Unbirthday Party - Another Version.
Postcard lagi.
Aku tersenyum kecut saat tanganku bergerak perlahan ke arah benda kecil berwarna putih pucat di sudut nisanku, mengambil Postcard bertuliskan Hokkaido dengan huruf super besar di sudut kanan, di atas foto sebuah kota dengan latar musim panas. Sedangkan di sebelahnya terdapat tulisan tangan yang sangat rapi, mencantumkan namaku—Kyoshiro Kitazawa. Mataku secara refleks membacanya yang langsung bergulir perlahan mengamati foto itu—setiap detailnya, kemudian tersenyum sedikit lebih lebar.
Hokkaido berubah sejak terakhir aku lihat, dan Bumi benar-benar berputar.
“Iiih!! Iiihh!! Dapat apaan sih itu??”
Aku menoleh; memandang si Badut Momiji Otamu dengan sebal. “Berisik ah.”
“Hihihi—hantu bisa dapat surat, hihihihi!!”
Memutuskan untuk mengabaikannya, aku berdiri tegak sembari mengambil langkah; mengarah pada salah satu pohon rindang di sudut sebelah kiri nisanku dan memanjat—atau sebut saja
melayang—ke batang pohon tertinggi sambil tetap menggenggam erat Postcard itu dengan hati-hati. Begitu sampai, aku langsung duduk dengan nyaman di salah satu dahan kokoh dan memandang dahan lainnya yang penuh dengan tempelan kertas-kertas Postcard menempel kuat, kalung lumba-lumba, dan bunga-bunga kertas serta beberapa tamagotchi. Aku mendesah. Atas nama Kyoshiro Kitazawa—dan selalu atas nama Kyoshiro Kitazawa dengan nama pengirim yang selalu sama pula.
Fuji Amamiya.
Sudah sangat lama, teramat-sangat-lama-sekali sejak terakhir kali bertemu dengan gadis Sakura itu. Entahlah, aku tidak bisa bilang sudah berapa lama secara pasti karena aku sendiri tidak tahu—karena seharusnya semua sudah mengerti, aku adalah hantu dan waktu yang manusia lalui tidak sama denganku. Mungkin sudah bertahun-tahun, atau mungkin juga puluhan tahun, aku tidak tahu.
Dengan sangat hati-hati, postcard terbaru yang aku dapatkan itu segera aku tempelkan dengan postcard lainnya, membuatnya menempel dengan sangat erat di dahan menggunakan lem kayu yang tentu saja kuambil diam-diam. Setelah memastikan benda putih itu merekat erat, aku meraba semuanya satu persatu, dengan lembut, dan dengan mata tak luput memperhatikan semuanya secara bergiliran.
Aku kangen—sekaligus iri.
“Aku selalu memperhatikan setiap kamu dapat benda
itu, kamu enggak pernah melihat
isi sebenarnya,” menoleh cepat dan mendapati Haruhi Yamazakura sedang duduk angkuh di salah satu dahan pohon yang lain dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kirinya, aku secara refleks terlonjak kaget—mendapati gadis berambut awut-awutan itu memasuki wilayah pribadiku dengan wajahnya yang datar seperti biasa sungguh mengerikan, terlebih lagi mata hitam gelapnya memandangku tajam. “Kenapa?” tanyanya sekali lagi.
“Bilang permisi kek, apa susahnya.”
“Untuk apa, Kyoshiro-san?”
“Untuk sopan santun.”
“
Suratnya, Kyoshiro-san, bukan
aku.”
“Oh.”
“Kenapa kau tidak melihat
isinya?” Aku terdiam tidak menjawab, memilih untuk kembali memandangi benda-benda putih itu satu persatu dengan sayang. “Menjadi hantu bukan berarti kamu menjadi buta, kan? Momiji-san saja tahu kalau benda itu adalah sebuah
surat berisikan
pesan yang berarti harus di
baca,” sahut Haruhi-san retoris, telak.“Lagi pula, buat apa sih? Sebanyak apa pun kamu kumpulkan semua itu, sebanyak apa pun kamu punya benda-benda itu, melihat foto-foto itu, kamu enggak akan bisa kesana—enggak ada pengaruhnya.”
