Unbirthday Party - Chapter 8
Minggu, 20 November 2011
@11/20/2011 09:39:00 PM
- Ryokushoku o Obita punya para tuyul bersaudara.
- Kyoshiro Kitazawa punya gue as co-PM
- Fuji Amamiya punya Anna
- Dan beberapa chara yang di sebut punya PMnya masing-masing.
"Ma-maaf… Aku bisa memanggilmu apa ya?"
"Panggil saja Kyoshiro, kau?"
oOo
“Amamiya, Fuji?”
“Y-ya?”
“Kenapa Anda belum mengumpulkan formulir Universitas?” Aku menunduk rendah, tidak berani memandang kedua mata teduh Goro-sensei di meja depan, bahkan mulutku pun rasanya tidak mau terbuka untuk memberikan alasan pada guru Character Building itu; yang ada hanya helaan nafas dan gelengan kepala. “Anda lupa?” Aku mengangguk. “Ah, saya paham… namun sebaiknya, Anda harus mengisinya secepat mungkin. Bagaimana kalau minggu depan?” tanyanya ramah sambil bergerak perlahan melambaikan tongkat sihirnya, mengecek berkas-berkas formulir lainnya. Aku masih tidak bergeming. “Satu minggu saya rasa waktu yang cukup, Amamiya-san. Dan terima kasih untuk kelas hari ini. Selamat siang.” Ujarnya yang diiringi dengan seru lega teman-teman sekelas serta langkah-langkah ribut murid-murid Genezer untuk keluar kelas.
Hanya tinggal aku sendirian, masih duduk lemas dengan pikiran melayang.
Masa depan.
Waktu.
“Fuu-chan? Kok masih di kelas?”
Menengadahkan kepalaku cepat-cepat, rasa-rasanya aku mendengar suara familiar di telingaku dengan nama panggilan yang khas—mataku bergulir, memandang sosok lelaki berambut pirang-kecoklatan setekuk, dengan kemeja putih dan tangan kiri menjinjing jas hitam, serta kacamata kotak berteger dihidungnya tengah berdiri di ambang pintu kelas, memandangku dengan ramah sekaligus heran. Di sebelahnya seorang wanita berambut pendek kecoklatan berdiri tegak, melongok dengan kedua tangan melingkar pada tangan si lelaki, dengan kedua hazel-nya yang ceria tengah memandangku lembut. “Tetsu-senpai? Naoko-Senpai?” sahutku terkejut.
“Masih saja—kami bukan senpai-mu lagi, loh.”
“Ma-maaf… anuu… sedang apa?”
“Sepertinya Fuji-chan yang sedang apa deh, ini kan sudah sore, bukannya kelas empat belas jadwalnya pagi semua, kan? Atau kurikulumnya sudah berubah? Kita sedang ada Reuni, terus iseng jalan-jalan sama Tetsu-chan—nostalgia gitu deh, eh enggak taunya ketemu Fuji-chan lagi duduk sendirian di sini. Memangnya Fuji-chan lagi apa sih?” tanya Nao-chan panjang lebar, masih dengan suaranya yang bercicit-cicit ria.
“Eeh?? Ehh—sudah sore?” terkejut untuk kedua kalinya, aku menoleh, memandang ke luar jendela yang benar saja, langit sudah berwarna jingga sejak terakhir aku lihat. Sudah berapa lama aku melamun di sini? “Aduh—a-aku tidak sadar…” sahutku pelan. Refleks, tanganku bergerak-gerak kikuk, membereskan semua keperluan sekolahku yang berserakan di meja. Tapi belum saja aku menyentuh semua itu, semua barang-barangku sudah melayang dan masuk ke dalam tas; mendapati Tetsu melambai-lambaikan tongkat sihirnya seraya berujar `gunakan sihir dong` tanpa suara. “Eeh—terima kasih…”
“Wah—kalau di pikir-pikir, aku belum pernah masuk kelas Genezer,” sahut Tetsu sambil melangkah masuk, dan melihat-lihat ke sekeliling. Sedangkan Nao-chan menghampiriku—memelukku dengan sayang. “dan ternyata sama saja, meski auranya berbeda sih emang. Oh, halo Fuu-chan, apa kabar?” tanyanya begitu duduk di meja, memandangku dengan senyumannya yang lebar seperti biasa.
“A-aku baik, sen—eh, Nao-chan dan Tetsu-kun sendiri, apa kabar? Gomen… kemarin aku tidak datang ke acara pernikahan kalian… selamat ya…” mau tidak mau, aku terkikik saat kedua kakak angkatku itu langsung bersemu merah begitu aku mengucapkan selamat, dan sambil malu-malu, dengan kompaknya mereka berdua hanya mengangguk dan berterima kasih dengan suara super kecil. Aku jadi geli sendiri.
