<body>
Beggining
Rabu, 25 Maret 2015 @3/25/2015 03:24:00 PM



Sampai sekarang, aku enggak pernah ngerti apa kegunaan dari sederet acara bertemakan Masa Orientasi Siswa atau ospek. Berbeda dengan masa sekolah dulu, saat perkenalan sekolah baru seperti ini, biasanya murid-murid baru akan diberikan berbagai macam atribut yang membuatmu menyerupai badut dalam hitungan menit. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Contohnya? Rambutmu harus rela dihiasi berbagai pita warna-warni dan setiap hari ikatan rambutmu pasti bertambah. Bajumu akan ditambahi aksesoris yang aneh-aneh mulai dari karung beras sebagai pengganti tas, serta sebuah papan besar bertuliskan namamu yang dikalungkan ke leher dengan pita warna-warni pula. Lalu kaus kaki sepak bola berbeda warna pun tak luput dari kakimu—dengan tambahan tali sepatu yang akan diganti dengan pita berbeda warna. Setidaknya, selama tiga hari kamu akan ditertawakan orang-orang sekitarmu bahkan tak jarang akan ada yang iseng memanggil namamu karena papan nama sialan.

Itu saat sekolah dulu. Bedanya apa dengan kuliah?

Kalau dari segi penampilan, setidaknya kini aku tampak jauh lebih ‘normal’ dibandingkan saat aku baru masuk SMA. Enggak ada atribut aneh, malah sebaliknya, aku merasa lebih bangga karena baju almamater kampusku terus aku pakai—yah sebenarnya karena wajib juga, sih—meski beberapa ‘benda-aneh-wajib-di-bawa’ tetap ada. Dan seperti yang sudah aku bilang diawal, sampai sekarang aku enggak pernah ngerti apa kegunaan dari acara seperti ini.

Sejak SMP lalu SMA, acara seperti ini layaknya acara ajang kemampuan. Maksudku, kemampuan para senior—sejauh apa mereka bisa tegas (atau kalau aku katakan sih, galak) pada junior mereka, sejauh apa mereka bisa berlagak sok berkuasa, dan bisa jadi menjadikan acara itu sebagai ajang cari jodoh. Selain itu, bukankah acara ini sia-sia? Memang ada hubungannya apa dengan perkuliahan nanti? Apakah berpengaruh besar? Huh. Kalau saja kegiatan ini tidak wajib bagi mahasiswa baru, mungkin sekarang aku sedang berleha-leha di dalam rumah.

Tahan Sena, sebentar lagi semua ini selesai.

Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Kenapa? karena sebentar lagi semua acara enggak jelas ini akan selesai. Yap, ini adalah hari terakhir ospek—tapi tahu kah kamu kalau ternyata aku justru mendapatkan kesialan dihari terakhir? Notes putih yang menjadi teman baikku selama ospek berlangsung alias benda wajib yang hampir setiap hari aku bawa-bawa seperti dua sejoli, kini terpisahkan.

Tsk, pastilah semua ini karena si tolol Reja. Kakak kembarku yang rese itu semalam mengubrak-abrik isi tasku untuk meminjam powerbank dan—berani taruhan, dia pasti memasukkan barangku kembali dengan asal.

“Kenapa, Na?” Rena, teman satu kelompokku berbisik ketika melihatku sibuk (sekaligus panik) membongkar isi tas.

“Duh, buku gue ga ke bawa!”

“Kok bisa?!”

“Kayaknya si Reja enggak masukin semua barang-barang gue Ren,”  jawabku. Rena tidak menanggapi lagi, tapi sesekali dia menyikutku pelan. “Apa sih Ren? Sebentar gue masih mau nyari nih,” gerutuku tidak membuat Rena berhenti menyikutku. Dan sebut saja kalau hari ini benar-benar hari sialku—karena begitu aku menengadahkan kepala, wajah kak Andra tepat dihadapanku. Aku menganga.

“Nyari apa kamu?” tanya kak Andra.

“E-eh, saya mencari notes saya, kak…”

“Kamu ga bawa notes?” Aku menggeleng panik. “Kamu tahu artinya apa?” aku menunduk, lalu menggangguk pelan. “Siapa nama kamu?”

“Sena, kak.”

Dan tanpa disuruh, aku sudah mengerti ketika kak Andra yang sedari tadi jongkok dihadapanku kini berdiri, menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor, lalu berlalu menjauhi kelompokku. Aku menghela nafas pasrah. Yah, sekali pun sudah berhati-hati dari setiap kemungkinan mendapatkan hukuman, tetap saja ada celahnya. Aku berdiri, melambaikan tangan dengan lesu ke arah Rena dan berjalan pelan menyusul kak Andra.

Seperti yang sudah digossipkan, kalau ada maba—mahasiswa baru, disingkat maba—yang mendapatkan hukuman, biasanya akan langsung dibawa ke ruang panitia. Dan tahukah kamu, kalau itu bisa diibaratkan kamu terjerumus ke dalam kandang harimau. Kenapa? Ya karena semua senior berkumpul di situ.

Matilah aku.

Setiap aku melangkah, aku merutuki Reja karena perbuatannya ini. Mulutku tak henti-hentinya bergumam, mengumpat sepelan mungkin agar kak Andra tidak mendengarnya. Senior di hadapanku ini sebenarnya baik, tetapi yang namanya senior tetaplah senior apalagi di acara kayak begini.