“Kau ini enggak punya imajinasi atau apa? Bayangkan dong!!”
“Lalu kalau misalnya aku sudah membayangkannya, apa aku akan senang?” lidahku kelu seketika, tidak bisa menjawab meski pikiranku mau tidak mau memproses ucapan Haruhi-san barusan, mencerna setiap kenyataan yang diucapkannya secara gamblang. Sedih, sekaligus kesal. “Kenapa tidak membaca isi suratnya, Kyoshiro-san?” tanya Haruhi-san sekali lagi, mengulang pertanyaan awalnya.
“Karena—“
aku tidak mau menghadapi kenyataan lagi.
Tanpa permisi dan anehnya tanpa bisa aku cegah, aku membiarkan tangan kurus gadis Bara itu mengambil satu persatu postcard yang sudah kutempel susah payah secara paksa, membiarkan suara “
kraaak” dan “
kreeek” terdengar lantang di udara, disisipi suara cekikikan Momiji yang tahu-tahu saja sudah melayang di sebelah kananku. Haruhi bergerak cepat, berkali-kali setelah mengambil semua postcard itu dan membacanya, dia langsung menyerahkannya padaku dengan gusar—sedikit membantingnya yang anehnya lagi tanganku tidak bisa bergerak untuk mengambilnya, malah membiarkan semua benda putih itu jatuh melayang-layang ke bawah sampai mencium tanah.
“Aku tidak mau membacanya, Haruhi-san.” Sahutku pendek.
Bohong sih.
Sebenarnya saja, sejak pertama kali mendapatkan semua postcard itu, aku sudah sangat ini membaca semuanya satu persatu, ingin mengetahui setiap detik kehidupan Fuji-chan sejak dia meninggalkan Ryokubita atau bahkan sejak aku meninggalkannya. Penasaran, terus terang saja. Penasaran kira-kira akan menjadi apa Fuji-chan kalau dia sudah dewasa. Apakah dia akan mengambil kuliah jurusan kedokteran melanjutkan Genezer-nya, atau dia mengambil kuliah yang lain, atau—atau justru menikah? Aku sungguh sangat penasaran, sekaligus kangen.
Tapi aku tidak berani, sama sekali tidak berani—terlebih untuk opsi yang terakhir.
“Semua ini sudah berpuluh-puluh tahun, sepertinya.” Haruhi-san tersenyum tipis, tangannya masih sibuk memilih-milih postcard yang tersisa di tangannya, dengan kedua matanya sibuk menelusuri tiap sudut benda putih lusuh itu. “Sudah selama ini, kau masih ingat Amamiya?”
Mataku perlahan terpejam erat, membayangkan setiap memori Fuji yang masih tersisa dalam pandanganku yang gelap; mengingat-ngingat bagaimana suaranya yang manja sampai perlahan-lahan menjadi lebih tinggi dari pertama kali kudengar. Mengingat bagaimana caranya berbicara yang terbata-bata, atau raut wajahnya yang malu-malu. Tapi semakin aku mencoba, aku sama sekali tidak ingat—pandanganku tetap hitam, gelap, dan kosong. Yang aku ingat justru bagaimana ketika aku mati—ketika nafasku tertahan secara paksa dan sangat lama sehingga dadaku sakit, ulu hatiku nyeri, dan kepalaku pusing dengan teramat sangat.
—
Aku lupa.
Membuka mataku dengan cepat, aku menggeleng resah dan tanganku bergerak cepat mencengkram rambut, menjambaknya dengan sangat keras. Dadaku naik turun, terengah-engah karena shock. Alisku saling berpautan, cengkraman tanganku semakin keras, dan mataku terpejam sangat erat seolah-olah dengan cara ini aku bisa mengeluarkan semua memori Fuji secara paksa.
Aku tidak mungkin lupa—tidak boleh lupa.
“Ah. Dari raut wajahmu, sepertinya kau lupa—dan sepertinya postcard ini menjadi tidak berguna kalau kau justru lupa pada pengirimnya. Sia-sia sekali gadis ini mengirimkannya padamu.”
