<body>
Nobody Knows - Chapter 13
Rabu, 18 Maret 2015 @3/18/2015 05:25:00 PM



Disclaimer :

Timeline : dememinta mulai dari musim Semi , awal tahun ajaran 2006/2007
A/N : semua FF ini tidak sepenuhnya ada sangkut paut dengan plot asli semua chara yang terdarit di sini. Murni psa bakal b-chap karena ini kan di luar plot, jadi beneran harus jelas konflik-dan-segala-macemnya. Well, kritik dan sarannya diterima.

Anw, gue beneran menulis FF ini loh alias ga gue ketik sebelumnya. hahahahah.






- Chapter 13 -









Satu bulan.

Sudah satu bulan lamanya sejak si playboy cap kelinci itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya di tengah keramaian sekolah. Dan kau tahu? Itu berarti, sudah satu bulan lamanya pula sejak kasus dentensi tengah malam waktu itu.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, sampai sekarang Kazusa masih merasa tidak enak hati karena telah membuat kesalahan dan (menjadi) penyebab Shibasaki (juga dirinya sendiri) mendapatkan hukuman, apalagi hukuman si Kiku terhitung parah (yah meski memang dia juga yang bandel) yakni skorsing. Akan tetapi, meski pun demikian, sedikit hati Kazusa juga masih merasa kesal—hello? Seorang Araide dapat catatan merah? Hebat.

"Kenapa kau tidak minta maaf, sih?" Tanya Tetsu-senpai suatu hari saat Kazusa mencurahkan apa yang ada dipikirannya. Mendengar pertanyaan itu, jelas gadis Bara ini langsung memasang ekspresi tidak suka bercampur jijik. Hei, pada awalnya Kazusa curhat ke Tetsu-senpai ini karena ia pikir, seniornya ini cukup bijaksana memandang siapa yang salah (Shibasaki, tentu saja karena dia yang melanggar peraturan) dan bisa memberi dukungan pada Kazusa. Tapi ternyata, jawaban yang ia dapatkan malah begitu.

"Kenapa aku yang minta maaf??!!"

"Bukan begitu, maksudku kenapa kau tidak berinisiatif duluan untuk meminta maaf?" Sakura muda dihadapannya ini tampak lelah begitu Kazusa semakin memasang wajah tidak suka. "Meminta maaf lebih dulu meski bukan kita yang salah, bukan berarti kita mengaku kalah, Kazunyan, melainkan kita bisa mengambil keputusan untuk mengajak semuanya memulai kembali dari awal. Kurasa, itu sikap yang sangat bijaksana."

Kazusa tidak berkomentar meski dia masih tetap teguh memasang ekspresi penolakannya. Tentu, gadis Bara itu enggan untuk meminta maaf lebih dulu, bukan tidak mau bersikap bijaksana, tapi rasanya kalau Kazusa meminta maaf lebih dulu berarti Kazusa benar-benar mengakui bahwa semuanya salah dia.

Melihat reaksi kouhai-nya ini, Tetsu-senpai mengeluarkan ponsel sekaligus kertas dan pena dari tasnya—menuliskan sebuah alamat email dan menyerahkannya pada Kazusa yang kini terlihat bodoh dengan ekspresi bingungnya.

"Simpan, barang kali berubah pikiran."

Dan begitulah—selama kurang lebih satu bulan lamanya, Kazusa hanya bisa menatap kertas bertuliskan alamat email Shibasaki yang tergeletak dengan bentuk lusuh penuh bekas lipatan di atas meja kantin. Hampir tiap kali, Kazusa hanya bisa melipat, lalu membukanya lagi, lalu melipatnya lagi, bahkan sesekali ia meremas-remasnya dan membuang kesembarang arah meski tak lama kemudian ia pungut lagi. Begitulah seterusnya. Pikiran Kazusa melayang-layang, mencari-cari segala kemungkinan yang terjadi kalau-kalau pada akhirnya Kazusa berbuat sesuatu.

"Boleh aku dduk di sini?" sebuah suara mengejutkan Kazusa—ia langsung menengadahkan kepalanya, menatap wajah angkuh adik kelas seasramanya: Miho Mizuhara. "Muka bego-mu itu aku anggap sebagai izin," lanjutnya sambil menarik kursi dan duduk manis di depan Kazusa. Kazusa sendiri hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali, barulah setelahnya ia mengangguk. "Kau kenapa sih?" Miho kembali bebicara. "Dari tadi kuperhatikan, kayak orang linglung tau ga?"

Kazusa tertawa, lalu tak terjadi percakapan apa-apa.

"Hmm—Miho-chan, kau punya seseorang yang membuatmu tertarik, tidak?" tanya Kazusa pada akhirnya. Miho, yang mendapat pertanyaan demikian seketika langsung menghentikan gerakannya; meletakkan sumpitnya dan menatap Kazusa dengan tatapan penuh selidik. Yah, bagaimana tidak, sesama anggota Hikari Journal, mendapatkan pertayaan seperti itu patut diwaspadai. Bisa saja, karena kau terlalu polos untuk menjawab pertanyaan itu, tahu-tahu keesokan harinya namamu muncul di rubik gossip bulan depan. "Eh—bukan begitu... maksudku hanya bertanya... semacam... curhat."

"Kenapa?"

"Yah... Yah, misalnya... kau punya seseorang yang membuatmu tertarik, lalu sudah sangat lama sekali, kau tidak menghubunginya—karena selain kau tidak tahu harus menghubungi kemana, kau juga pasti malu kan?—nah lalu beberapa bulan yang lalu, kau punya alamat emailnya, apakah... apakah kau akan menghubunginya lebih dulu?"

