-------------------
Gadis berambut hitam itu berjalan cepat di samping lelaki jangkung yang tengah sibuk merokok, menggandeng tangannya tanpa permisi. Refleks, pemuda itu menoleh dan mengernyit bingung.
"Aku cuma mau pegangan tangan kok." kata gadis itu spontan.
Si pemuda hanya terdiam, tidak berkomentar tapi juga tidak melarang.
"Kau mau jalan sama aku?"
"Hah—?"
-------------------
Suara bising memecah keheningan kamar bernuansa putih seketika—jam weker klasik berwarna silver yang berteger gagah di meja belajar itu berdering nyaring, membahana di ruangan kecil yang pengap dengan asap rokok. Seorang pemuda yang baru saja genap berusia dua puluh tahun itu terusik, tidur lelapnya terganggu; membuyarkan segala mimpi indahnya hari ini. Tangan kirinya terulur ke arah meja, meraba-raba mencari benda bising itu dan menekan tombol penghenti alarm begitu dia berhasil menemukannya. Hening kemudian meski wajah pemuda itu masih tenggelam di antara tumpukan bantal.
Menengadahkan kepalanya dan menghela nafas panjang, akhirnya ia bangkit dari kasurnya untuk bisa duduk nyaman. Tangan kanannya secara refleks menyentuh pundaknya yang nyeri, kepalanya ditekukkan ke kanan dengan gerakan cepat, alisnya mengernyit. Ia letih, sangat letih. Ia butuh istirahat, maka dari itu minggu ini dia memilih untuk pulang ke Hakamadote. Menoleh, pemuda ini langsung menatap jarum jam untuk mengecek berapa lama ia tertidur pulas—oh Kamisama, setengah sembilan. Tumben sekali dia bangun jam segini.
Berdiri tegak, pemuda bernama Yoshitsugu Kitamura itu pun perlahan membuka korden jendelanya; membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk ke kamarnya yang pengap. Matanya menyipit menatap aktivitas pagi pedesaan sihir yang terhitung sudah sangat ramai—ibu-ibu sibuk belanja dan membuang sampah, anak-anak kecil berlarian dengan tas ransel sambil tertawa-tawa menuju arah utara. Keputusannya untuk tinggal sementara di Hakamadote ini adalah benar; dia bisa istirahat, jauh dari tugas-tugas atau suara gaduh di sekolahnya yang selalu penuh dengan hiruk-pikuk macam-macam.
Setidaknya, meski hanya satu malam, dia bisa istirahat—
“JENGGOT!!! BANGUN!!!”
—Tsk.
Pintu kamarnya di gedor-gedor dengan brutal. Suara gaduh dan suara cempreng seorang anak perempuan terdengar saling bersahut-sahutan seolah menjadi pengganti suara kokokan ayam di pagi hari. Yoshi, atau yang lebih sering di sapa Ken ini menoleh malas, berdecak kecil dengan wajah tanpa ekspresi. Niat awalnya adalah mengabaikannya, tapi semakin lama dia abaikan, suara berisik di luar semakin terdengar lantang.
Melangkah gontai, mengulurkan tangan kanan, dan membuka pintu kamarnya, Ken langsung mendapati seorang gadis berambut hitam panjang tengah berkacak pinggang di hadapannya. Tatapannya sinis, alisnya mengernyit, dan bibirnya manyun. Jelas, itu adalah ekspresi kesal, tidak perlu dijelaskan ia sudah tahu. Tapi sayangnya laki-laki berambut hitam ini hanya membalas tatapannya dengan santai; alis terangkat, dan bibirnya tertutup rapat. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Ken—entah sapaan ‘ohayou’ atau sekedar bertanya ‘ada apa’ pada gadis itu—hanya reaksi kecil yang entah terbaca atau tidak, Ken tidak peduli.
Kalau pun dia sadar, maka itu artinya adalah ‘apa’.
Dan seolah mengerti luar dalam, anak perempuan itu menjawabnya.
“Tuan Han bilang kau melarangnya untuk memasuki kamarmu?” gadis itu bertanya dengan suara keras, tidak ada nada ramah dalam itonasinya. “Kau pasti ngerokok?!” tudingnya telak. Ken hanya mengerjapkan matanya perlahan; pertanda bahwa dia malas berdebat dengan si gadis. Alisnya semakin terangkat tinggi, dan dia bersandar pada daun pintu kamarnya. Mulutnya tertutup rapat. “Kau melanggar peraturan kost!!!”
Untuk pertama kalinya di pagi hari ini, Ken berbicara. “Kau juga.” Gadis itu mengernyit, dia tidak mengerti. Dengan baik hati, Ken mengangguk ke arah tangga, merujuk pada kata ‘batas suci’ yang di pasang di setiap lantai. “Peraturanmu, Ito-san.”
Tao Ito mendengus. “Kan aku yang punya rumah!”
“Dan aku membayarnya.”