“A—aku tidak lupa!!”
Seratus persen bohong.
Haruhi-san memandangku dengan wajah datar yang bagiku entah mengapa terlihat seperti mengkasihani. “Aku mengerti perasaanmu, Kyoshiro-chan. Mencintai manusia itu rasanya menyebalkan. Tapi aneh, kalau kamu cinta sama manusia itu, kenapa kamu lupa?” tanya Momiji tiba-tiba dengan suara cemprengnya yang luar biasa nyaring. Aku tidak menjawab, hanya membuang muka; menunduk memandang kertas-kertas yang tergeletak tak berdaya di tanah. “Aku saja masih inget kok Nakayama-kun gantengnya seperti apa. Hihihihi.”
“Tutup mulutmu, badut.”
“Ihihihi ada yang marah—ihihihi.” sahut Momiji sembari melayang menjauh.
“Kalau memang kau lupa, kenapa tidak baca saja semua isinya?” tutur Haruhi-san dengan bijak, melambai-lambaikan satu lembar postcard di tangan kanannya. Aku menoleh, ragu-ragu. “Sebenarnya kalau kau tidak mau membacanya juga dengan senang hati akan aku bacakan—singkat kok. Dia ingin bertemu denganmu, selalu ingin bertemu,” tutur gadis Bara itu dengan suara sedih. “Tidak sadarkah kau bahwa hanya ada sepuluh postcard yang memiliki cap pos? dan tiga yang memiliki bekas terbakar?” aku menggeleng pelan sebagai jawaban tidak tahu—tidak mengerti. “Bagus kau tidak sadar kalau gadis itu mengirimkannya
langsung padamu—postcard yang baru saja kau dapat tadi ini buktinya.”
Aku mengerenyit.
“Kalau memang kau lupa padanya, kenapa tidak bertemu saja langsung dengan dia untuk memperbaiki ingatanmu,bodoh,”sahut Haruhi-san sebal.
“Ma-maksudmu dia ada—Fuji-chan? Di sini? Sekarang?” tanpa menunggu jawaban iya atau tidak, gelengan atau anggukan kepala, aku langsung meloncat turun ke bawah—melayang seperti kertas meski ketika telapak kakiku menyentuh tanah, aku memilih untuk berlari secepat mungkin ke arah sekolah. Hari ini tanggal 15 Juli dan itu berarti hari ini adalah ulang tahunku. Sudah sangat lama aku tidak mendapatkan hadiah selepas kepergian gadis Sakura itu. Kali ini, kalau aku boleh meminta, hadiah yang aku mau sangatlah sederhana—
—aku hanya ingin bertemu, bertemu dengan Fuji meski hanya satu kali.
Karena aku hantu, berlari sejauh apa pun aku tidak akan merasa kelelahan meski dadaku naik turun, terengah-engah seperti kehabisan nafas sekali pun sebagai mantan manusia aku masih memiliki paru-paru yang tentu saja sudah tidak lagi berfungsi dengan normal. Tidak peduli dengan semua itu, aku berdiri tegak memandang sekeliling dengan sangat teliti, memperhatikan langit yang mulai berwarna jingga, mendengar desiran angin kecil, dan bunyi gesekan dedaunan secara samar-samar. Bagiku ini aneh, tapi entah kenapa terasa seperti
déjà vu.
Teras Main House.
Aku ingat, ada sebuah rutinitas kecil yang selalu aku dan Fuji lakukan selama bertahun-tahun. Rutinitas sederhana yakni merayakan ulang tahun bersama-sama di tempat ini, dengan masing-masing selalu membawa hadiah-hadiah kecil, berbincang-bincang sejak langit berwarna jingga sampai menjadi gelap gulita.
Kemungkinan besar, dia ada di sini.
“Mencari seseorang?”
Terlonjak kaget dan langsung menoleh cepat, seorang wanita tua dengan kacamata kotak di hidungnya, dengan tubuh bungkuk tengah tersenyum hangat kearahku meski aku akui sulit sekali memutuskan kalau wanita tua itu benar-benar tersenyum—bahkan aku sama sekali tidak bisa menerka ekspresi wajahnya. Entah Nenek itu sedang senang, sedih, kaget, atau apa—yah, apalagi kalau bukan karena keriput di wajahnya. Aku langsung membungkuk hormat sambil tersenyum ramah—
kikuk.