“Apa yang kau pegang itu Fuji-chan?”
“Sepertinya formulir Universitas—seperti dulu, kelas empat belas kan dapat—eh?” jawab Tetsu sambil mengangguk ke arahku, dengan wajah datar yang tidak bisa kuterka. Mengangguk membenarkan ucapan Tetsu, aku menyodorkannya, mempersilahkan Nao-chan untuk melihatnya meski rasanya aneh menunjukkan kertas kosong pada orang lain.
“Bingung ya mau isi apa?” ujar Nao-chan lembut. “Aku juga dulu bingung, tapi akhirnya aku konsultasi pada Tetsu-chan, Okaasan, Otousan, juga orang-orang terdekatku lainnya meski pada akhirnya baik aku maupun Tetsu-chan jurusannya tidak ada yang sejurus dengan Sorcier, hehehe…” lanjutnya riang. “Tapi ya, apa pun Universitas yang nanti Fuji-chan ambil, pasti itu yang terbaik deh buat Fuji-chan! Pasti jadi bekal yang berharga! Percaya deh~”
Aku tersenyum mendengar celotehannya, dan mengangguk-ngangguk membenarkan. “Se-sebenarnya… aku ingin sekali jadi dokter… tapi entah kenapa aku ragu…” sahutku pelan, dan seperti dugaanku Nao-chan langsung mencerocos lagi, bersemangat. “Eh… eeh—Tetsu-kun sudah jadi dokter, kan? Apakah menyenangkan?” Tidak ada jawaban, Tetsu hanya tetap memandangku. “Sumimasen?”
“Eeh? Ya? Kenapa?” dia gelagapan, matanya mengerjap berkali-kali sampai pada akhirnya dia memandang Nao-chan dan beralih memandangku lagi. “Dokter—menyenangkan juga, mungkin totalitas akan menyenangkan untukmu sebagai genezer. Kalau aku, karena aku sorcier entah kenapa aku lebih suka melihat darah dan bagian tubuh terburai-burai hanya mata dari pada harus memegang-memegangnya seperti seka—ADUH!! Jangan injek dong!! Sepatumu kan ber-hak!!”
“Tetsu-chan kan dokter, sembuhkan saja sendiri!”
“Heh—”
“Rasanya sudah lama sekali tidak melihat kalian seperti ini…” ujarku pada akhirnya, tersenyum melihat tingkah kedua kakak angkatku dengan sayang. Baik Tetsu maupun Nao hanya bisa saling bertatapan, kemudian tersenyum lembut—Nao-chan memelukku, sedangkan Tetsu hanya menghela nafas.
“Yang namanya Reuni itu menyenangkan loh Fuuchan, kau tidak mau reuni juga?”
“Eh? Maksudnya?”
“Tahun depan kan sudah tidak bisa ke sini lagi loh.” Lanjutnya lembut. Aku terdiam, menghela nafas sembari meremas kertas formulir dengan gelisah. Aku tidak tahu, tapi sepertinya Tetsu tahu apa yang aku pikirkan—tahu siapa yang aku pikirkan. Hanya saja, mengingat kejadian tahun lalu, aku tidak yakin apakah tahun ini akan sama seperti tahun kemarin, apakah bisa bertemu atau tidak. “Tidak melihat bukan berarti tidak bertemu.”
“Eeh—“
“Teras Main House sore-sore begini sepertinya oke." Kali ini Nao-chan menimpali, lembut.
Membisu, aku hanya bisa menunduk mendengar semua ucapan alumni Ryokubita itu dengan seksama, sambil berkali-kali menghela nafas, dan berkali-kali memejamkan mata. Mungkin ucapan mereka ada benarnya, tapi masih ada rasa takut—entah apa.
“Pergilah Fuu-chan, selagi masih ada waktu.”
—oOo—
“Tetsu-chan nakal ya!! Kenapa harus baca pikirannya coba?"
“Mau bagaimana lagi. Dia kan Sakura.”
“Ih, alasan, Tetsu-chan juga Sakura tapi Nao sama sekali enggak harus baca pikiran Tetsu-chan segala…” dia menyandarkan kepalanya, menyenyakkan diri di pundak si lelaki. “Tapi... apakah mereka nanti ketemu?”
Sebuah gelengan kepala menjadi isyarat jawaban, kemudian satu kata singkat. “Mungkin.”
