<body>
Yudistira
Rabu, 21 Agustus 2013 @8/21/2013 10:30:00 AM




“Bayangan saya berlari, mencoba mengejar sesosok bayangan lain yang tak pasti. Sosok bayangan itu sama sekali tidak saya kenal, dia melayang dan terlalu cepat untuk saya kejar. Kaki saya pegal, tapi entah kenapa saya tidak bisa menghentikan langkah saya untuk terus berlari mengejarnya.”

(Ruang Temu; Antara Denting dan Rahasia — Maradilla Syachridar)  


— ♪ —  



Kegagalan itu adalah keberhasilan yang tertunda. Katanya

Saya yakin, sepertinya semua orang sudah tahu pasti kalau itu alasan klise—dan parahnya, belakangan ini saya ingin sekali merutuki orang yang mencetuskan pendapat itu. Maksud saya, bicara memang gampang, tapi menjalaninya itulah yang menjadi tantangan. Saya suka tantangan, tapi bukan berarti setiap kali menerima tantangan saya sudah menyiapkan diri untuk hasil yang nanti saya dapatkan.

Mari kesampingan tentang kisah Malika. Nama saya Yudhistira dan kalau kamu tanya siapa saya dan ada hubungan apa dengan Malika—kami teman satu SMA; lebih tepatnya Malika adalah adik kelas saya. Malika pernah berkata, baik dia maupun teman-teman lainnya menjadikan saya panutan untuk masa depan mereka. Kakak kelas yang pintar. Yang bisa semua pelajaran bahkan fisika-kimia-matematika yang mereka anggap susah setengah mati. Yang sering kali menjadi nomor satu di deretan nilai-nilai tes-tes dari tempat bimbingan belajar; tidak hanya di Bandung, katanya. Dan hal lain-lainnya. Tidak tahulah, saya sih hanya menganggapnya angin lalu saja. Tetapi Malika juga pernah bercerita, bahwa dia bilang pada dirinya sendiri “aku harus jadi seperti kak Yudhistira!” dan saya hanya melengos mendengarnya. Tapi sayangnya itu dulu, karena begitu dia masuk kuliah, dengan seenak jidat Malika memanggil saya dengan nama Yudhistira tanpa embel-embel kakak atau senpai seperti dulu. Kurang ajar memang, tapi entah kenapa, bagi saya itu hal yang bagus. 

Selama kurang lebih lima tahun belakangan ini, saya tinggal di negeri sakura—negara Jepang yang untuk kebanyakan orang sangat mengagumkan. Saya menerima beasiswa perguruan tinggi di sini dan tanpa bermaksud apa-apa, saya merasa bangga. Apalagi universitas yang saya dapatkan adalah universitas Todai. April lalu, saya menyandang gelar sarjana pada akhirnya. Tentu, gelar ini saya persembahkan untuk Ayah dan Ibu di tanah air tercinta karena kalau bukan doa mereka, tidak mungkin saya seperti ini. Tapi setelah lulus pun, saya mendapati keluh kesah di sini. Selama saya kuliah, jarang kali saya pulang ke rumah. Rindu sekali dengan Indonesia. Makanannya dan segala macam yang ada di sana. Dan yang paling utama adalah keluarga dan teman-teman saya. Bisa dihitung dengan jari berapa kali saya pulang ke Indonesia—dan saya rindu. Lebaran ini, kalau bisa, saya ingin pulang.

Tapi saya juga ingin melanjutkan pendidikan di sini. Kesempatan tidak datang dua kali, bukan? 

Saya mendapatkan pekerjaan yang bisa di bilang menyenangkan—kalau-kalau kau termasuk orang yang pandai bersyukur, kau pasti berpendapat yang sama dengan saya—yang memang mampu membantu kehidupan saya di tanah sakura ini. Bersama teman-teman seperjuangan saya yang lain, yang sudah merangkap menjadi keluarga kecil di sini, kerinduan akan kampung halaman sedikit terobati. Tidak sepenuhnya, memang, tapi setidaknya, dari kacamata saya, saya tidaklah sendiri. Perjuangan yang sama, keadaan yang sama, rasa rindu yang sama meski tempat yang berbeda, serta tujuan yang sama meski berdasarkan landasan yang berbeda. Hingga pada akhirnya saya memutuskan suatu hal; “umi, izinkan saya melanjutkan pendidikan S2 di sini". 