“Ti-tidak… hanya—“ hanya apa ya? “—hanya sedang duduk-duduk saja.”
Nenek tua itu kali ini benar-benar terlihat tersenyum. “Boleh duduk disebelahmu?” tanyanya ramah. Mengangguk kecil dan mempersilahkannya, dengan perlahan aku membantu Nenek itu duduk di teras tepat disampingku dengan hati-hai. Begitu aku memastikan bahwa Nenek itu duduk dengan nyaman, aku baru duduk kembali di tempatku. Kemudian entah kenapa suasana menjadi hening, canggung.
Menggoyang-goyangkan kakiku, mengerlingkan mataku memandang langit di atas sana, aku tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa karena bagaimana pun tidak mungkin aku bilang ‘
Nenek bisa melihatku? Aku kan hantu’ yang bisa-bisa membuat Nenek ini mati karena jantungan saking kagetnya. Tapi aneh, aku sangat ingin bertanya kenapa Nenek ini bisa melihatku, karena seingatku, aku sama sekali tidak sedang menampakkan diri—atau sedang menampakkan diri ya? Aku lupa.
“Ka—eh, anu… Nenek kenapa bisa… eh maksudnya, Nenek bisa melihatku?” tanyaku sambil melirik-lirik. Sekilas, meski tidak yakin, Nenek tua itu terlonjak kecil, meski setelahnya dia tersenyum—bukan, tapi
seperti tersenyum ke arahku. “Aku bisa melihatmu dengan jelas, Kyoshiro-san…”
“O-oh…” dan kemudian hening lagi. “Eeeh tunggu, kok bisa tahu namaku??” tanyaku baru menyadari setelah sepersekian detik mendengar jawabannya. “Aku belum memberitahu namaku. kan?” Nenek tua itu tidak menjawab, hanya tetap dengan reaksi yang sama seperti sebelumnya. “Ooh—pasti tahu dari cucu Nenek yang sekolah di sini atau dari orang-orang di sini ya?” sahutku asal sambil mengangguk-ngangguk kecil. Di luar dugaaan, Nenek itu terkekeh.
Entah kenapa, aku tersenyum melihatnya.
“Nenek alumni Ryokubita yah?” aku melihatnya mengangguk-ngangguk lagi sebagai jawaban. “Kenapa bisa ada di sini? Apa sedang ada reuni?” dan lagi-lagi jawabannya hanya sebuah anggukan, yang entah kenapa membuatku bungkam seketika. Tidak lagi bertanya-tanya.
Menengadahkan kepalaku sekali lagi, memandang langit jingga yang berangsur-angsur menuju gelap, aku menghela nafas lagi entah untuk yang keberapa kalinya dengan pikiran masih terus menerus berbicara pada diriku sendiri, mengatakan bahwa aku harus tetap yakin kalau Fuji-chan akan datang ke sini menemuiku. Dan mungkin, sambil menunggu sebaiknya aku menemani Nenek ini dulu.
“Apakah kau mau coklat?” tanya Nenek itu tiba-tiba memecah keheningan. Aku, yang jelas-jelas terkejut mendengarnya, hanya bisa cengar-cengir kaku, cengengesan kecil sambil menggeleng-geleng; menolaknya dengan halus.
“Terima kasih, tapi aku tidak bisa menerimanya…” jawabku sopan namun Nenek tua itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi yang lain selain reaksi yang sama seperti sebelumnya. “Eh—aku tidak bisa makan coklat…” Nenek itu hanya mengerjapkan matanya. “Baiklah—terima kasih atas coklatnya…” ujarku menyerah.
Menunduk dan memandang kue coklat di atas pangkuanku, aku hanya bisa tersenyum kecil, mengingat-ngingat tentang Fuji-chan yang juga memberikan kue coklat padaku pada suatu hari. Hanya saja karena aku sudah mati, aku tidak bisa makan dan tanpa sepengetahuan gadis itu, kue coklat buatannya kubiarkan sampai basi—bahkan busuk. “Coklat ini… untuk siapa sebenarnya Nek?” tanyaku polos.