“Lalalalalala tidak dengar—“ dia menutup kedua telinganya, pura-pura tidak dengar. Ken yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu paginya dengan bermalas-malasan memilih untuk mundur dan kembali masuk ke dalam kamarnya tapi langsung di sambut protes oleh si empunya rumah. “—EEEH!!! JANGAN DI TUTUP!!” pemuda berambut hitam gondrong lagi-lagi hanya mengangkat alisnya. “Aku mau mengecek!” Refleks, tangan kanan Ken terulur dan meletakkan telapak tangannya di kening Ito-san; menahannya sebelum gadis itu menerobos masuk seenak jidat. Seperti yang ia duga, Ito-san memberontak.
"Pergi—atau kau kucium."
Sungguh, gadis Bara itu sangat berisik.
-------------------
"Buatin mie dong,"
Si anak perempuan memerintah, tidak ada kata tolong dalam kalimatnya. Lagaknya di buat sok imut, matanya mengerjap genit ke arah laki-laki disebelahnya. Lelaki itu menoleh, wajahnya datar; tanpa basa-basi, satu bungkus mie instan di lempar dengan cepat dan tepat mengenai pucuk kepala gadis bermarga Ito.
"Bikin sendiri."
Lalu ia beranjak pergi, dan si gadis memprotes.
“Jenggot bengis—Brengsek. Kenapa sih aku bisa suka sama kamu. Sialan.”
Seketika, pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Apa?”
-------------------
"INVESTIGASI—!!!"
Menggulirkan matanya ke atas, memandang pintu berwarna putih yang lagi-lagi di gedor untuk kedua kalinya di hari yang sama, Ken yang sedang menikmati hari tenangnya hanya menghela nafas berat, menggeleng dan memutuskan untuk mengabaikannya. Pandangannya kembali ke bawah, membaca sederet tulisan di buku Novel klasiknya yang ia pinjam dari Amemi. Sekuat tenaga, dia menganggap suara bising di luar itu hanyalah kamuflase belaka.
"—BUKA!!" perintah kedua menggelegar keras, dan Ken terlalu sibuk mencari-cari sesuatu di dalam saku celananya—mencari rokok Marlboro Light Menthol kesukaannya sebagai salah satu upaya untuk mengabaikan suara Ito-san di luar. Meski pada akhirnya Ken menoleh ke arah pintu dan mendengus sebal. Setelah ia menemukan sebatang rokok sekaligus pemantik yang langsung dipakai untuk menyulut rokoknya, Ken beranjak dari kursinya, membuka pintu kamarnya; menyambut Ito-san dengan asap nikotin menyeruak memenuhi udara.
Ito-san melongo. Ken mengangkat alisnya.
"Apa?" akhirnya dia membuka suara, tidak begitu jelas karena bibirnya masih sibuk mengapit puntung rokok kesukaannya itu. Terang-terangan, Ken menunjukkan pelanggarannya. Ito-san secara refleks menggerak-gerakkan mulutnya, berusaha menahan makian. Siapa sangka, hal itu membuat Ken bereaksi di luar kebiasaannya; "Kau tidak berkomentar, nona-pemilik-rumah?" komentarnya sambil terkekeh.
Untuk beberapa saat, Ito-san melongo. Lalu dia mengerjapkan mata. "Bukti nyata! Kau melanggar peraturan! Kamarmu pasti berantakan!!" dia mengomel, dan seperti apa yang terjadi tadi pagi, Ken menahan Ito-san dengan tangan kanannya. Tidak ada reaksi lain selain itu, dan Ito-san memberontak. "Batas suci, nona-pengatur" sahut Ken santai. "Kenapa kau ingin sekali masuk ke kamarku?"
Gadis itu menatap Ken, lama. "Karena kamarmu yang paling jarang di sentuh oleh Tuan Han!!" dia menggerutu sambil menepis tangan pemuda di hadapannya. Ken hanya mengangkat alisnya, seolah bertanya tanpa suara 'hanya itu?' pada Ito-san. "Kau juga pasti melanggar banyak peraturan juga, makanya kamarmu harus di cek!!" Ken terkekeh.
"Sok tahu," komentarnya cepat.
"Makanya, harus ada investigasi!!"
"Batas suci."
"Lalalaalalala—"
"....."
Dia nyengir polos, menubrukkan tubuhnya ke tubuh Ken—memaksakan diri agar bisa menerobos masuk ke kamar kedua paling belakang di lantai tiga itu. Secara refleks, pemuda Sakura ini menahannya dengan sebelah tangan, sedangkan sebelah tangannya sibuk dengan rokoknya yang mau tidak mau harus di padamkan secara paksa. "HEH!!!" pertama kalinya selama tiga tahun saling kenal, Ken membentak. Ito-san melongo—tapi tidak lama, dia kembali berulah. "Memang kenapa sih?!"
"Ada banyak barang yang tidak boleh kau lihat."
"Barang apa misalnya?"
"Barang cowok, bego."
"Kalau ada barang cewek itu baru aneh, bego."