Menurutku, kak Andra satu-satunya senior yang bisa bersikap bijaksana. Dia selalu bertanya alasan dari setiap kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh maba. Sungguh berbeda dengan senior-senior lainnya yang langsung menyemprotmu dengan berbagai nasihat mengatasnamakan ‘mahasiswa’ atau ‘sudah dewasa’ atau ‘kalian bukan anak SMA lagi, kenapa kesalahan kayak gitu masih aja dilakuin, sih?’ dan lain-lain.

“Hukumanmu adalah membersihkan ruangan panitia. Cukup dirapikan saja, sapu-sapu dikit juga boleh, asal jangan ada yang hilang.”

“Hah?” aku mendongkak kaget begitu mendengar kak Andra berbicara. Barusan aku sedang melamun (dan sibuk mengutuk Reja dalam hati) sehingga aku tidak sadar kalau aku sudah berada di ruang panitia. “Ma-maaf kak,” ucapku buru-buru. Kulirik ruangan di balik punggung kak Andra dan menahan nafas beberapa detik. Apakah yang namanya mahasiswa itu selalu identik dengan kata jorok?
Aku sering mendengar tetanggaku—kak Ali—bercerita kalau mahasiswa adalah makhluk Tuhan paling jorok yang pernah ada. Mulai dari jarang mandi berminggu-minggu, rambut gimbal tak terurus (bahkan katanya, kau bisa menyembunyikan contekan untuk ujian tanpa ketahuan pengawas!), bau, dekil, dan sebagainya. Kupikir, saat itu kak Ali hanya bercanda dan melebih-lebihkan. Tapi kini aku benar-benar membuktikannya sendiri.

Melihat ekspresiku, kak Andra tertawa pelan. “Semangat, ya!” katanya sembari menepuk pundakku sebagai isyarat bahwa hukumanku sudah dimulai. Aku melangkah gontai memasuki ruangan, menjalankan hukumanku dengan malas-malasan, tetap dengan mulut terus bergumam tanpa suara—mengutuk Reja si biang keladi.

Sambil membereskan ruangan yang sudah seperti kapal pecah ini, kepalaku dipenuhi ide-ide cerdas untuk membalas perbuatan Reja. Yah, bukan maksudku mau menyalahkan Reja, tapi memang kalau bukan karena dia yang sudah mengubrak-abrik isi tasku dan tidak bertanggung jawab dengan cara membereskannya, hukuman ini tidak akan pernah terjadi. Hanya karena sebuah buku, aku harus mengurusi sejuta barang tak jelas punya siapa.

“Eh?! Siapa lo?!” aku terkejut dengan suara bentakan dari arah pintu. Begitu berbalik, segerombolan orang-orang berbaju almamater dengan muka galak tahu-tahu masuk dan laki-laki yang paling depan pastilah orang yang membentakku. Hah! Terlalu sibuk mengumpat dan sibuk membereskan barang-barang, aku tidak sadar kapan mereka masuk dan tahu-tahu saja ruangan panitia jadi penuh sesak begini.

“Saya sedang menjalankan hukuman dari kak Andra, kak,” jawabku takut-takut.

“Si Andra nyuruh lo ngapain?”

“Membersihkan ruangan panitia, kak.”

Laki-laki yang barusan membentakku sepertinya tidak percaya, tapi dia tidak berkata apa-apa. “Ya udah, lanjutin sana,” katanya sambil lalu. Aku mengangguk dan buru-buru melanjutkan hukumanku lagi. Tapi aku sempat melihat ditengah-tengah gerombolan panitia itu, ada satu anak laki-laki berpakaian anak SMA—pastilah dia juga maba sepertiku, namun tidak dengan atribut norak.

Jangan Sena, itu bukan urusanmu.

Tapi, ada satu hal yang menggelitik pikiranku—kenapa para senior itu cuek padaku, ya? Sepenglihatanku, kalau ada yang di hukum, sekali pun sudah mendapat hukuman dari senior, pasti senior yang lain ikut-ikutan memberi hukuman tambahan. Ya mungkin mereka saja yang emang lagi apes dan aku sedang beruntung. “Jadi menurut lo, ini enggak penting?!” Oke. Sepertinya aku sudah mendapatkan jawabannya kenapa mereka tidak terlalu peduli padaku.

Anak laki-laki itu jauh lebih bermasalah.

Sena, jangan ikut campur.

Aku tidak ikut campur!

Tapi kau menguping!

Tidak! Suara mereka saja yang terlalu keras!

Selesaikan saja hukumanmu dan cepat pergi dari sini!

Baiklah! Baiklah!

Tapi mungkin memang hari ini sang dewi keberuntungan benar-benar sedang tidak berpihak padaku. Begitu aku menyelesaikan tugasku dan hendak berbalik untuk keluar dari ruangan ini, aku tersandung. Bunyi nyaring gedubrak membuat empat kepala senior dan satu kepala maba sukses menoleh ke arahku, diiringi derai tawa memenuhi satu ruangan. Ampun deh, ini bukan sekedar sudah jatuh ketiban tangga, tapi ketiban godzila!!

“Makanya! Jalan tuh, pake mata!” kata salah satu senior perempuan dengan nada super rese. “Woi! Gimana sih jadi senior, tunjukin dong kalau lo tuh pinter! Jalan tuh pake kaki, bukan pake mata!” seorang senior lain menyahut ucapan senior perempuan itu. Entah kenapa, aku merasa posisiku sekarang miris sekali, antara ingin tertawa tapi juga sedang super malu karena jatuh—mungkin akan lebih baik kalau aku buru-buru pergi dari sini.

Tapi ketika hendak berdiri, aku melihat tangan besar terulur dihadapanku.

Aku menganga lebar, menatap tak percaya.

“Kamu enggak apa-apa?”

Maba laki-laki itu sempat-sempatnya menolongku.

Gila.

Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next