“Untuk kue ulang tahun…”
“Hee?? Siapa?”
“Dia orang yang paling berharga…”
Aku memandang Nenek itu dengan tatapan takjub. Mungkin orang yang paling berharga bagi Nenek ini adalah suaminya—si Kakek—atau cucunya, atau siapa. Eh, tapi kenapa diberikan padaku, omong-omong? “Ulang tahunnya hari ini?” tanyaku dan dia mengangguk lemah. “Wah!! Sama dengan ulang tahunku!!!” sahutku gembira.
“Selamat ulang tahun, Kyoshiro-san…” ujar Nenek itu pelan sembari memandangku dengan lembut. Aku hanya mengangguk kecil dan berseri-seri. “Tapi—apa tidak apa-apa aku yang mendapatkan coklat ini? Memang Kakek kemana?”
“Kakek?”
Aku mengerjap kaget sekaligus malu. “Ehh—orang yang paling berharga buat Nenek pasti suami Nenek, kan? Nah pasti sudah seumuran Nenek dan itu berarti aku harus memanggilnya Kakek, kan?” sahutku sok tahu meski terus saja mencerocos panjang yang lagi-lagi hanya di jawab dengan senyuman samar dari si Nenek. Omong-omong soal umur, Fuji-chan sekarang sudah usia berapa ya? “Umur Nenek berapa?” tanyaku tiba-tiba.
“Tujuh puluh enam tahun.”
“Wah!!! Lama sekali!!!” Nenek itu tersenyum. “Nenek kuat ya!! Eh tapi wajar sih—orang Jepang kan katanya berumur panjang karena makan ikan. Katanya sih.”
“Tapi kata Dokter, mungkin tidak akan lama lagi…”
“Eh? Eehhh??? Kenapa???”
“Karena aku sudah tua, Kyoshiro-san…” aku terdiam lama, entah kenapa rasanya sedih begitu mendengar ucapan Nenek itu. “Banyak penyakit yang datang memasuki tubuh renta ini, yang perlahan-lahan mencuri kesehatanku, yang belakangan ini menjadi sulit bergerak. Tapi kalau pun sudah waktunya, aku siap…”
“Memangnya… Nenek sakit apa?”
Nenek tidak menjawab, hanya tersenyum penuh arti. Aku yang sebenarnya tidak tahu apa-apa hanya bisa tertegun, dan memilih untuk tidak berkomentar. Sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti—maksudku, aku mati di usia muda, tidak pernah merasakan bagaimana sakit dalam jangka waktu yang lama dengan berbagai penyakit pula, tapi entah kenapa yang aku mengerti justru kesiapan Nenek itu menghadapi kematian.
Waktu.
“Kalau di pikir-pikir mungkin temanku sekarang seumuran dengan Nenek.”
“Begitukah?”
“Iya—tapi aku tidak tahu pasti sih, hanya mengira-ngira saja. Temanku itu sangat berharga buatku, dia selalu memberiku hadiah-hadiah yang tidak terduga setiap ulang tahunku dan dia juga sama seperti Nenek, suka sekali memberi coklat meski tidak sering sih, hanya satu apa dua kali gitu, aku lupa.”
“Kenapa Kyoshiro-san… lupa?”
Terdiam lama memandang si Nenek, aku hanya mengerlingkan mata sekilas, mencoba sabar sekaligus mencari-cari jawaban yang pantas. Apa Nenek ini tidak sadar ya kalau kalimat ‘
temanku sekarang seumuran dengan Nenek’ sangatlah aneh diucapkan oleh seorang anak laki-laki yang terlihat masih remaja seperti ini? Terlebih lagi kata `
sekarang` dalam kalimat itu sangat ambigu. “Engg—yah… kadang kalau sudah sangat lama tidak bertemu, tidak punya fotonya, dan tidak menerima—membaca lebih tepatnya—kabar darinya, semua orang bisa saja lupa kan? Dan aku memiliki memori yang terbatas jadi aku… aku… aku lupa.”
