Review Book : Sakura Wonder, Novel by Silvia Iskandar
Selasa, 26 Juni 2012
@6/26/2012 08:45:00 PM
Hai blogspot! Udah lama ya gue ga update apa-apa
selain vote untuk next L’WT fufufufufufu (*heh*). Gue
ga punya cerita buat di share, entahlah belakangan ini gue gak bisa ngetik
cerita apa pun, mungkin karena belakangan ini otak gue terlalu diforsir sama
tugas jadi pas liburan kayak gini gue justru ngeblank ga bisa ngapa-ngapain
padahal waktu kemarin nugas, wiih yang namanya ide tuh ngalir terus-terusan.
Salah gue sendiri sih yang ga nyatet di kertas atau tisu atau buku.
Oke, forget it. Sekarang kembali ke review book!
Gue ga inget sih kapan gue beli buku ini, entah bulan
Mei atau bulan juni—gue rasa sih mei karena bulan juni gue sama sekali ga
sempet ke gramedia karena sibuk nugas UAS (dan bokek, uhuk). Gue juga sebenernya udah baca, tapi belum bikin review, nah
sekarang mumpung ada waktu, gue baca ulang dan ternyata reaksi gue kurang lebih
sama kayak waktu pertama kali baca, dan begitu gue baca lagi ternyata gue
menemukan banyak hal yang harus gue corat-coret. Hehe.
 |
SAKURA WONDER by Silvia Iskandar. |
Sakura wonder, karya Silvia Iskandar, menceritakan
tentang perjalanan Lily, Sigit, dan Erik yang mendapatkan beasiswa Monbu, dan juga menceritakan tengang
bagaimana keseharian mereka belajar satu tahun sebelum diputuskan masuk
universitas mana. Persaingan, persahabatan (really?),
dan kisah cinta serta masalah-masalah lain ada di cerita ini. Penulisnya
sendiri di halaman awal (semacam kata pengantar lalalala) bilang kalau naskah
novel ini awalnya ‘kampungan’ tapi berhasil di buat jadi lebih sophisticated, katanya. Untuk point ini,
gue setuju. Gue ga bilang ini naskah kampungan, maksud gue, ini standarlah,
tapi ternyata kalau ngikutin ceritanya dari awal, apa yang gue bayangin
ternyata beda sama ceritanya. Misalnya, waktu cerita Lily sama Erik pacaran,
gue kira ya kayak cerita-cerita lain yang selalu berakhir bahagia yang jatuh
cinta satu sama lain lalalalala. Ternyata? Putus.
Azeek (*APA*).
Gaya bahasa penulis sendiri sangat sederhana, enggak
belibet dan gak bikin gue mikir. Deskripnya enak banget buat di bayangin, meski
gak detil-detil amat, tapi gue yang bacanya jadi kebayang aja “oh kamarnya Lily
yang asalnya bobrok sekarang jadi lumayan bagus nih pake kertas kado” atau pas
bagian Keiko sama Azizah bertengkar di stasiun kereta api, itu gue juga bisa
bayangin.
Cuma, nih, yang menurut gue ter-fail dari deretan fail
yang gue tulis, dari awal sampai akhir gue baca ini buku. Dua kali bahkan,. Gue
masih ga ngerti : tokoh utamanya siapa sih? :| Lily kah? Atau Lily-Erik, kah?
Atau Sigit? Atau Sigit-Keiko? Atau Sigit-Keiko-Azizah? Atau Sigit-Azizah? Atau
Lily-Erik-Sigit? ATAU Lily-Sigit?
Pusing karena banyak “atau”? Emang itu yang ada di
otak gue :|
Cerita awal tentang kedatangan Erik-Lily-Sigit ke
Jepang, terus lanjut kisah Lily yang disukai senpai-nya bernama Ali, terus
tahu-tahu menclok ke cerita Sigit yang diceritain
‘aduh-gue-males-banget-belajar-dasar-bahasa-jepang-mending-langsung-kuliah’ dan
dia ketemu sama yang namanya Keiko terus pacaran. Terus menclok lagi ke cerita
Lily yang udah jadian sama Erik (JADIANNYA JUGA KARENA APA GUE GA TAU DEMI
TUHAN TAHU-TAHU UDAH PACARAN DI GEREJA—maaf emosi =))) buat ngehindarin Ali.
