<body>
Nobody Knows - Chapter 14
Minggu, 31 Januari 2016 @1/31/2016 03:04:00 AM




- Chapter 14 -









“Halo? Bumi berbicara pada Kazusa?”

“A-apa?” Tanya Araide gugup. Rei terseyum tipis; menggelengkan kepalanya perlahan. “Apa? Barusan nanya apaan?” si Bara itu kembali bertanya, kali ini ngotot.

“Ya ampun Kazusa, selama aku tinggal, telingamu bermasalah ya?” Rei terkikik pelan, memandang Araide yang kini tampak malu-malu—atau lebih tepatnya, menahan malu. “Tadi aku bertanya, bagaimana kabarmu?”

“Oh—sok perhatian banget sih, aku baik-baik saja!” Gadis itu mendengus. “Baru juga sebulan, sok-sokan banget nanya kabar! Kalau enggak ketemu setahun tuh baru nanya!”

“Loh? Tadi ada yang kirim email, terus tanya kabar, siapa ya? Padahal baru sebulan?”

Pemuda berambut hitam itu tertawa renyah melihat Araide seketika berubah menjadi udang matang karena wajahnya memerah seketika—semerah logo Bara yang tersemat di dadanya. Rei, yang perlahan menghentikan tawanya, diam-diam memperhatikan Araide—gadis itu, masih dengan pipi merona merah, masih dengan hidungnya yang mungil, masih dengan kulitnya yang putih, entah mengapa tampak lebih manis dari biasanya. Hah. Sebulan tidak bertemu ternyata masih menyisipkan sedikit perbedaan.

Meskipun demikian, Araide masih terlihat kurus (setidaknya menurut takaran tubuh idealnya Reichi Shibasaki) dan… yah, masih agak payah untuk urusan penampilan. Tapi tampaknya, lagi-lagi, Rei melihat ada yang berbeda—dan dia mengakui, setidaknya perubahan kecil ini berhasil menarik perhatiannya. “Sejak kapan….” Rei tertegun sebentar, lalu berdeham kikuk.”Sejak kapan, pakai lip-gloss?”

Araide yang terkejut mendengar pertanyaan Rei, langsung membuang muka. “Apaan sih? Suka-suka aku dong kapan aku pakai lip-gloss, kapan aku pakai lipstick, kapan aku pakai make up!” mendengar jawaban si Bara, Reichi langsung memasang muka cemberut.

Oh, bagian ini tidak berubah.

“Aku kan, cuma nanya,” —jeda— “lagian, cocok, kok.”

“Masa?”

“Yah—setidaknya jadi terlihat seperti perempuan.” Tangan mungil Araide secara refleks bergerak menonjok bahu Rei dengan kencang dan sukses membuat si Kiku mengaduh keras. Ini juga tidak berubah. “Ya ampun Kazusa! Dandanan udah manis begitu tapi sikap masih brutal!! Kutarik omonganku!”

“Tsk! Dasar laki-laki buaya! Kalau kau tidak bisa menghargai perempuan, gimana bisa deketin Aoyama-chan!!” ucap si Bara emosi. Mendengar perkataan spontan Araide, seketika Rei membeku—memandang gadis berambut hitam dihadapannya dengan ekspresi yang… entahlah. Putus asa?

Araide seolah sadar dengan ucapannya hanya bisa terdiam.

Lalu bertanya.

“Kau... suka dengannya, kan?”


—oOo—  


“Lupakan—tadi aku asal ngomong aja, kok.”

Shibasaki yang masih terpaku seperti patung itu tidak berkomentar apa-apa. Hanya memandang Kazusa dengan tatapan sendu yang… tidak pernah Kazusa lihat sebelumnya. Wow, seorang Kiku juga bisa terlihat menyedihkan seperti ini, ya? Kazusa pikir, hidup mereka akan terus diliputi kebahagiaan selamanya—karena bukankah setiap hari yang selalu berbuat ulah dan tertawa terbahak-bahak adalah mereka-mereka yang berada di bawah naungan asrama kuning?

“Hei, Shiba—“

“Ya,” si Kiku bersuara pelan; nyaris lirih. “Ya—aku menyukainya, Araide.”

Kazusa tertegun.

“Sudah… sejak kapan?”

Shibasaki menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit sebentar, lalu kembali menatap Kazusa. Senyum pahit terukir di wajahnya yang pucat—sungguh, baru kali ini, Kazusa melihat Shibasaki seperti ini, atau bisa dibilang—lagi-lagi—seorang Kiku seperti ini. “Sejak… tahun ketiga?” Shibasaki mengernyit, “Eh, atau sejak kapan, ya?”

Tahun ketiga berarti… sudah sejak Aoyama-chan pertama kali masuk, ya? Apa yang membuat Shibasaki menyukai Aoyama-chan? Padahal—oke, mungkin ini berlebihan dan kurang ajar, tapi menurut Kazusa, kouhai-nya itu tidak seberapa dibandingkan dengan Rei-chan yang keibuan, yang perhatian, dan menurut Kazusa, Rei-chan sangat manis. Lalu kalau dibandingkan dengan Yukiko Ryokuemon yang super-ceria-sampai-minta-di-kurung itu, Aoyama-chan juga sama sekali tidak menarik. Dia kaku, tidak ceria—ya dia cantik dan mungil, sih—tapi masa dinilai cuma dari tampang? Hello? Kalau hanya dari wajah, Aoyama-chan kalah. Bahkan dengan dirinya pun, kouhai-nya itu tidak ada apa-apanya.



Apa barusan?

Dengan dirinya?

“Araide?”

“Hm?” Kazusa terkejut, lamunannya seketika buyar begitu marganya dipanggil lagi. Ekspresi Shibasaki kini kembali normal, atau setidaknya kembali menunjukkan ekspresi yang biasa Kazusa lihat. “Terus—kenapa kau malah pacaran yang orang lain? Yah, kasarnya sih, kenapa tidak berjuang saja dari awal? Dari dulu?” tanya Kazusa. “Eh. Bukannya aku—“

Kazusa terdiam.

Dia aneh.

Aneh.

Sangat aneh.

“Dulu, aku pernah jawab, kan?”

“Hah?”

“Aku tidak menolak siapa pun yang datang.”

“Dan kau tidak mengejar siapa pun yang pergi—yeah, aku ingat itu, tapi saat ini kau mengejar Aoyama-chan seperti orang kesetanan, Shibasaki! Sampai rela didetensi segala, ya ampun kok jadi laki bego amat.” Shibasaki tertawa kecil. Dan ucapan pemuda itu membuat Kazusa mendadak seperti dihantam bola baseball tepat di kepala.

“Karena Aoyama tidak pergi, Araide.”

Si Bara menunduk, matanya terasa panas—

“Karena itulah aku mengejarnya.”

pilu.


—oOo—  

Label: , , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next