia di detensi atau tidak.
Selebihnya tidak ada yang bersuara. Hening.
—oOo—