<body>
True Love. Maybe.
Selasa, 17 Juni 2014 @6/17/2014 12:51:00 PM



Kupejamkan mata perlahan, membiarkan kegelapan menyelimuti pandanganku untuk beberapa saat. Hati ini tak pernah tenang melihat apa yang menjadi pemandangan di depan. Sungguh, kupikir waktu sudah menggerogoti habis perasaanku, namun diluar dugaan, perasaanku masih begitu kuat. Wajar, sebenarnya. Bertahun-tahun perasaan itu tumbuh dengan subur. Di pupuk dengan rasa cinta yang menggelora, disiram dengan kasih sayang yang menenangkan. Bertahun-tahun pula, kutunggu perasaanku berbunga—dan ya, pada akhirnya memang demikian. Perasaanku sangat bahagia ketika cintaku pada akhirnya berbalas. 

Berbunga-bunga dengan banyaknya gejolak cinta yang tak terbendung lagi.

Tapi, bunga sakura adalah ciri bahwa di dunia ini tak ada yang abadi.

Sekaligus ciri bahwa sesuatu yang indah tak bertahan lama—


cintaku mekar dengan indah,
kemudian layu sekejap saja.


Ku tatap Reichi Shibasaki dengan tatapan sendu, memandangnya dengan hati yang masih tertoreh luka. Ah. Kamisama, Aku tak pernah ingin menjadi orang yang pemaksa, namun kenapa begitu sulit melepaskan orang yang kucinta? Sungguh, mengubur bunga yang layu dan menunggunya menjadi bibit yang baru tidaklah sebentar, dan tidak pula mudah. Lalu aku harus bagaimana?

"Kau bukan orang dengan kulit setebal badak, Miho-sama," aku menoleh ketika suara familiar Occhan terdengar di telingaku. Mataku seketika terbuka dan memandang lelaki Bara yang sedang sibuk melepas jaketnya. "pakai ini," lanjutnya sembari meletakkan jaket itu ke pundakku. Dia melakukannya tanpa persetujuanku. "Nanti kau sakit."

Aku sudah sakit. Bodoh.

Occhan terpaku. Biasanya aku pasti melontarkan berbagai celotehan padanya tiap kali dia bersikap seenaknya, atau berkata sesuka hatinya. Biasanya juga, aku pasti akan menolak mentah-mentah semua pemberiannya yang sedang tidak aku inginkan. Tapi kali ini, Occhan tidak mendapati hal seperti itu. Gadis yang berstatus majikannya ini malah diam membisu dengan mata sendu menatap lurus ke depan. Occhan menoleh, mengikuti arah pandanganku dan—"ah."

Aku tak bernafsu bertengkar atau mengerjainya hari ini. Jadi kubiarkan Occhan berbuat sesuka hatinya--dan ya, Narusawa muda itu ternyata masih sedikit pintar untuk mulai memikirkan dirinya sendiri ketimbang mengurusi orang lain--aku. Occhan berlalu begitu saja ketika dirinya mulai mengetahui alasanku bungkam. Dia memilih tak acuh. Kuakui, sedikit sedih mendapati lelaki itu kini cuek padaku. Entah dengan alasan apa, melihat sikap Occhan, aku merasa semakin kecewa. Kesepian. Dan sedih.

Lalu kubenamkan wajahku diantara kedua kakiku yang kutekuk hingga menghimpit dada, berharap rasa sakit dihatiku sedikit berkurang entah karena apa. Ah. Tidak, tidak. Aku tidak menangis—tak akan pernah menangis. Aku dikenal sebagai Mizuhara yang kuat, tegar, dan angkuh. Takkan kubiarkan kata rapuh menjadi image baruku.

"Hei. Kenapa sedih?"

Aku menoleh cepat dan terbelalak kaget melihat sebuah boneka berbentuk panda yang berukuran lumayan besar tahu-tahu berada di hadapanku. "Mukamu jelek kalau sedih. Nanti tidak ada bedanya denganku loh kalau kau bersedih terus. Matamu akan dilingkari lingkaran hitam sepertiku! Apalagi wajahmu sudah kurus begitu, pasti jelek!" suara Occhan terdengar riang, dan entah karena perkataannya, atau suaranya, atau karena bonekaku ini, bibirku seketika membentuk lelukan tipis. Sebuah senyuman. "Kau sendiri, tampak jelek dengan lingkaran hitam itu." aku berkomentar dengan suara pelan, masih dengan senyuman terukir di wajahku.

"Apa?! Mukaku yang lucu ini berbeda denganmu, tahu! Pipiku gembul menggemaskan dan buluku lembut menenangkan. Kau?! Sudah kurus, kucel lagi!!" si panda didekatkan padaku, menyusruk ke wajah tanpa ampun. Bulu-bulunya yang lembut langsung membuatku geli. "Heeei!!" kuajukan protes dan kusambar si boneka panda. Occhan yang berada di balik boneka tampak terkejut. Namun namanya juga Osamu Narusawa, seketika ekspresinya langsung berubah.

Aku tersenyum.

"Terima kasih sudah menghiburku, Occhan," ku peluk si boneka panda dan kujadikan dia sebagai tumpuan kepalaku agar lebih nyaman menoleh ke arah Occhan. Lelaki itu tersenyum tipis. "tapi tidak dengan ucapanmu yang menyebalkan itu, bego." tambahku buru-buru.

"Jangan terpaku dengan masa lalu," Occhan mendengus, tatapannya beralih ke samping. "aku tidak tega melihatnya." kuangkat alisku sebagai respon. "Jangan terlalu berharap pada pacar impian," lelaki itu kembali berucap, dan entah kenapa wajahnya yang teduh membuat jantungku berdegup kencang. "ada cinta yang nyata untukmu, Miho."

Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next