<body>
Nobody Knows - Chapter 7
Senin, 28 November 2011 @11/28/2011 03:36:00 AM



Disclaimer :

Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : Semua ini murni karena imajinasi gue karena sering banget RC sama Bia as Kazusa via twitter, nyolot-nyolotan cuma karena akademis. Terus gue berpikir, kayaknya oke kalau mereka kayak tetsukasa (you-know-me-so-well) tapi jelas, semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini. Murni pikiran gue. Settingnya saat Rei, Yukiko, sama Kazusa kelas dua belas, Tetsu kelas tiga belas, dan mereka semua sorcier (wow). Sebetulnya gue pengen banget post ini di Ryoku, tapi mungkin nunggu beberapa lama karena gue sendiri masih bingung. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.







- Chapter 7 -











Musim gugur, dan entah sudah berapa bulan Rei tidak bertegur sapa dengan Araide.

Sejak musim panas kemarin, sejak si Bara membentaknya dan menceramahinya panjang lebar, Rei tidak pernah lagi beradu mulut seperti dulu dengan Araide meski pun di beberapa kejadian mengharuskan mereka bersama-sama. Rei jelas memilih diam, berbicara seadanya, dan bertindak seperlunya. Tidak ada lagi cemooh-cemooh kecil di saat Araide melakukan kesalahan saat kelas sains berselang, atau kelas mantra. Tidak ada lagi bentakan-bentakan Rei saat gadis itu bertanya-tanya pada Yukiko perihal alasan mengapa mereka putus. Bahkan di saat gadis itu melakukan kecerobohan yang fatal, Rei hanya membantunya secara refleks dan diam. Kemudian pergi. Tidak lebih, dan tidak kurang.

Meski sebenarnya, terus terang saja rasanya menjadi sepi ketimbang biasanya.

Tetsu menceramahinya panjang lebar saat mengetahui apa yang terjadi dan menyudutkannya bahwa Rei-lah yang salah. Tentu saja, di tengah-tengah segala macam dumelannya itu, Tetsu menyuruh Rei untuk meminta maaf karena tingkahnya yang kekanak-kanakkan. Yah, Rei tahu itu, dia jelas salah, tapi sayangnya Rei tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf dan harus seperti apa.

Tidak banyak orang yang menyadaribahwa Rei menjadi merasa asing dengan sekelilingnya sekarang ini. Merasa berbeda, bahkan kemarin-kemarin Yukiko juga pernah bilang padanya bahwa dia menjadi jauh lebih pendiam, nyaris seperti murid-murid Sakura. Tidak tahu juga sih apakah Rei memang tidak menyadari itu atau tidak mau mengakuinya yang jelas dia merasa aneh. Atau mungkin dia kehilangan Araide? Hah. Lebih baik dia memikirkan tentang kebenaran dongeng ketimbang memikirkan si Bara.

Selama liburan musim panas kemarin, Rei benar-benar mengejutkan hampir semua orang di asrama Kiku karena dia, yang notabenenya tahun lalu menjabat sebagai Anzen harus di detensi berkali-kali karena keluar asrama di atas jam sepuluh malam. Kedua adiknya tidak berkomentar apa-apa meski Hikari Journal pernah menjadikannya berita yang buruk, kritikus, dan pedas. Kou-kun pun sempat menyemprotnya habis-habisan, begitu juga Miichan. Tapi pada akhirnya mereka bersikap biasa saja seolah-olah hal itu adalah hal yang biasa, tidak seperti murid-murid lain yang menganggapnya kurang ajar.

Tapi dia ini Kiku, dan dia cuek.

Tiap malam, sejak pembicaraannya dengan Tetsu di kantin saat musim panas kemarin, tentang tempat dan cara bertemu peri serta kurcaci, Rei menjadi rutin mengunjungi tempat itu tiap akhir pekan. Dia keluar asrama sebelum jam menunjukkan pukul sepuluh. Selalu saja seperti itu sebelum akhirnya dia ketahuan dan di detensi sebanyak dua kali karena tindakannya. Setelahnya, Rei hanya keluar setiap satu minggu sekali dengan sangat hati-hati, di tiap hari yang berbeda. Namun seperti apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, dia mendapatkan detensi lagi, satu kali—total menjadi tiga catatan merah di Raport-nya nanti.

Meski begitu, Rei tetap melakukannya—memanfaatkan jabatannya sebagai mantan Anzen, Rei bertanya pada anggota Himawari Seitokai tahun ini dengan alasan mau meminta maaf, atau ini dan itu, dia bertanya tentang jadwal patroli malam: kelas berapa dan di sekitar mana, serta bertanya yang mana orangnya. Hal ini dia lakukan jelas untuk mencari tahu hari dimana dia bisa keluar malam di saat Anzen yang bertugas adalah kelas sembilan. Dan kebetulan, malam ini adalah giliran Anzen kelas sembilan yang bertugas patroli di area taman.