Ya. Saya akhirnya memutuskan hal itu setelah melalui kegalauan yang panjang—ya, saya juga bisa galau, siapa bilang hanya perempuan yang boleh galau?—dan ibu saya, yang memiliki kerinduan yang besar sama seperti saya, menyetujuinya meski tahu rasanya berat. Bertahun-tahun tidak bertemu, hitungan hari dan hitungan jam yang berarti harus beliau lalui lagi setelah lima tahun lamanya. Ibu saya tahu pertimbangan-pertimbangan perihal alasan saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di tanah sakura ini, begitu pun dengan Ayah saya yang tercinta, beserta keluarga besar yang terkasih. Dengan ucapan penuh sayang, Beliau mengizinkanku. “Yudistira, Ummi menitipkanmu hanya kepada Allah, tempat sebaik-baiknya menitip. Insya Allah.”—Ingin sekali berlari kepangkuan ibu dan ayahku seketika. Namun, keputusan sudah saya buat, dan saya harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah saya putuskan.  

Waktu demi waktu berlalu, dan kenyataan yang dilalui tidak semanis angan-angan. Saat pertama kali menjalani ujian S2, saya datang penuh percaya diri; sebagaimana yang biasanya saya dan teman-teman lakukan agar—yah, tidak kecewa pada akhirnya. Setidaknya, dengan rasa percaya diri di awal, kalau pun saya gagal, saya bisa berdalih ‘setidaknya sudah mencoba dengan maksimal’. Namun, seperti yang saya katakan, kenyataan tidak selalu semanis angan-angan. Meski sekuat apa pun saya berdalih, rasa kecewa itu ada. Saya gagal, sedangkan beberapa teman saya lulus ujian S2. Memang, saya tidak sendiri, beberapa teman saya pun belum mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S2, tapi tetap saja, rasa kecewa itu ada. Saya adukan perasaan ini pada Umi, beliau menenangkan saya. Saya curahkan isi hati saya pada-Nya, dan Dia menentramkan saya. Dengan ucapan bismillah, saya memulai untuk mencobanya lagi. 

Namun, yang namanya manusia adalah tempatnya sifat pelupa. 

Lalu, kegagalan kembali merenggut semua akal sehat saya. Emosi. Kecewa. Tidak percaya. Kesal. Marah. Takut. Sedih. Depresi. Frustasi. Segala macam amarah menguasai saya. Bagaimana tidak, semua teman-teman saya—yang katanya keluarga kecil saya, dengan perjuangan yang sama, semua lulus ujian S2 meski memakan waktu yang berbeda-beda. Hanya saya yang gagal. 

Hanya saya 

Ah

Kenyataan memang tidak selalu semanis angan-angan. 

Sehingga wajar, kalau kebanyakan orang lari dari kenyataan. 

Termasuk saya. 

Maka dari itu, dengan akal sehat yang hilang entah kemana, dengan perasaan emosi campur aduk melebur menjadi rasa depresi dan frustasi, saya lari dari kerumunan keluarga kecil saya yang tengah bersorak-riang karena kelulusan mereka. Saya kabur entah kemana—pikiran pendek saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Maka di sinilah saya, dengan segala macam perasaan kalut, saya menginjakkan kaki di airport. Sendirian. Tanpa barang apa-apa. Bohong kalau saya bilang saya baik-baik saja. Bohong kalau saya bilang saya tidak kecewa. Lalu, apa yang saya lakukan di sini? Tidak ada

Saya menghabiskan waktu berjam-jam di airport, menatap jadwal keberangkatan ke Indonesia tanpa berbuat apa-apa. Menatap huruf demi huruf yang menyusun nama tanah air saya, menatap jauh bagaimana Ibu saya bahagia melihat saya pulang ke rumahnya—benarkah, Ibu saya akan bahagia kalau-kalau saya melakukan itu? Ibu saya mungkin akan berhati besar menerima kegagalan saya, tapi tidakkah tetap ada rasa kecewa terbesit di hatinya, mendapati anaknya ini lari dari kenyataan? Saya tidak ingin Ibu saya kecewa, saya tidak ingin keluarga saya kecewa sama seperti saya saat ini—lalu harus bagaimana? Berjam-jam di airport tidak menghasilkan apa-apa. Saya bersyukur, kaki ini tidak membawa saya pulang. Setidaknya, tidak dalam keadaan seperti ini. 

Gundah gulana. 