Terus menclok lagi ke cerita Sigit yang diposesifin banget sama Keiko, abis itu
ternyata pas ada acara studi tour (di luar Tokyo, di Hokkaido) Sigit ketemu
Azizah yang katanya keturunan Indonesia, abis itu menclok lagi sama persoalan
Lily-Erik yang galau apa harus ngomongin hubungan mereka ke orang tua, terus
lanjut lagi ke masalah Sigit-Keiko yang di situ diceritain kalau Keiko kepo
banget sama Sigit tapi si Sigit-nya kabur-kaburan.
Abis itu balik ke masalah Lily-Erik, terus balik lagi
ke masalah Sigit-Keiko-Lily, yang ceritanya Keiko lagi nangis di depan kamar
Sigit, ketemu sama Lily, yang pokoknya hanya karena Lily ngeliat Keiko nangis
di depan kamar Sigit dia jadi keseret masalah mereka berdua tahu-tahu jadi
semacam saksi perjanjian apalah. Abis itu lanjut lagi ke cerita
Sigit-Keiko-Azizah yang di situ si Keiko sama Azizah ketemu terus berantem
hebat, sampe akhirnya Azizah sama Sigit pisah. Balik lagi ke cerita Erik-Lily
yang masih galau soal latar belakang masing-masing, tahu-tahu jadi masalah
Erik-Lily-Sigit gegara Erik sering ngeliat Lily sama Sigit barengan yang
padahal mereka ngomongin soal Keiko. Terus terakhir mereka pisah karena masalah
masing-masing.
……….
DAFUQ GUE NULIS APAAN ITU DI ATAS KAYAK BENANG KUSUT :
| (*ditabok*)
Dari cerita gue di atas, help me guys, tokoh
utamanya siapa? Lily? Apa Sigit? Apa Lily-Sigit? Kalau Lily, gue ga
menemukan fokus cerita si Lily. Okelah, perjuangan dia buat tembus universitas
di Jepang. Tapi hello, itu sih cerita keseluruhan. Sigit juga, Erik juga, Ha
juga, Sammy juga, semua berjuang buat tembus universitas. Terus cerita
percintaan Lily? Kalau fokus sama percintaan Lily, gue rasa lebih enak kalau
cerita percintaan Sigit-Keiko-Azizah ga usah ada, apalagi kalau ujungnya Lily
sama Sigit gak ada hubungan apa-apa selain surat perjanjian ga jelas itu?
Kalau tokoh utamanya Sigit (mengingat bab-bab awal
lebih dominan Sigit yang diceritain), gue juga ga menemukan fokus cerita si
Sigit. Asalnya yang menggebu-gebu masuk Toudai kenapa jadi masalah percintaan
yang ngalor ngidul? Yang belibet ke sana-sini? Dan sama, kalau fokus tentang
Sigit ngapain ceritain tentang Lily kalau ternyata Lily sama Sigit ga ada
hubungan apa-apa selain perjanjian itu?
Emang, yang namanya cerita gak selalu harus fokus pada
satu atau dua tokoh, tapi demi Tuhan gue bingung banget baca novel ini karena :
“ini
cerita tentang siapa?” Secara keseluruhan ‘kehidupan satu tahun Monbu’
emang kena, tentang perjuangan-persaingan mereka kayak apa, setahun itu mereka
ngapain aja, kelicikan, kerja sama, atau apalah, itu gue “uwow” sekali.
Tapi lagi. “Ini cerita tentang siapa?” Intinya
sih, ga
jelas.
Review gue jahat? Emang. Tapi maaf belum review gue
belum selesai (*nyengir*) Cerita ini—hal yang bikin gue risih sih tepatnya—adalah
menyangkut tentang SARA. Suku, Agama, Ras, dan Akademis (*nyengir lagi*).
Emang, yang namanya cerita itu bebas se-bebas-bebasnya
lu mau buat cerita kayak apa, mau menyangkut apa, mau tentang apa, bebas banget, toh kayaknya enggak ada
larangan “dilarang mengungkit SARA” seperti apa yang selalu dicantumkan di
forum-forum RP yang gue ikutin. Banyak juga buku tentang (sorry) agama yang
diselipin perbandingan-perbandingan dengan agama yang lain. BUT HELLO, semua
buku yang seperti itu selalu di kemas dengan baik, dengan hati-hati,
dan target-market mereka emang buat orang-orang yang “mengerti” dan “dewasa”.
Sedangkan ini, novel, semua umur, pernah
berpikir kalau ini terlalu berbahaya?