Ken mengernyit. "Pergi—atau kau kucium." dia mengulangi ancamannya tadi pagi.
"Lalalalalal—" Ito-san menutup telinganya, pura-pura tidak mendengar ucapan Ken barusan. "Memangnya berani? Lalalalal—" tambahnya, memanas-manasi Ken. Dan pemuda itu terpancing amarahnya—untuk pertama kalinya. Mendengus kesal, Kitamura sulung itu tanpa berpikir panjang benar-benar melakukan ancamannya. Tangan kirinya yang bebas menarik tubuh kecil Ito-san untuk mendekat secara paksa. Tubuhnya yang jangkung sedikit membungkuk agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah gadis Bara di hadapannya. Dan tangan kanannya yang bebas menyentuh pipi Ito-san, menggerakkan kepala gadis itu agar menoleh ke arahnya. Hitungan detik saja, dan ancaman Ken terbukti.
Bibirnya bertemu dengan bibir Tao Ito. Lama.
Menarik tubuhnya, Ken melepaskan diri. Dia berdiri tegak, melepaskan pelukannya dan menahan nafasnya. Manik hitamnya menatap Ito-san dengan ekspresi wajah yang sulit di terka. Sedangkan Ito-san yang sama-sama menahan nafas hanya bisa diam, terlalu shock dengan apa yang barusan terjadi. Ken menyadari sesuatu, wajah gadis itu merah sampai ke telinga.
Tanpa rasa bersalah, si pemuda kembali masuk ke kamarnya, menutup pintu tanpa memandang si gadis.
Di batasi oleh dinding, si anak perempuan masih berdiri di luar, mematung dengan kelopak mata yang terus mengerjap pelan. Tangannya perlahan bergerak menyentuh kedua pipinya dan sesekali ditepuknya lembut. Wajahnya terasa panas, pikirannya jauh di awang-awang, nafasnya juga memburu. Dia memejamkan mata sambil mengatur nafas sekuat tenaga, menahan senyum yang sulit sekali dia sembunyikan.
Sedangkan anak laki-laki berambut hitam gondrong yang berada di dalam kamar seketika langsung merosot ke bawah. Tubuhnya yang tadi disandarkan pada daun pintu ternyata tidak lagi kuat berdiri, kakinya terlalu lesu untuk menopang berat badannya. Kakinya ditekuk hingga hampir menyentuh dadanya. Kedua tangannya mencengkeram rambutnya kuat-kuat, kepalanya menunduk dalam, menyembunyikan semburat merah yang merona di pipinya sendiri. Sesekali pemuda itu menggeleng, mendengus, dan berdecak. Dia tengah mengutuki dirinya sendiri.
"—Brengsek."
-------------------
"Kau pernah peduli?”
“Enggak. Aku enggak pernah peduli—kau ini jenggot tolol, brengsek, muka boros, ketek monyet—aku benci jenggotmu, pokoknya aku benci kamu.”
-------------------
"Kamarmu bau rokok." Ito-san berkomentar cepat, raut wajahnya sama sekali tidak enak di pandang. Ken yang memilih untuk bersandar di daun pintu hanya menghela nafas panjang. Di lihatnya, gadis Bara itu mulai mengobrak-ngabrikkan isi lemarinya dan meja belajarnya. "Kalau mau ngerokok buka dulu jendelanya, biar ada udara masuk. Abu rokok jangan di simpan di gelas, minta asbak dong, gimana sih." Ken mengangkat alisnya, merespon dengan sangat datar, membiarkan gadis itu mengomel ini dan itu.
"Sudah untung kau aku persilakan masuk, Tao."
Ito-san menoleh.
"Bayaran sewa kamar bertambah, Yoshi."
Ken tersenyum. "Kenapa?"
"Karena kau sudah meng-itu-kan pemilik kost-an!! Pelanggaran paling fatal!!" Dia menggerutu sambil berbalik, sibuk dengan tangan yang bergerak ke sana kemari merapihkan segala isi kamar Ken. Kitamura sulung memperhatikannya, menatap Ito dengan seksama dan akhirnya tersenyum santai. "Kalau begitu, lima menit kau tidak beranjak dari sini, kau juga dapat hukuman. Aku tidak mau lagi melanggar peraturan—Batas suci."
Tao Ito menoleh, menatap Ken lama. "Kalau begitu aku mau berlama-lama di sini."
-------------------
"Jenggot,”
“Alien.”
"Tapi ganteng kok." gadis itu menambahkan ucapannya sambil tersenyum, kedua tangannya sibuk mencubit kedua pipi si pemuda dengan keras-keras. Reaksi lelaki itu hanya mengernyit menahan sakit, matanya terpejam.
"Sakit, Tao," ujarnya. "Batre-mu kapan habisnya?"
Gadis itu menurunkan tangannya, manyun. "Jenggot manis tapi sinis."
Si pemuda menoleh. "Kamu—" gadis itu mengernyit. "—yang manis itu kamu."
-------------------