<body>
Nobody Knows - Chapter 12
Minggu, 10 Agustus 2014 @8/10/2014 05:01:00 PM



Disclaimer :

Timeline : di mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terlibat di sini. Murni pikiran gue. Dan gue rasa bakal bikin ber-chap-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.







- Chapter 12 -










"Jadi menurutmu, dia benar-benar berkata seperti itu? Serius?" Ko hanya menatap Kazusa dengan ekspresi datar-menyerempet-tolol. Kedua alis gadis itu perlahan saling bertautan, seolah sedang berpikir serius "Hei!!!" Kazusa yang kesal karena diabaikan kini mulai menaikkan sedikit nada suaraya. Bagaimana tidak kesal kalau lawan bicaramu tidak menjawab pertanyaannya? "Kau mendengarku tidak?" gadis Kiku itu tahu-tahu nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih.

"Aih, Kazunyan penasaran banget deh!" Ko cekikikan. "Nih, ya, Kalau kau tanya aku, biasanya Rei-kun itu kalau memang sudah berbicara, dia serius, kok!" Kazusa mendengus tak percaya. "Eeeh, dibilangin ngeyel. Ga di jawab ngambek—tapi benar, kok. Waktu Rei-kun berkata dia mau mengajariku bahasa engris waktu itu, dia benar-benar menepatinya, kok."

"Waktu dia bilang mau jadi pacarmu?"

Wajah Ko tampak memerah, dan entah kenapa Kazusa merasa Ko terlihat manis—setidaknya mulai terlihat seperti seorang perempuan normal. "Hmm serius, kok. Soalnya dia benar-benar datang ke rumahku saat liburan waktu itu—menagih jawabanku juga..." si Kiku tampak malu-malu "Ya pokoknya nih ya, Kazunyan, Rei-kun itu pasti serius dengan ucapannya, kok!" meski Ko berbicara dengan sangat yakin, Kazusa tetap tidak bisa mempercayainya. Lebih tepatnya, mempercayai si playboy cap kelinci bau itu. Bisa saja kan, Shibasaki hanya bercanda? Kazusa menunduk, menatap makan siangnya yang belum sekali pun ia sentuh padahal jam makan siang sudah berlalu nyaris setengah jam.

Sudah entah hari ke berapa Shibasaki pulang dari Ryokubita, dan Kazusa masih sibuk memikirkan ucapannya yang dilontarkannya sambil lalu. Kazusa benar-benar tidak berniat untuk berpikir se-serius itu, sebenarnya. Tapi pikiran dan hatinya sering kali tidak sinkron. "Kau ragu kenapa, sih?" Ko berkata pelan, membuyarkan lamunan Kazusa seketika.

"Ya—bagaimana tidak ragu. Kau tahu sendiri, kan. Shibasaki itu playboy cap kelinci, tengik, bau, dan sudah banyak korban yang dia jerat! Tidak tahu diri. Tidak tahu malu. Bagaimana bisa aku percaya?" gadis Bara itu berbicara mencak-mencak, dan Ko yang duduk di hadapannya hanya bisa mengangguk-ngangguk polos. Hei—sebentar, rasa-rasanya ada yang aneh dengan Ko? Kenapa belakangan ini dia tampak lebih tenang? "Ko? Lagi enggak demam, kan? Tumben sekali hari ini tampak normal?"

"Masa sih?" si Kiku hanya tertawa pelan sambil menyentuh kedua pipinya dengan kedua telapak tangan masing-masing. "Tapi ya, Kazunyan, menurut pendapatku nih, sekali lagi, Rei-kun itu orang yang serius kok—ucapannya loh ya, dan menurutku sih tidak ada yang aneh dengan itu." Sebenarnya Kazusa bisa saja mempercayai ucapan Ko, tapi kalau berdasarkan fakta yang berbicara, Kazusa enggan mengakui ucapan Ryokuemon muda itu. Ih. Dilema yang aneh.

"Sebenarnya, aku mempercayai ucapanmu, Ko..." kata Kazusa dengan suara pelan. Tangannya bergerak mengambil sumpit dan menusuk-nusuk makanannya dengan gusar. "Shibasaki juga sering kali berkata—dan memastikan—bahwa dia tidak akan membuatku di detensi hanya karena menemaninya," Kazusa menghela nafas lesu. "Tapi kemarin aku bisa di detensi juga sebenarnya tidak benar-benar seratus persen salah Shibasaki—aku sendirilah yang mengikutinya, dan karena kebodohanku sendiri." Ko tersenyum menatap Kazusa. "Duh, aku sebenarnya tidak mau mengakui ini..."

"Yah, tapi kan—"

"Jadi, kau benar-benar menantangnya Shiki? Dan kau tidak merasa bersalah sama sekali?"

