Review Book : Montase, Novel by Windry Ramadhina
Kamis, 31 Januari 2013
@1/31/2013 03:15:00 AM

Montase karya Windry Ramadhina yang diterbitkan oleh Gagasmedia dengan tebal buku 360 hal ini ludes dalam sehari. Jangan salahkan saya karena kemampuan membaca saya sangat cepat—tapi memang biasanya, kalau sebuah buku menarik, saya akan membiarkan diri saya hanyut dalam cerita yang disuguhkan oleh buku yang sedang saya baca. Dan Montase adalah salah satu buku yang berhasil mencuri perhatian saya. Sebenarnya, saya sudah sering melihat buku Montase ini setiap kali (selain terakhir saya ke Gramedia) mampir ke Gramedia atau ke toko-toko buku lainnya. Tapi sungguh sangat disayangkan, sinopsis dari Montase ini, waktu itu, belum berhasil menarik perhatian saya. Entahlah, sinopsisnya terkesan biasa aja padahal covernya oke banget. Waktu itu, akhirnya, saya lebih tertarik membeli novel lain—Hunger Games, kalau ga salah (iya saya baru baca, protes? *dikitik*) Eh, omong-omong saya baru menyadari, buku-buku lain belum saya review, ya? Hunger Games karya Suzanne Collins; Perahu Kertas karya Dee; Seandainya karya Windhy Puspitadewi; Hujan punya cerita tentang kita karya Yoana Dianka; Ruang Temu Antara Denting dan Rahasia karya Maradilla Syachridar; Hujan dan Teduh karya Wulan Dewatra; dan lain-lain—wah, banyak juga. Ya sudahlah, sekarang saya review Montase dulu saja.
Ini adalah kisah cinta antara Rayyi dan gadis kepala angin bernama Haru, mahasiswi studi banding di IKJ dari Jepang. Kisah dimulai ketika Rayyi, yang mengikuti kompetisi Greenpeace, dikalahkan oleh Haru. Rayyi tidak pernah mengenal Haru sebelumnya. Bahkan, Rayyi tidak tahu bahwa ada mahasiswi baru di kampusnya. Rayyi bertemu Haru pertama kali saat Rayyi sedang menonton film dokumenter buatan Haru. Sedikit pun Rayyi tidak terkesan dengan film buatan Haru dan kesan pertama Rayyi terhadap Haru adalah gadis liliput yang menggelikan. Pertemuan Rayyi dan Haru berikutnya terjadi saat Rayyi meminta Haru untuk menjadi objek film dokumenternya sebagai salah satu tugas dari dosen. Bukan apa-apa. Rayyi disarankan oleh temannya, Andre. Sejak Rayyi merekam Haru dengan kameranya, perasaan antara mereka berdua tak lagi sama.
Dan setelah melahap setengah buku, saya langsung berbicara pada diri saya sendiri bahwa: i am ini love with this book. Saya menyukai tata bahasanya, cara penyampaian cerita, cara penyampaian karakter pada setiap tokoh-tokohnya, plotnya, penggambaran suasananya—semua dalam novel ini saya suka. Bahkan percaya atau tidak, saya sangat jatuh cinta pada endingnya. Mungkin kebanyakan orang yang membaca novel ini (sok tahu sih sebenarnya, hahahah) sedikit kecewa dengan endingnya, tapi saya tidak, saya justru menyukai ending yang seperti ini, yang sangat jarang saya temukan. Saya cinta mati dengan endingnya. Windry Ramadhina, congratulations, dari sekian novel yang saya punya (dan saya baca, mungkin?) novel ini adalah novel pertama dengan sad ending yang paling saya sukai.
But, no body's perfect. Enggak ada hal yang sempurna di dunia ini, termasuk buku. Meski pun sesuka-sukanya saya pada buku ini, ada hal yang membuat saya risih dan menurut saya, ini cukup mengganggu saya selaku pembaca. Mungkin cuma saya, sih, enggak tau ya kalau yang lain, tapi kita main jujur-jujuran aja, kan? Sebenarnya hal yang risih itu sangat sederhana; kenapa sih, gak ada footnote? Begini, saya tidak mengerti perihal dunia perfilman dan tetek-bengeknya seperti kamera atau mungkin istilah-istilahnya. Misalnya LomoKino. Iya sih, di deskripsi ada penjelasannya kalau itu adalah kamera mainan (hal 22; baris paling bawah), tapi apa benar-benar itu mainan? Maksud saya, saya ampe harus browsing soal LomoKino loh karena saya enggak tau LomoKino apaan, dan setelah saya browsing, ternyata bentuk kamera yang beneran kamera, bukan kamera mainan yang warna-warni kayak yang ada di otak saya sebelumnya. Lalu kata sienas. Sienas itu sebutan untuk apa ya? Halo? Tema dunia perfilman ini oke banget, jarang malah. Saya suka banget. Tapi sekali lagi, banyak hal-hal dalam dunia perfilman yang ada di buku itu yang saya ga ngerti karena gak ada penjelasan. Memang sih, ini kan bukan skripsi yang harus ada footnote segala, tapi footnote kan berguna buat penjelasan. Akan lebih bagus kalau saya (atau kita) yang tidak mengerti dunia perfilman di kasih penjelasan tentang istilah-istilah dunia perfilman di buku itu agar bisa lebih bisa membayangkannya. Lalu ini pun berlaku untuk bahasa Jepang yang disisipi di dialog-dialog Haru. Sama aja, kenapa sih ga di kasih footnote untuk arti dari bahasa Jepang itu? Lagi, alasannya sama seperti saya yang ga ngerti perfilman, gimana kalau yang baca ga ngerti bahasa Jepang? Ohayou Gozamashu itu apa? Selamat makan? Mungkin emang bahasa Jepang yang disisipi ke buku ini kecil-kecilan (tidak dalam bahasa yang sulit) tapi tetap saja penjelasan itu perlu. Seperti misalnya dialog yang ada di novel Ai karya Winna Effendi. Pada awal-awal dialog, Winna memberi footnote sebagai penjelasan arti dari bahasa Jepang yang digunakan, selebihnya gak perlu karena pembaca udah pahm 'oh ini artinya ini'.
But overall, saya suka buku ini. Suka. Pake banget! :D
Label: Book, Real World, review