Miho memandang Kazusa agak lama sebelum ia menjawab pertanyaan senior Bara-nya itu—yang jujur saja, membuat Kazusa sendiri agak kikuk karena ekspresi Miho yang bossy dan angkuh terkesan (benar-benar) mengintimidasinya. "Ya," jawab Miho. "Memangnya salah kalau aku yang menghubunginya langsung? Maksudku, memangnya kenapa sih kalau perempuan sesekali berbuat agresif? Lagi pula, kan judulnya aku tertarik, atau marilah kita perjelas bahwa aku—atau kau—suka pada orang itu,"—Kazusa tersedak ocha—"memangnya kau pikir, kita ini perempuan macam dongeng-dongeng yang didatangi pangeran? Enggak loh, hello."

"Kau... tidak gengsi...?"

"Gengsi sih ada, tapi aku bisa bilang, pasti rasa gengsi kalah dengan rasa kangenku." Kazusa terpana—bukan karena jawaban Miho yang blak-blakan, melainkan sikap dan pendapat Miho yang menurut Kazusa, termasuk hebat untuk ukuran perempuan. Yah, meski sebenarnya tidak ada secuil pun rasa kangen dari hati Kazusa untuk Shibasaki. "Kalau aku jadi kau, aku pasti akan menghubunginya lebih dulu. Sekedar menuliskan pesan 'apa kabar' juga sudah cukup, terserah mau di jawab atau tidak, seenggaknya kan, kita sudah perhatian." lanjut Miho kalem.

"Perhatian—enggak juga sih..." Miho mengangkat kedua alisnya begitu mendengar ucapan Kazusa. Namun tak lama, dia memilih untuk tidak mau tahu dan melanjutkan makan siangnya. Kazusa sendiri kembali sibuk menatap kertas lusuh yang kembali ia lipat di atas meja, dan menatap ponselnya bergantian. "Tapi yah, sepi juga sih rasanya..."

"Call him, then."

"..."

Kazusa mengangguk pelan saat Miho memutuskan untuk meninggalkannya setelah keheningan terjadi selama beberapa saat. Bahkan, setelah beberapa orang lainnya pergi dan hanya tinggal segelintir orang yang masih duduk di kantin, Kazusa masih tetap diam di tempatnya, dengan ponsel dan kertas tergeletak di atas meja. Haruskah ia menghubunginya? Haruskah ia yang meminta maaf? Kazusa menggeleng cepat meski kemudian dia mengangguk sambil bergumam pelan—memberikan semangat serta keyakinan pada dirinya sendiri.

Lalu, dengan gerakan pelan, gadis Bara itu mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat—teramat singkat—pada Shibasaki, memberanikan diri meski hati dan pikirannya masih beradu. Lucunya, tidak sampai semenit pesan itu dikirim, sebuah ringtone singkat mengalun merdu dibelakangnya, menarik perhatian si gadis dan membuat Kazusa Araide melongo.

Reichi Shibasaki tepat dibelakangnya.


—oOo—


"Kapan masuk?" Rei membaca pesan singkat di ponselnya sambil tersenyum tipis; menatap Araide yang gelagapan dengan wajah merah seperti gunung berapi yang hendak meletus. "Kau sama sekali tidak romantis, ah. Ngirim pesan kok pas orangnya udah masuk?" lanjutnya geli.

"Heh! Jadi orang seharusnya tuh bersyukur masih ada orang yang perhatian meski cuma secuil!!" amuk Araide. "Lagian, mana aku tahu kalau hari ini kau sudah ada di sekolah?!"

"Sudah dari kemarin, sih sebenarnya—" Araide melotot, dan Rei terkekeh, "—ya lagi, coba kalau dari kemarin kek, kirim pesan, aku kan, bisa memberimu kabar or something." Mendengar ucapan Rei, gadis Bara itu semakin terlihat kesal dan tak jarang, mulutnya bergerak-gerak mengumpat tanpa suara. Rei sendiri hanya bisa tersenyum, antara geli tapi juga senang. Mungkin sudah lama juga tidak menggoda Araide seperti sebelum-sebelumnya, jadi ada rasa kangen tersendiri.

"Sebulan kemarin, kau ngapain aja?"

"Aku?" Rei mengernyit mendengar pertanyaan Araide, lalu memiringkan kepalanya sedikit ke kanan sambil menatap ke sekeliling kantin seolah-olah ada jawaban di tiap sudut ruangan. "Ngapain ya—nyuci piring, nyuci baju, bersih-bersih rumah, yah Ibuku memanfaatkan kehadiranku di rumah dengan sangat sempurna, sih, bisa kau bayangkan kok."

Araide mendengus pelan. "Cocok banget," ejeknya pelan.

Si Kiku tersenyum tipis. "Kau kangen ya?"

Gadis di hadapannya untuk sepersekian detik melongo, lalu menjawab dengan menunjukkan ekspresi jijik.

Rei cengar-cengir.

"Aku sih, kangen banget."

Araide memutar bola matanya—yang sebenarnya Rei tahu, gadis itu menutupi rasa malunya. Ya ampun, sebulan tidak bertemu, tidak mengobrol, apalagi berantem, kenapa banyak yang berubah, sih? Sejak kapan, Araide jadi malu-malu kucing begini? Yah, Rei tahu sih, sebenarnya teman seangkatannya ini anak perempuan yang manis meski galak dan sok, apalagi sangat asrama sentris. Tapi sangat jarang loh melihat Araide bersikap seperti ini.

Wow. Tidak bertemu sebulan, rasanya banyak yang berubah, ya?

"Apa kabar, Kazusa?"


—oOo—




Label: , , , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next