Melirik jam arloji perak di tangan kanan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit, Rei bergerak mengendap-ngendap keluar dari asrama, mengambil jaket jeansnya terlebih dahulu kemudian berlari kecil menuju pelosok utara taman besar Ryokubita. Tetapi begitu Rei sampai di tempat, dia justru tertegun lama dengan apa yang dia lihat—terkejut, sekaligus takjub.

Kazusa Araide.



—oOo—




Terkadang, saat kita sedang marah, se-marah-marahnya, kita tidak bisa membedakan mana yang namanya kesal, dendam, bahkan cinta. Sejak Kazusa membentak Shibasaki habis-habisan, dia sama sekali tidak pernah bisa merasa tenang seperti biasanya. Ya, tentu saja Kazusa merasa bersalah—Shibasaki membentaknya bukan karena marah, tapi karena Kazusa duluan lah yang meninggikan nada suaranya sendiri; itu pun karena dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencampuri urusan si Kiku.

Akan tetapi, meski tidak bertegur sapa, Kazusa semakin merasa tidak enak hati karena Shibasaki—entah mengapa, ajaibnya—selalu menolongnya di saat-saat yang tidak terduga. Entah itu di sengaja, atau tidak, Kazusa tidak tahu. Yang jelas si Kiku memang selalu menolongnya entah saat dia jatuh di kantin, lupa membawa buku, tentang pelajaran, dan hal-hal kecil lainnya. Namun ketika mendengar bahwa Shibasaki mendapatkan detensi berkali-kali, dia tidak bisa berbuat apa-apa—bahkan mencegah artikel Hikari Journal pun tidak.

Rasanya, semua berubah dalam sekejap.

Begitu mendengar si Kiku mendapatkan detensi untuk yang ketiga kalinya, barulah Kazusa kembali penasaran dengan apa yang di lakukan oleh lelaki itu; mencabut janjinya sendiri untuk tidak mencampuri urusan Shibasaki. Mau tidak mau, Kazusa memang harus mencari tahu. Entah ide macam apa yang terlintas di benak Kazusa, saat pelajaran mantra minggu lalu tepat di sela-sela kelas praktek, Kazusa memberi mantra pendeteksi pada Shibasaki diam-diam, dam menyihir sebuah kertas kosong untuk dijadikan peta—seperti apa yang ada dalam cerita Harry Potter. Oh ya, Kazusa suka sekali buku itu, inspiratif. Dan karena peta itu lah, Kazusa mengetahui apa yang dilakukan Shibasaki setiap malam—berdiam diri di tengah-tengah pelosok taman Ryokubita, sendirian, sampai pagi.

Hingga pada akhirnya, Kazusa memutuskan untuk menghampiri tempat yang biasa Shibasaki singgahi dan mengintrogasi lelaki itu bagaimana pun caranya. Dia berada di sini sudah sejak setengah jam yang lalu—mewanti-wanti, menoleh kesana kemari, dan menghela nafas panjang berkali-kali tapi si Kiku tak jua muncul. Apa hari ini dia tidak datang? Kazusa memang tidak tahu sih hari apa biasanya Shibasaki datang ke sini, selalu berubah-rubah. Hari ini saja Kazusa iseng-iseng kemari. Namun ternyata Kazusa tidak perlu menunggu lebih lama lagi karena beberapa menit kemudian Shibasaki datang dengan wajah terkejut yang kentara, memandang Kazusa dengan tatapan heran yang sudah dia perkirakan sejak awal.

"Kenapa bisa ada di sini?" tanya Shibasaki pelan.

"Majou bisa melakukan apa saja loh." Kazusa menjawab kalem sembari melambai-lambaikan kertas putih kucel dengan sketsa kasar berbentuk seperti sebuah peta—Shibasaki terkejut lagi dan buru-buru menunduk; memperhatikan tubuhnya. Dia baru sadar kalau dia telah dimantrai. "Aku kok yang menyihirmu, bukan yang lain. Bukan Hikari Journal atau bahkan Himawari Seitokai," lanjut Kazusa kalem meski si Kiku sudah langsung merafalkan mantra pelepas; kertas peta di tangan Kazusa terbakar dengan sendirinya. Gadis berambut hitam ini terkikik. "Ngapain sih, di sini?"

"Bukan urusanmu—pulang sana, nanti kau di detensi."

"Kalau aku pulang, aku bisa melaporkan pada Himawari Seitokai loh kalau kau di sini."

"Apa sih maumu?"

"Setiap malam kau berada di sini, duduk sendirian—"

"Hah? Kau memata-mataiku sudah lama??"