—oOo—
Untuk pertama kalinya, aku membenci waktu.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di Ryokubita, tahun terakhir aku menghabiskan waktu di sekolah sihir Jepang dengan berbagai macam kejadian yang aku lewati. Delapan tahun sudah aku di sini, dengan teman-teman dan kakak kelas yang selalu membantuku dalam berbagai hal, yang selalu menemaniku setiap harinya, dan yang selalu mendorongku untuk menjadi seorang Fuji Amamiya yang berbeda dibandingkan saat pertama kali aku masuk. Tidak berbeda sepenuhnya, memang. Hanya beberapa bagian kecil dan itu pun tidak berdampak besar; aku tetap seorang Fuji yang dikenal pemalu.
Akan tetapi aku sedikit menjadi Fuji yang berbeda sejak aku mengenalnya.
Langkah kakiku bergerak secara refleks menuju Main House dengan kedua tangan menggenggam erat masing-masing satu kotak kecil berwarna putih, berisikan tamagotchi merah dan kue cake coklat yang aku tahu sebagai kesukaannya. Mataku mengerling memandang sekeliling—sore hari menjelang malam, tanpa hembusan angin dengan suasana yang mulai sepi, dan tidak ada sedikit pun suara selain deru nafasku. Aku tersenyum lepas, tidak lagi meragu seperti dulu, seperti apa yang dia pernah ajarkan padaku.
Selagi masih ada waktu. “Selamat sore, Kyoshiro-san.”
Tak ada jawaban dan sudah seharusnya aku tahu itu.
Perlahan aku mulai bergerak, memilih untuk duduk di teras atau lebih tepatnya duduk di tempat biasa sembari membuka kedua kotak putih itu; menyimpannya tepat di samping. Sejenak aku memandangnya sebelum akhirnya menoleh; membiarkan kedua kotak itu terbuka. Ya, sengaja aku buka agar dia bisa melihatnya dan setidaknya mengetahui bahwa aku masih menepati janji—
Apa kau melihatku Kyoshiro-san? Apa kau ada di sini sekarang?
Menengadahkan kepalaku perlahan, aku hanya bisa terdiam saat memperhatikan sekeliling dengan sedih; menatap pohon sakura rindang dihadapanku dengan tatapan kosong, menatap tempat yang paling disukai lelaki bermarga Kitazawa untuk duduk-duduk sambil menungguku waktu dulu—tempat yang menjadi kesukaannya selama tujuh tahun terakhir, menjadikannya saksi bisu bahwa lelaki itu pernah ada.
“Kyoshiro-san… apa kabar?”
Tak ada jawaban.
Memiringkan sedikit kepalaku ke kiri dan menempelkannya pada tiang penyangga Main House, aku mengulas senyum tipis dengan mata menatap fokus pohon sakura dihadapanku, membayangkan sosok laki-laki kurus dengan rambut hitam acak-acakan berdiri di situ, bersandar pada batang pohon yang besar, memandangku seraya tersenyum hangat seperti biasa. Imaji, khayalan, atau apalah itu namanya seketika membuatku nyaman—meski aku tahu, kenyataannya tak ada siapa pun di situ, hanya pohon besar yang tak bergerak sedikit pun.
“Apakah kau bahagia, Kyoshiro-san? Apakah selama ini aku bisa membuatmu bahagia?”
Tidak ada jawaban dan kenyataan itu merobohkan imajiku seketika.
Memejamkan mata erat, mengigit bibir bagian bawah keras-keras, dan menahan nafas, sekuat tenaga aku menahan tangis yang sudah membendung dimataku—rasa rindu meluap begitu menyesakkan, keinginan untuk bertemu terus memaksaku, dan aku tidak bisa menahannya—ingin menangis tapi tidak bisa menangis. Sedih, tapi tidak tahu harus berbuat apa, hanya bayangan-bayangan lelaki itu yang terus menguasai pikiranku.
Dan rasa perih menusuk hatiku seketika, membayangkan sosok Kyoshiro Kitazawa yang tengah tersenyum lepas sembari memandang tamagotchi merah kesayangannya—menatap benda kesukaannya yang selalu ia bawa kemana-mana dengan celotehan-celotehan riang seperti biasa. Sedih sekaligus sakit, namun entah mengapa aku malah senang membayangkannya—tersenyum mengingat tingkahnya yang kelewat percaya diri, mengingat Kyoshiro sering kali merasa dirinya mirip dengan Hideto Takarai.
Aku terkekeh.