“Membaca?”
Mengerlingkan mata sekali lagi, aku memutar otak. “Temanku… sejak lulus dari sini dia selalu rutin memberiku postcard setiap tahunnya, bahkan tadi siang aku juga mendapatkannya. Tapi aku hanya memandangi postcard-nya saja—maksudku, foto-fotonya, sedangkan isi surat itu tidak aku baca—meski tentu saja, aku sebenarnya sangat ingin tahu keadaannya seperti apa, dia sekarang menjadi apa, atau bagaimana. Hanya saja…” melirik sekilas, raut wajah Nenek itu tidak berubah, atau memang aku yang tidak bisa menerkanya, aku tidak tahu. “Aku—
aku takut.”
Aku benci kenyataan.
“Kyoshiro-san… Kyoshiro-san takut karena apa…?”
Menunduk sedalam mungkin, aku berusaha menyembunyikan mataku yang terasa panas, seperti ingin menangis. Menghela nafas berat, aku mencoba untuk mengumpulkan keberanianku sekaligus menghilangkan rasa takut yang entah kenapa secara tiba-tiba datang menyeruak ke dadaku.. “Aku tidak siap, sekaligus takut kalau-kalau mendengar berita bahwa dia sudah menikah dengan orang lain,” jeda, aku menahan nafas. “—aku mencintainya.”
Hening lama. Sangat lama.
“Lalu… lalu bagaimana kalau dia tidak menikah?”
Aku memilih untuk tidak menjawab.
Dan entah kenapa, seperti biasanya suasana kembali menjadi hening, yang membuatku menjadi sangat menyesal telah banyak bicara. Bahkan langit sudah mulai gelap, dan itu artinya aku sudah terlalu lama di sini sekaligus membiarkan seorang Nenek tua kedinginan di gelapnya malam hanya untuk mendengar celotehanku yang tidak berguna—menemaniku menunggu Fuji Amamiya yang tak kunjung tiba.
“Sudah malam…” ujar Nenek itu seolah membaca pikiranku. Aku hanya mengangguk kecil. “Maukah… Maukah Kyoshiro-san membantuku? Menuntunku berjalan…?” Cepat-cepat meletakkan kue coklat ke teras Main House, aku menoleh memandangnya dan berdiri tegak dengan tangan terulur untuk membantu Nenek tua itu berdiri. Tangannya yang renta dan juga lemah dengan kulit keriput yang kentara, perlahan menyentuh tanganku, yang seketika aku merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuh.
“Tangan Nenek hangat sekali...” sahutku polos.
Selebihnya tidak ada yang bersuara, hanya ada suara angin seiring dengan langkah-langkah kecil kami yang bergerak menuju pohon sakura rindang tepat di hadapan tempat kami duduk barusan. Aku sendiri sesekali menengadahkan kepalaku, tersenyum penuh arti memandang pohon besar di depan—memandang tempat yang biasa aku duduki kalau aku menunggu Fuji, tempat spesialku.
Perlahan Nenek tua itu melepaskan tangannya, dan dengan sangat hati-hati dia mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran besar dari tas yang Ia bawa-bawa; memandangnya dengan sangat sayang. Sesekali pula, tangannya bergerak pelan, membelai permukaan kotak itu seolah-olah sedang mengelus hewan peliharaannya. Kemudian dia membukanya sambil terisak kecil, menangis.
“Eehh?? Nenek??? Nenek kena—“
Aku membeku. Mata hitamku memandang isi kotak itu secara tidak sengaja, mengenali dengan sangat jelas tiap-tiap benda yang tertata rapi di sana. Tangan kananku perlahan bergerak membungkam mulut dengan erat; bahkan dengan kaki yang gemetar, aku bergerak mundur beberapa langkah—Kalung lumba-lumba, bunga-bunga kayu, bulu putih, sebuah tangkai kayu kecil yang sudah busuk bertuliskan `bunga sakura, 2011`, kelereng, sebuah bulu-bulu kecil bertuliskan `boneka teddy bear`, dan tamagotchi biru.
Aku tidak tahu harus apa.