"—atau kadang-kadang mondar-mandir—"

"KAZUSA!!!" Shibasaki membentak lagi, dan Kazusa jelas di buat terkejut entah untuk keberapa kalinya. Tapi kali ini, gadis Bara ini terkejut bukan karena si Kiku membentaknya keras, tapi karena lelaki itu menyebutkan namanya—nama kecilnya. "Aku tahu kau ini anggota Hikari Journal, aku juga tahu kalau kau punya rasa ingin tahu yang besar. Aku juga tahu kalau kau tipe orang yang kalau sudah ada keinginan pasti tidak akan mundur kalau belum terpenuhi, entah dengan alasan apa, atau alasan kalau kau ini Bara, Bara, dan Bara—persetan dengan itu, persetan dengan asrama!! Tapi kalau memang kau Bara, tidak bisakah kau tahu sedikit saja tentang etika? Ini privasiku, berhentilah mengikuti dan mencoba mengorek semuanya!!"

Shibasaki terengah-engah, dia baru saja selesai mencerocos panjang lebar dengan suara yang cepat dan g usar. Kazusa mengerenyit, mulutnya bergerak 'kau ini kenapa' tanpa suara saat mata hitamnya mendapati lelaki itu sekarang duduk di tanah, bersandar pada batang pohon dengan nafas berat yang berkali-kali dihembuskannya.

"Kau..." Kazusa bersuara kecil, memandang Shibasaki sesekali meski pada akhirnya tidak melanjutkan kata-katanya lagi. "Kau kemari untuk apa?" tanya Kazusa pada akhirnya. Namun Shibasaki tidak menjawab, hanya menghela nafas. "Mencari kebenaran dongeng? Di sini?" tebak Kazusa yang di luar dugaan lelaki itu menjawab meski sebatas 'hmmm' kecil. Mungkin artinya iya. "... kenapa sih kau ngotot mencari dongeng atau sebangsanya itu sampai seperti ini?"

"Tempat ini adalah salah satu tempat yang sering kali menjadi area kesukaan para Peri—begitulah apa yang Tetchan ceritakan padaku. Dan seperti apa yang di kelas Character Building jelaskan beberapa saat yang lalu, memang disinilah tempatnya. Yah—aku rasa kau pasti pernah melihatnya. Weast selalu melihat peri dan kurcaci." jawab Shibasaki panjang lebar meski matanya sama sekali tidak memandang Kazusa.

"Tapi aku Eastern, Shibasaki." Dilihatnya, si Kiku menoleh cepat dengan alis terangkat tinggi dan dengan mata menyipit; mengerjap berkali-kali. Dia terlihat kaget, sekaligus tidak percaya. Mau tidak mau, Kazusa jadi geli sendiri melihatnya. "Eastern—tangan kosong, roh, dan siluman." lanjutnya.

"Tapi kau percaya dongeng?"

"Astaga Shibasaki-kun!! Kau ini memang masa kecil kurang bahagia ya? Dimana-mana, anak-anak pada dasarnya pasti pernah tahu tentang dongeng, dan soal percaya atau tidak percaya itu tergantung dari mereka. Dan aku, adalah salah satu yang percaya kalau mereka itu ada. Yah, tidak pernah lihat sih, tapi setidaknya mengetahui mereka ada itu penghiburan tersendiri buatku. Lagi pula kita majou!! Aliran sihir apa pun bisa kok melihat peri dan kurcaci, atau siluman dan roh, atau apa. Cuma hubungannya saja yang berbeda kok!" Si Kiku tampak gelisah, dia menggaruk-garukkan rambutnya dan terkekeh sendiri setelah Kazusa selesai mencerocos panjang lebar.

"Kenapa sih, kau ngotot banget belajar soal dongeng? Mau nembak cewek?" Shibasaki mengerlingkan mata, dan ber-hmm kecil. Tebakannya benar, mungkin insting seperti ini terlatih dengan sempurna di Hikari Journal. "Siapa sih gadis itu?" tanya Kazusa, penasaran.

"Masa kau tidak bisa menebaknya? Dia asrama Bara."

"Bara ada yang percaya do—Miho?"

"Kok dia?"

"Terus siapa?"

"Kau ini anggota Hikari Journal gadungan."

"Kau meragukanku?!"

"Buktinya indra-gossip-mu tidak berguna."

"Enak saja!! Berita-berita yang ada di Hikari Journal itu adalah tulisanku semua, tahu!!"

"Berarti berita tentangku juga tulisanmu?" tanya Shibasaki gamblang. Kazusa terkejut, matanya mengerjap sesekali dan mulutnya terbuka cepat namun di katupnya kembali. Dia tidak bisa menjawab apa-apa meski bisa saja dia langsung menjawab kalau itu bukan dia yang menulisnya, tapi rasanya tidak bisa juga karena dia selaku anggota Hikari Journal ikut andil dalam berita tersebut meski hanya sebatas garis besarnya saja. "Tidak apa-apa, aku tahu kok." lanjut Shibasaki sembari berdiri tegak dan berjalan ke arah Kazusa; menepuk-nepuk pucuk kepalanya dengan pelan.

Memaklumi.

Dan Kazusa merasa pipinya panas.

"Kau ini—sok tahu. Sok polos—" Shibasaki tertawa renyah. "—omong-omong... " Kenapa kau panggil aku Kazusa? "...mana peri-nya? Kenapa tidak muncul-muncul?"



—oOo—

Label: , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next