Ya, gue tahu sih, begitu lu di luar negeri, lu pasti
nemu banyak orang yang penuh dengan beragam agama, kepercayaan, dan latar
belakang. Tapi hati-hati, enggak
semua orang berpikir dewasa tentang semua itu. Misalnya ketika Sigit yang
asalnya seorang muslim yang taat beragama tahu-tahu berubah jadi laki-laki yang
(maaf) suka seks dan pergaulan bebas, minum-minum dan meninggalkan kewajibannya
sebagai muslim, kepikiran ga sih yang nulis kalau yang baca novelnya bisa aja
anak-labil-yang-sok-jadi-pembela-islam? Bahaya loh bisa-bisa di kira “ah ini novel mencoreng agama nih”
padahal kan niatnya cuma menunjukkan ‘kemungkinan yang akan terjadi’ kalau
di luar negeri. Atau mau ambil aman, ya Sigit-nya di buat jadi tobat atau apa
gitu kan enggak terlalu meninggalkan tanda tanya di orang yang baca.
Atau tentang Suku dan Ras (maaf) orang-orang yang
masih mempertahankan darah dan marga, gak semua orang tahu tentang itu karena
waktu kecil di cekokin di lingkungan yang sama begitu keluar kayak “hah gini
ya” atau “emang gini?” etc-etc. Jadi lebih baik juga hati-hati. Ketika ingin
mengambil topik SARA, jangan pernah berpikir “Ah semua orang bisa kayak gitu” atau “ah ini kan semua tau”. Hati-hati, gak semua orang bisa berpikir
dewasa dan gak semua orang berpikiran panjang, apalagi novel, semua umur loh
baca, kalau yang baca itu labil, gimana? :3
Oh iya satu pertanyaan gue : Azizah itu… islam bukan
sih? : | (*gapenting*)
Lalu tentang kelogisan cerita.
Ini lebih fokus ke certa Sigit yang bisa bulak-balik
ngunjungin Azizah dari Tokyo ke tempatnya di Yokohama, dan mengingat gue pernah
searching harga tiket di Jepang cuma buat thread Tetsu-Nao, kalau ga salah gue
nemu ongkos Yokohama-Tokyo dan itu ongkosnya kalau di rupiahin lumayan mahal. Eh
ga tau ding, sotoy. Tapi ya
masalahnya sih di awal-awal Sigit tuh diceritain kalau dia ini orang miskin
yang katanya tiket eksekutif Gambir-Cirebon adalah karcis termahal yang bisa di beli oleh keluarga Sigit atau intinya harus berutang
sana-sini buat kepergian Sigit ke Jepang. Tapi di Jepang dia bisa
bulak-balik Tokyo-Yokohama. Bisa aja sih, tapi kayaknya out-of-latar-belakang
sekali. Kalau cuma sekali sih oke, tapi di tulisnya ‘bulak-balik’ artinya berkali-kali
kan? :|
Well, hanya Tuhan dan Silvia Iskandar yang tahu
alasannya (*digampar*).
Terakhir, fail yang gue temui mungkin lebih tepatnya
ditujukan untuk editor dari novel ini, kali ya. Gue ampe tega loh nyoret-nyoret
ini novel pas nemu yang salah-salah (*krik*). Pertama di halaman 9 paragraf
terakhir, di tulis: “Lily mengangguk
singkat. Ia begitu shock melihat kamar barunya sehingga tidak sadar kalau
Herwin sudah selesai memasukkan semua bagasinya
ke kamar.”—bagasi? Bagasi? Are you sure? Mungkin maksudnya adalah ‘barang-barangnya.’
 |
halaman 9 |
Kedua, di halaman 13 paragraf terakhir, ada kalimat :
“Diam-diam, Lily merasa beruntung,
sebagai satu-satunya pe-rempuan, ia
mendapatkan perlakuan khusus—” Sebentar, coba gue tanya. Kalau misalnya ‘pe’ dalam kalimat itu adalah imbuhan
untuk ‘rempuan’, apa arti dari ‘rempuan’ itu sendiri? Kalau misalnya itu
imbuhan ‘pe-an’ yang berarti ‘rempu’, apa arti ‘rempu’?
 |
halaman 13 |
Ketiga dan keempat, di halaman 16, ada typo pada
kalimat “Semuanya serbasempurna, rapi, dan fungsional, persis seperti dalam game”
paragraf pertama kalimat terakhr di halaman itu. Mungkin maksudnya ‘serba sempurna’ kali ya. Terus di halaman
193 ada kalimat “Ohiya, aku ingat, kamu
pernah bilang mereka akan datang.” Lagi-lagi typo, seharusnya ‘Oh iya’ kan? Setau gue sih gitu kecuali
penulis terbiasa nulis dengan bahasa sms :D
 |
halaman 16 |
 |
halaman
193 |
Ke lima dan ke enam ada kesalahan yang sama, yaitu
spasi dobel di awal paragraf di halaman 28 dan 188. Gak tau sih, tapi kalau gue
pas bikin laporan TA kemarin, kalau kayak gini sih udah di bantai sama dosen
gue :| (*curhat*) dan kalau komentar tentang novel, agak risih aja gitu yang
atas cuma di majuin dikit tapi di bawahnya jauh banget.