Kazusa dan Ko serentak menegakkan tubuhnya dan menoleh ketika telinganya mendengar nama yang sangat familiar. Nama Shiki Aoyama disebut-sebut tak jauh dari tempat mereka duduk. Meski pun sebenarnya Kazusa tidak terlalu dekat dengan Aoyama-chan dan tidak memiliki urusan yang penting dengan gadis itu, namun karena beberapa waktu yang lalu Kazusa pernah berurusan dengan Shibasaki karena Aoyama-chan, maka secara tidak langsung Kazusa menjadi kenal Aoyama-chan, dan jujur saja, sedikit penasaran dengan apa yang waktu itu Shibasaki (dan Aoyama) lakukan. Dan kini, rasa penasaran kembali menggelitik rasa ingin tahu Kazusa sekali lagi.

"Jangan bilang semua detensi itu, karena ulahmu secara gak langsung?"

Aoyama terkikik pelan. "Jangan ngaco, ah. Aku kan tidak berpikir sampai sejahat itu." Kazusa mengerenyit mendengar ucapan adik kelasnya itu. "Aku hanya sedang menguji sejauh mana ia serius—dan sebesar apa ambisinya, Kinoshita-chan," Aoyama tertawa pelan. "Lagi pula, aku tidak menyangka loh, kalau Doraemon-senpai benar-benar menganggap kalau dongeng itu ada! Sampai-sampai dia serius sekali mencarinya!!"

"Doraemon-senpai... Shibasaki?" Kazusa berbisik pelan.

"Kau sendiri, percaya dongeng, Shiki?"

Kazusa mendengus kesal, digebraknya meja kantin dan berlalu pergi keluar. Gadis bermarga Aoyama itu tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya, menjawab tanpa suara bahwa ia sama sekali tidak mempercayai dongeng.


—oOo—
 

Satu bulan.

Sangat di luar dugaan orangtuanya menghukum Rei selama itu. Tidak ada satu pun keluhan Rei yang di dengar oleh Okaa-san mau pun Otou-san. Mereka beranggapan bahwa dengan kembalinya Rei ke sekolah dalam waktu dekat, maka dalam waktu yang dekat pula anak tunggal keluarga Shibasaki pasti akan menambah deretan catatan merah di raportnya. Namun, meski kesal, setidaknya Rei masih sangat berterima kasih pada Nakashima-kouchou karena masih mengizinkan Rei untuk ikut ujian dirumahya. Entah karena orang tua Rei yang memohon, atau memang karena kebaikan hati sang kepala sekolah.

Rei, yang sepanjang hari menghabiskan waktu di rumah, bermalas-malasan, dan lebih sering berada di tempat tidur. Kali ini Rei bahkan melakukan rutinitas yang sama, yang membedakan dari hari ke hari adalah judul buku yang tengah ia baca. "Ichi," ketika namanya dipanggil, Shibaki muda ini refleks duduk tegak dan meletakkan bukunya—kepalanya menoleh dan mendapati Ibunya tengah berdiri di depan pintu kamar, tersenyum lembut. "Boleh ibu masuk?" Rei mengangguk dan wanita itu dengan anggun duduk di samping Rei. "Sedang sibuk?" anak semata wayangnya itu menggeleng pelan. "Ibu tidak mengganggu, kan?"

"Tidak..."

Rei diam.

"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil..." Rei menengadahkan kepalanya, menatap Ibunya sambil tersenyum tipis. "Tumben, masuk kamarku?"

"Sering kok, ibu keluar-masuk kamarmu..."

"Ya, tapi tidak selama satu bulan ini."

Wanita itu tertawa. "Aku tidak pernah menyangka kalau kamu bisa melanggar peraturan sekolah sebanyak itu, Ichi..." mau tidak mau, Rei jadi ikut tertawa, pelan. "Ternyata, kamu memang masih anakku yang bandel, yang menyebalkan, yang sok, yang ngotot..."

"Bu..."

"Semalam, aku dan ayahmu sudah berbicara tentang sekolahmu," Rei menegakkan tubuhnya, menatap wajah ibunya yang kini sama-sama memandangnya juga. Wanita itu hanya tersenyum sembari mengusap pipi anak lelakinya itu dengan sayang. "Besok, kau boleh kembali ke sekolah, persiapkan segala keperluanmu, dan kami akan mengantarmu sampai stasiun nanti." Rei membuka matanya lebar-lebar, tersenyum kikuk, tak percaya akan apa yang ia dengar barusan. "Berterima kasihlah pada Kouchou saat di sekolah." Jeda sebentar. "Tapi kau harus ingat, Rei. Apa pun yang kamu lakukan, entah apa itu, kalau sekali lagi kamu melanggar peraturan, maka keputusan final untuk perbuatanmu adalah drop out."

Label: , , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next