“Aku yakin sejuta persen, kau jatuh cinta.”
Kazusa tidak sedang bersemangat menanggapi ocehan tidak masuk akal Yukiko Ryokuemon saat ini, makanya jangan heran kalau gadis Bara berambut hitam legam itu memilih membiarkan si Kiku mencerocos sebagaimana mestinya. Akan tetapi, meski dalam porsi sedikit, ucapan Ko tetap berhasil masuk ke dalam telinganya dan mempengaruhi pikiran sekaligus hati Kazusa—sukses membuat si Bara emosi.
“Aku tuh—
enggak jatuh cinta, Ko.”
Dan si Kiku hanya menunjukkan ekspresi wajah yang minta ditonjok.
“Kau tahu aku menyukai siapa!”
Ko
masih terlihat ingin ditonjok.
“Jangan menatapku seperti itu!!”
“Oookaaay~ tapi Kazunyan—beneran deh, emangnya kau enggak tertarik apa sama Rei-kun? Atau minimal merasakan esensi perasaan yang
agugu gitu?” Ko nyengir lebar—dan kalau bukan karena si Kiku ini adalah partner-paling-oke-dalam-urusan-gossip, mungkin Kazusa sudah benar-benar menonjok mukanya. Atau minimal, menyihir wajahnya menjadi seperti jangkrik. “
Etjiee dia diem~ ada yang lagi kasmaran~”
“Berisik, Ko!”
Si Kiku tetap berisik.
“Oke, oke. Kuakui aku sedikit tertarik—tapi ya
cuma tertarik!” Jeda. “Hanya saja—hng, ada perasaan kesal sih ketika tahu kalau Shibasaki sedang dekat dengan orang lain. Kau pasti bisa membayangkan perasaan itu, kan?” Ko menggeleng menjawab pertanyaan Kazusa. Dia benar-benar tidak mengerti. “Rasanya tuh—ibarat kau dekat dengan Ro, lalu perlahan Ro mulai menyukai orang lain dan perhatiannya kepadamu terbagi, tidak lagi seperti biasa. Bukankah itu menyebalkan??”
“Hmm—masalahnya Ro itu kan, saudaraku…”
“Astaga Ko!! Cuma perumpamaan!!”
Ko menghela nafas pelan, lalu tersenyum lembut—tidak seperti senyum slenge'an yang biasa ia tunjukan. “Kupikir, kesimpulan yang bisa diambil adalah—kau
cemburu, Kazunyan.” Ucap Ko sambil menyelipkan beberapa helai rambut ditelinganya. “Karena kalau pun Ro berbuat begitu, entah karena dia saudaraku atau bukan, aku sih, pasti cemburu.”
“Tapi—“
“Dan kalau aku tidak salah dengar, kau bilang kalau kau kesal karena perhatian Rei-kun padamu tidak lagi utuh seperti dulu, kan? Seperti saat kalian beradu nilai di awal tahun? Bukankah itu artinya kau cemburu?”
Kazusa terpana.
Sekali lagi, ia melihat sisi lain dari deretan orang-orang Kiku yang selama ini terkenal dengan tingkah konyolnya.
Tapi dia cukup buta untuk dirinya sendiri.
“Aku rasa, sudah saatnya untuk jujur, Kazunyan.”
Ko menepuknya.
Dan Kazusa hanya bisa membisu.
—oOo—
Lalu perlahan, mulai tampak butiran salju turun memenuhi halaman, diiringi hawa dingin yang sedikit demi sedikit menggelitik kulit, membuat bulu kuduk berdiri merinding karena mengigil. Sebagian besar murid-murid Ryokubita tampak antusias menyambut hari pertama musim dingin ini—terlihat dari ramainya halaman ruang rekreasi yang dipenuhi oleh mereka-mereka yang asyik bermain salju, sisanya memilih untuk menenggelamkan diri dibalik selimut dan di bawah meja penghangat.
Dan Reichi adalah salah satu murid yang memilih untuk bersahabat dengan
kotatsu.
Rei sama sekali tidak menyukai musim dingin sebagaimana dia tidak menyukai musim panas. Dia tidak suka tubuhnya lengket karena keringat berlebih di musim panas, dan juga membenci tubuhnya menggigil karena kaku di musim dingin. Maka jangan heran kalau kalian sering melihat Reichi Shibasaki duduk nyaman di ruang rekreasi ketimbang ruangan lainnya.
“Kau kayak banci.”
Mendengar kalimat itu, Rei refleks menoleh dan mendapati Araide (dengan mantelnya yang super tebal) berdiri di belakangnya, menatap Rei dengan ekspresi yang—sepertinya tidak suka, tapi karena pipinya merona kemerahan, Rei jadi tidak bisa mengambil kesimpulan apakah Araide sedang memakinya atau sedang malu-malu menghadapinya.
Dan pada akhirnya, Rei memilih untuk acuh tak acuh.
Alisnya hanya terangkat sekilas, lalu pemuda berkacamata ini membuang muka—cuaca dingin seperti ini membuat Rei tidak mood untuk membuang-buang energinya hanya karena Araide. Yah,
kotatsu ini jauh lebih menyenangkan dari pada gadis itu.
“Besok, ada waktu, ga?”
Rei menoleh lagi “Aku?”
“Siapa lagi?”
“Barang kali nanya ke
kotatsu ini?” Araide memutar bola matanya. “
Well—aku tidak tahu.” Tidak ada tanggapan setelahnya. Gadis Bara itu hanya berdiri mematung, memandang Rei yang mulai bingung. “Jangan ngatain orang lain banci kalau sendirinya kedinginan.” Lanjut Rei kalem. Araide langsung berekspresi mendengar ucapan si Kiku yang terakhir—dia tampak terkejut; lalu mengernyit, tidak mengerti maksud Rei. “Pipimu merah, Araide. Dan aku tidak keberatan berbagi kehangatan denganmu.”
Rei membentangkan kedua tangannya.
“Kemari,
sayang.”
“JIJIK!!”
Pemuda itu tertawa.
“Ini bukan karena kedinginan!!
Tsk—sudahlah!!” si Bara bersungut-sungut kesal dan berbalik meninggalkan Rei yang masih tertawa terbahak-bahak. Namun tak lama, Araide kembali, menatap Rei dengan wajah merah. “Besok, kutunggu di Hakamadote Square jam tiga sore!” lalu pergi lagi.
“Ngapain?” Rei berteriak, tapi tidak ada jawaban.
Tersenyum tipis, Rei menggelengkan kepalanya.
Dasar bocah.
Namun, senyum Rei tidak bertahan lama, senyumnya berangsur-angsur memudar saat ponselnya berdering singkat, menampilkan sebuah pesan singkat yang membuat perut Rei terasa seperti ditonjok.
—oOo—