Mungkin, saya kekanakkan, tapi mungkin memang demikian. Saya mengabaikan semua pertanyaan-pertanyaan dari kakak saya, mengapa saya jarang online di jejaring sosial—gtalk—mengapa saya sering melontarkan tweet kegalauan, post-post tumblr penuh keluhan. Bukannya saya mengabaikan, tapi mungkin inilah rasa takut untuk menghadapi kenyataan lagi, takut bagaimana reaksi keluarga saya ketika mereka tahu kalau saya gagal untuk kedua kalinya. Bahwa kenyataan tidak semanis angan-angan, dan saya masih lari dari kenyataan. 

Tapi di saat saya ingin lari dari kenyataan, si bocah itu justru menapaki kenyataan. 

Dengan kalimat yang sama, meski bermakna berbeda. 


————  

"Now, I just want to go far. Far where noone know me, not even me"  

————


Malika mengutip kata-kata saya di twitter, menjadikannya sebuah judul cerita fiksi—atau non fiksi ya?—di blog-nya. Cerita panjang yang membuat saya pusing membacanya. Singkatnya, saya mendapati bahwa di bulan yang sama, ada juga yang mendapati kenyataan yang pahit seperti saya. Berbeda urusan, tentu saja, namun saya sedikit menyadari, bahwa meski Malika ingin lari dari kenyataan, anak itu berada di posisinya, tetap tertawa-tawa meski hatinya was-was karena kawannya mungkin tengah menyapa malaikat Izrail, yang bisa saja akan menjemputnya dalam waktu dekat agar terbebas dari penyakit yang di deritanya. Bocah itu pun tetap tersenyum meski kawannya mendapati kenyataan pahit lainnya yang padahal mungkin saja Malika kalut mendapati kabar buruk berturut-turut di telinganya, dan hal-hal lainnya, yang saya kira pastilah tidak enak untuk dilalui. Namun faktanya, bocah itu lebih bijaksana menyikapi kenyataan pahit yang dia terima dibandingkan dengan saya, meski tentu saja, masih ada rintihan tolong yang dia lontarkan kepada orang-orang yang peduli padanya. 

Ah.  

Saya punya banyak orang yang peduli dengan saya, tapi saya justru tidak menerima pertolongan mereka. Entah karena terlalu angkuh untuk meminta, atau terlalu malu untuk mengakui. Saya merasa, mungkin lebih condong yang kedua—terlalu malu untuk mengakui. Hingga akhirnya, dengan berat hati, dengan rasa was-was dan tindakan yang penuh kehati-hatian, saya kabari keadaan saya pada kakak dan keluarga saya, kepada Ibu dan Ayah saya diiringi dengan ucapan maaf yang sebesar-besarnya, dan kepada Malika yang diiringi ucapan terima kasih karena tulisan konyolnya itu. Semua reaksi saya dapatkan benar-benar membuat saya tenang, membuat saya menerima kenyataan dan menerima kegagalan dengan lapang dada, saya ucapkan syukur, semua keluarga saya—di sini maupun di Indonesia, adalah keluarga yang terbaik yang saya punya. 

Dan saya berkata pada Malika, tulisannya akan menjadi pengingat betapa menyesalnya saya hari itu. Reaksinya? Banyak omong sekaligus berjanji akan membuat cerita tentang kejadian ini. Ya ya ya. Terserah padamulah. Tapi mungkin tidak ada salahnya menunggu cerita tentang semua kejadian ini turun dari tulisan Malika. Setidaknya, tambahan pengingat masa lalu. 

Tidak terlalu berharap sih. 

Yah, lihat saja nanti.   





Bayar utang cerita (meski udah lupa-lupa-inget)(dijambak)—teman-teman, cerita ini SUMPAH GUE BIKINNYA NGARANG MESKI INI FIKSI LOH YA *injek capslock* gue ga tau menahu soal cerita lengkapnya si Yudistira ini sebenernya, tapi apalah namanya, terlanjur janji, ya harus di bikin, dan jadinya gue harus meraba-raba bagaimana-kalau-gue-yang-di-posisi-yudistira-ini yang tentu saja, harus gue sesuaikan dengan karakteristik Yudistira. Eh gue ga bilang kalau gue benar-benar mengenal si Yudistira ini loh ya, kan tadi judulnya ‘meraba-raba’ #plak. Janjinya sih Agustus 2012, tapi baru dilunasin sekarang. Hahahaha setahun buset. *ketawa miris* Yuk mari, semoga Yudistira ini puas. :v 

Label: ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next