“Dulu kau pernah janji padaku—ketika aku menyebut namamu, kau akan muncul, kau akan menemaniku, dan kau akan ada untukku. Sekarang aku sudah memanggilmu berkali-kali tapi mengapa kau tidak muncul juga?” Membuka mataku perlahan, mataku bergulir memandang sekelilingnya yang masih sepi seperti tadi, tidak ada sedikit pun tanda-tanda lelaki itu ada di sini—aku masih sendirian. “Kyoshiro-san…”
Tidak ada jawaban.
“Kyoshiro-san…”
Sepi.
“Kyo—“ dan pertahananku pecah sudah—aku menangis, air mataku jatuh membasahi pipi dengan cepat, tubuhku bergetar, dan pandanganku samar. Aku tidak bisa menahan isak tangisku yang semakin keras, sekuat apa pun aku berusaha menahan tangis dan meredam suaraku, semakin terasa sakit di hati. Seolah tidak mengizinkanku untuk memendam semuanya sendirian, seolah mengatakan bahwa ada yang harus aku lepas—Pedih.
“Du-dulu kau pernah bilang bahwa waktuku dan waktumu berbeda—waktuku masih sangat panjang sedangkan waktumu sudah terhenti bertahun-tahun yang lalu, tapi bukankah waktu yang kita habiskan kemarin itu adalah waktu yang sama? Ataukah aku salah?” Tidak ada jawaban lagi; tangisku tak kunjung reda. Sedih dan sakit. Meski pun begitu, sekarang aku mengerti mengapa Kyoshiro enggan bertemu di saat ramai, enggan membuatku seperti orang bodoh yang berbicara sendiri. Dan bahkan hal sekecil itu pun masih dipedulikan oleh dirinya—sedangkan aku hanya bisa egois, hanya bisa memaksakan kehendak.
“Mungkin, memang sudah waktunya... Terima kasih, terima kasih banyak Kyoshiro-san, kau telah mengajarkanku banyak hal, belajar menjalani hidup dengan senang, mengajarkanku betapa hidup itu menyenangkan—menikmati segala suka mau pun duka yang sebenarnya itu adalah sesuatu yang berharga, yang ternyata mengajarkanku untuk menjadi lebih bijaksana.”
Terdiam lama, aku hanya bisa menghela nafas berat—melepaskan beban.
“Terima kasih, Kyoshiro-san…”
Membukuk rendah untuk memberi salam untuk terakhir kalinya, aku tersenyum tipis meski masih menangis. Pandanganku mulai samar karena air mata, nafasku mulai sulit karena isak tangis, dan tubuhku lemas karena menahan sedih. Tidak ada perpisahan yang menyenangkan—dan aku tahu itu. Akan tetapi aku tidak bisa membayangkan bahwa aku tidak akan bertemu dengannya lagi, tidak lagi bisa berharap dia ada untukku, mengharapkan lelaki itu untuk tetap berada di putaran waktu yang sama denganku.
Tapi aku tidak boleh egois—aku harus melepasnya.
Perlahan aku berdiri sambil menggerakkan kedua tanganku; mengusap wajahku cepat-cepat—mengelap air mata yang masih melekat di pipiku yang kemudian tersenyum tipis, memandang pohon rindang dihadapanku sembari menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan—Aku harus kuat, bukankah memang harus begitu? Tapi sebelum aku berbalik, aku terdiam sebentar, untuk terakhir kalinya aku memandang pohon sakura dihadapanku. Tidak ada perpisahan tanpa kejujuran, dan sudah sepatutnya aku berbicara apa yang selama ini aku pendam—
—Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya.
“Kyoshiro-san—”
Memejamkan mata dan menghela nafas panjang, aku tersenyum tipis sembari menikmati angin yang tiba-tiba bertiup lembut disekitarku, mengibaskan rambut hitamku secara perlahan; mengusap pipiku dengan lembut seolah mengucapkan rasa terima kasih yang entah dari mana asalnya. Pohon rindang dihadapanku pun bergerak melambai-lambai pelan, seakan-akan mengucapkan terima kasih secara misterius—seperti memberitahuku bahwa lelaki itu kini ada di sini, menatapku meski tidak menampakkan dirinya. Aku membuka mataku perlahan dan memandang kosong batang besar pohon sakura—memandang sosok samar Kyoshiro Kitazawa dihadapanku yang tak nampak.
“Terima kasih, Kyoshiro-san, aku akan pulang—”
—aku mencintaimu.
oOo
Jumat, 15 Juli 2011
Fuji Amamiya, 23 tahun.
oOo
Label: Fanfiction, Fuji Amamiya, Kyoshiro Kitazawa, Ryokubita