Meski aku harus akui—seperti déjà vu sekali lagi, aku mengenali semuanya. Kedua tanganku pun secara refleks bergerak menyentuh batang pohon; menyandarkan tubuhku yang perlahan-lahan merosot turun ke bawah. Sedangkan Nenek itu tidak bergeming, hanya tersenyum memandangku sekarang. Dia mengenaliku, dia membawa coklat, dia berada di Main House, dia tahu namaku, dia tahu aku hantu, dia—
“
Fuji-chan?”
Dia hanya tersenyum sambil mengangguk meyakinkanku.“Kyoshiro-san, apa kabarmu…?”
Seperti sebuah sengatan, lututku langsung terasa lemas dan langsung terjatuh menghantam tanah. Aku sama sekali tidak menjawab apa-apa ketika dia terus menerus bertanya kabarku, menyebut-nyebut namaku. Aku hanya bisa terdiam; dengan tangan kanan yang bergetar hebat, perlahan-lahan bergerak, mengarah pada pipi kiri wanita itu dengan takut—mencoba untuk menyentuhnya dengan sayang.
“Ka-kau… Fuji-chan?”—
Fuji-ku?
Tidak ada jawaban.
“Kenapa kau tidak bilang… kenapa tidak bilang dari awal kalau… kalau itu
kau?”
“Aku kira kau berada di situ memang sudah tahu aku akan datang, karena aku rasa, sekali pun aku sudah tua, kau masih mengingatku. Tapi ternyata kau lupa padaku—kau meninggalkanku dan melupakanku, Kyoshiro-san…”
Nyeri, entah dimana.
“Semua itu… semua yang ada di kotakmu… mau… mau kau apakan?”
“Saat kau bilang kau lupa padaku… Aku berpikir untuk menguburnya.” refleks lagi, tanganku bergerak cepat memeluk wanita renta dihadapanku, tak peduli apa reaksinya saat kedua tanganku mencengkram erat pundaknya, seolah-olah mampu meredam rasa nyeri yang entah mengapa terasa hampir di seluruh tubuhku. “Aku berpikir… mungkin memang aku yang salah karena tidak bisa bersamamu sehingga wajar kalau aku sudah kau lupakan. Lalu aku pun berpikir kalau aku sudah mati dalam ingatanmu… dan itu berarti semua tentang aku, semua barang yang aku berikan pun sudah terkubur dalam-dalam—jadi aku memutuskan untuk mengubur semua itu—“
Aku menggeleng.
“Jangan bicara lagi,” sahutku berbicara sebisa mungkin dengan suara bergetar. “Kalau pun perlu alasan, maka alasan aku melupakanmu karena aku mencintaimu dan karena kesalahanku.”
Selebihnya tidak ada percakapan apa pun dalam jangka waktu yang lama meski sekarang aku merasa panik karena makin lama, deru nafas Fuji semakin lemah dan udara semakin dingin. Terkadang, kalau sudah seperti ini aku menyesal karena aku hantu—sama sekali tidak bisa menghangatkan Fuji meski dia sudah berada dalam pelukanku, malah aku terus berpikir apakah Fuji semakin merasa kedinginan karena pelukanku atau apa. Tapi melihat wanita itu tampak nyaman, aku memilih untuk membiarkannya.
Waktunya memang harus berputar.
“Apa kabarmu, Fuji-chan?” tanyaku pada akhirnya.
“Seperti yang kau lihat…” aku tersenyum sedih. “Apa kabarmu, Kyoshiro-san?”
“Seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu, seperti pertama kali kita bertemu, seperti pertama kali kau menanyakan keadaanku—aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja.” Jawabku lembut meski setelahnya kembali hening.
“Kyoshiro-san…”
“Ya?”
“Aku mencintaimu…”
—oOo—
“Maukah… Umm, ma-maukah kau menyebrangi Nirwana bersama-sama… Kyoshiro-san?”
“Maksudmu?”
“Kalau aku mati sekarang… maukah kau menyebrangi Nirwana bersamaku?”
“…”
“…”
“Kalau aku mau apakah kau mau hidup bersamaku, Fuji-chan?”
—oOo—