Faktanya, Kazusa mendapati Shibasaki menepati janjinya.
Pemuda berambut hitam itu tengah termangu—duduk membeku di salah satu kursi kayu di Hakamadote Square. Rambut hitamnya tampak lucu dengan tumpukan salju yang menggunung diatasnya, begitu pula dengan bahunya. Kazusa tersenyum sinis. Seberapa lamakah, pemuda itu menunggunya?
Dari kejauhan, Kazusa jelas bisa melihat deru nafas Shibasaki. Uap kelabu berhembus dari mulut dan hidungnya, menyeruak samar-samar menggapai udara. Dingin, adalah kesimpulan tersingkat yang bisa Kazusa ambil.
Tidak ada langkah selanjutnya—Araide muda ini hanya berdiri memandang Shibasaki dengan bimbang, dengan bahu sedikit membungkuk dan kedua tangan sibuk memeluk tubuhnya sendiri dengan erat dibalik balutan baju tebal.
Kamisama, si Kiku itu benar-benar menepati janjinya hanya untuk hal yang bahkan Kazusa sendiri tidak tahu.
Yah... Kalau boleh jujur, sebenarnya setengah hati Kazusa berharap Shibasaki tidak akan datang sehingga dia memiliki alasan yang kuat untuk kembali membenci lelaki itu—atau setidaknya, membalikkan keadaan seperti dulu, seperti saat-saat percikan api kebencian muncul diantara mereka. Akan tetapi, setengah hati Kazusa yang lain kini sedang bersorak riang, berlonjak-lonjak sampai rasanya ingin muntah.
Sial. Padahal kalau berbicara soal mental, Kazusa seratus persen tidak siap.
Lalu?
Bagaimana?
Kazusa menghela nafas berat, memandang Shibasaki yang masih membeku seperti orang mati. Abaikan dulu saja pemikiran-pemikiran bodoh yang berlalu-lalang di benak Kazusa. Kali ini, dari pada nama Kazusa Araide terancam masuk koran hanya karena membiarkan seorang pemuda mati kedinginan di tengah kota setelah lama menunggunya, lebih baik ia menghampiri Shibasaki.
Setidaknya, lebih cepat lebih baik.
—oOo—
Rei mendengus.
Matanya terpejam, membiarkan kegelapan kembali menyelimuti pandangannya, menyambutnya dengan hangat untuk kembali lari dari kenyataan seperti dulu—seperti saat Rei jatuh ke dalam lubang keputusasaan. Jantungnya berdetak tak karuan, memburu seperti habis dipacu. Padahal Rei hanya duduk di kursi sepanjang waktu—membeku.
Hari ini, hari terburuknya.
Atau bisa dibilang, salah satu yang terburuk dari biasanya.
Sekali, dua kali, Rei menghela nafas berat—mulai berusaha mengatur irama, menenangkan diri seperti biasa;
semuanya baik-baik saja. Sayangnya, kali ini mantra andalannya tidak berhasil—Rei rapuh seperti ranting yang lapuk. Keadaannya ini berhasil membuat ia tertawa sendiri seperti orang gila.
Mendengus sekali lagi. Rei membuka matanya.
Dan terkejut mendapati Kazusa Araide ada dihadapannya.
“Kau… di sini.” Ucap si Bara pelan. Rei mengerjapkan matanya agak cepat, menghalau pandangan buram di matanya dan memastikan bahwa di depannya benar-benar Araide. “…Hai.” Lanjut gadis itu.
“Hai.” Rei tertegun. “Ya. Aku di sini.”
Hening.
“Boleh duduk?”
Secara refleks, Rei menggerakkan tangan kanannya, menghalau tumpukkan salju di sampingnya agar Araide bisa duduk. “Silahkan.” Ucap Rei basa-basi. Si Bara tersenyum tipis—mengucapkan terima kasih sekilas, lalu duduk tanpa disuruh dua kali.
“Padahal, kupikir kau tidak bakal datang…” —Rei mengernyit keheranan mendengar ucapan Araide. Otaknya pasti beku total karena terlalu lama diselimuti salju sampai-sampai ia tidak bisa memikirkan petunjuk dari ucapan Araide barusan. “Tapi aku akui… aku—
hm. Cukup senang.” Lanjut gadis itu dengan pipi merona. “Makasih.”
Tanda tanya masih hinggap di kepala Rei.
“Apa sewaktu Rei-chan memintamu untuk bertemu, kau juga datang semudah ini? Maksudku—kalau dilihat-lihat, kayaknya sih caraku mirip-mirip sama Rei-chan, kan?” Rei menoleh, memandang Araide dengan ekspresi bingung yang kentara. Dia benar-benar tidak bisa membaca arah pembicaraan gadis ini.
“
Sorry—aku… tidak mengerti.” Ucap Rei akhirnya, menyerah bermain tebak-tebakan.
“Yah—waktu aku bilang tempo hari ada yang ingin kubicarakan, sebenarnya aku cuma bercanda.”
Ah.
“Tapi ternyata, kau datang juga—sampai-sampai nyaris menjelma seperti boneka salju. Memangnya, selama apa sih kau menungguku?” tanya Araide. Rei, yang pada akhirnya bisa berpikir normal, hanya terkekeh mendengarnya.
Lucu, karena faktanya bukan seperti apa yang Araide kira.
“Tidak terlalu lama.” Jawab Rei.
Lalu, suasana kembali sunyi.
Hanya suara desir angin terdengar samar-samar.
Dan tawa anak-anak yang bermain perang saju dari kejauhan.
“Ada apa?” Rei memecah keheningan, dan Araide tampak gusar—sedangkan ia merasa dejavu.
“
Tidak tahu—“ suara Rei-chan perlahan terngiang di kepala. “
Habisnya, kalau aku jawab aku cuma ingin mengobrol, nanti kau malah tertawa dan pergi, makanya aku bilang tidak tahu, supaya kau tetap me—”
“Shibasaki?”
Rei tersentak. Bahunya menegang dan nafasnya menjadi berat—sesak. “Kau seperti mau mati kedinginan…” ucap Araide. Ada nada khawatir di suaranya. “Mau… pindah ke tempat yang hangat?” Rei menggeleng, menolak dengan halus. “Benar?”
“Ya. Aku tidak apa-apa.” Si Kiku menghela nafas perlahan, lalu menatap Araide. “Lalu, ada apa?” pertanyaannya diulang, dan gadis itu lagi-lagi bergelagat aneh. “Kupikir bukan hal yang lucu kalau kau memanggilku kesini hanya untuk membuatku benar-benar mati kedinginan, Araide…”
"Aku…”
“Ya?”
“…punya sebuah cerita.”
“Wow.
Bagus. Apakah ini dongeng pengantar orang mati?”
“Tadi kutawarkan untuk pindah tempat, kau menolak!!”
“Tapi bukan berarti aku bersedia mendengarkanmu bercerita!”
“AAARGH—kau mau mendengarkan, tidak?!”
Rei mendengus—
pasrah.