 |
halaman 28 |
 |
Halaman 188 |
Ke tujuh, halaman 67-68, ada kalimat “Ia juga tidak meragukan kejeniusan Ha, Dat,
dan Nguyen, ketiga temannya dari Vietnam ini. Mereka lulusan SMA yang sana, sebuah sekolah khusus untuk mendidik
siswa-siswa berprestasi tinggi.”—agak ambigu, sana ini maksudnya ditujukan
untuk ‘Sekolah di Vietnam’ atau
sebenarnya dia typo mau nulis ‘Mereka
lulusan SMA yang sama” ? Mungkin typo, seharusnya nulis ‘sama’ tapi jadi ‘sana’. Eh ga tau ding, sotoy
gue barusan. Yah, hanya Tuhan dan penulis yang tahu (*nodsnods*).
 |
Halaman 68 |
Ke delapan alias terakhir, halaman 78 ada paragraf “Di tengah-tengah lagu enka yang dinyanyikan Matsuoka Sensei, Lily beringsut mundur. Ia merasa jengah. Lily menggeser pintu keluar,
puluhan pasang selop berbaris dengan rapi menyambutnya.”—FYI menurut KBBI
alias Kamus Besar—dan tebal—Bahasa Indonesia, ‘jengah’ artinya ‘malu’
loh, bukan bosan [link]. Jadi ini salah. Dan pas kalimat ‘selop berbaris dengan rapi menyambutnya’ gue ngebayangin selop itu
jingkrak-jingkrak heboh sambil sorak-sorak-riang-gembira entah kenapa (*didepak*).
 |
halaman 78 |
….
Wah review kali ini banyak dan panjang dan jahat.
Hmmm, kayaknya segitu aja deh review dari gue tentang
buku ini. Setelah sepanjang itu, kalau ternyata ada yang ga setuju, gue minta
maaf, toh namanya juga pandangan pribadi. Atau kalau misalnya review gue ini
terkesan spoiler, gue cuma bisa bilang itu salah lu sendiri kenapa baca
(*dijejelin sapu*).
Setiap review yang gue tulis adalah pandangan pribadi
tentang buku-buku yang gue baca. Kalau penulis yang bersangkutan ngerasa emosi
baca review gue (atau mungkin kalian juga), gue juga minta maaf. Gue tau kok
nulis cerita itu susah banget, ga gampang, ribet, WB, dan etc-etc. Tapi setiap
penulis (gue yakin) pasti punya niatan yang sama “bikin cerita buat dinikmatin semua orang”. Jadi kalau ada yang ga
menikmati, berarti ada yang salah, dan demi hal yang baik, kritik dan info
tentang kesalahan itu penulis harus tahu.
Gue menulis sepanjang ini bukan bermaksud buat
mengkritik dalam hal negatif, tapi positif. Semacam kritik membangun. Oh yeah,
gue bukan editor, gue cuma pembaca.
Tapi bukankah setiap cerita, baru bisa dikatakan berhasil bukan cuma dari
editor, tapi juga dari pembaca? :D
Cerita ini gak jelek kok, bagus, bikin gue sirik
pengen ke Jepang (*apa*) dan bikin gue mikir apa kakak kelas gue yang ada di
Jepang juga nikmatin kayak begini atau apa gitu. Dan endingnya yang gak biasa
(dimana rata-rata pasti happy ending, kalau ini happy ending dengan caranya sendiri :D ) Cuma ya… ya itu,
tokohnya bikin pusing aja dan jalan ceritanya naik-turun-ga-jelas.
Penilaian gue—Hmm… Maaf,
cuma bisa dua dari lima. (*nyengir*). Satu karena bahasanya enak di baca dan
dua karena persaingan-perjuangan-keseharian selama Monbu—yang ibaratnya gue ga
tau apa-apa—bisa dibayangin dan berasa banget gitu. Gak, gak lebay, tapi emang
gitu (*nyengir lagi*). Well, udah ah, udah maghrib, gue belum mandi
(*didepak*).
Keep writing Silvia Iskandar!! Semangat terus!! :D
Wasshoooii ~
Label: Book, Real World, review