Pupus.
Minggu, 11 Desember 2011
@12/11/2011 05:05:00 AM
Pupus.
“Sayangku ku mohon tetap disini. Temani jasadku yang belum mati.”
“Rohku melayang, tak kembali, bila kau pun pergi.”
Enggak tahu sih ya tapi yang namanya lebay itu emang udah jadi bagian hidup orang.
Begitu aku bangun, hal pertama yang aku lakukan bukanlah seperti apa yang tertulis di lirik lagu: “bangun tidurku terus mandi” melainkan “bangun tidurku terus ngaca*”. Oh tunggu, aku tidak bermaksud untuk narsis di pagi buta, atau berlagak seperti sang ratu dalam cerita putri salju yang terus bertanya siapa-wanita-tercantik-di-muka-bumi-ini setiap menitnya. Boro-boro cantik, rasanya justru aku seperti habis di tonjok tepat di bagian mata karena entah kenapa rasanya pedih—ah ya, benar kan ada yang tidak beres dengan mataku: meski bukan di tonjok juga sih.
Mataku bengkak dan merah. Sembab.
Pertanyaan pertama yang terlintas diotakku saat aku sudah berdiri di depan cermin adalah ‘kamu siapa?’ dan kemudian di susul ‘kamu kenapa?’. Aku terpana melihat bayanganku sendiri, membeku. Sedangkan aku yang satu lagi barangkali menunggu jawaban dari kata siapa dan kenapa. Oh well, aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa. “Hai Malika,” sapaku tolol. “Habis menangis ya?” mata sembab itu memandangku seolah-olah menjawab ‘ya’ dengan singkat. “Jelek banget muka lu, kayak badut.” Aku tertawa renyah—seperti orang gila.
Tapi enggak lama, semenit kemudian aku terdiam lagi. Mataku masih sibuk memperhatikan bayanganku dalam cermin yang luar biasa berbeda. Bengkak, jadi keliatan gendut. Enggak bermaksud apa-apa sih, tapi mendapati seorang gadis berbobot 46,5 kilogram alias kurus kering sekarang terlihat gemuk rasanya aneh juga. Meski untuk hatiku rasanya bukan aneh, tapi nyeri. “Nangis melulu, mau ampe kapan?” tanyaku lagi, tapi bayangan itu tidak menjawab. Tolol.
“Mata udah ilang juga.” Terkekeh sendiri. “Apa sih yang bikin lu mewek ampe kejer?” raut wajah di cermin itu sekarang berubah yang awalnya datar menjadi sedikit berekspresi: mikir. Alis hitam tipis tampak menyatu, membuat kulit di sekitarnya saling berlipatan, otot pipinya sedikit terangkat, dan lubang hidungnya kembang-kempis karena sulit bernafas. “Theo ya?” tanyaku gamblang. Kemudian hening, lama. Bayanganku memandangku, aku memandangnya; kemudian butiran air mata kembali menetes membasahi pipiku.
“Bego! Cowok kayak gitu ngapain sih lo pikirin ampe gila? Lu sendiri yang minta!!! Sekarang giliran di kasih lu mewek!!” umpatku. Tangan kananku dengan gesit terangkat dan merentangkan ke lima jarinya sambil menunjuk-nunjuk ke arah cermin dengan kasar. “Lima men!! Lima hari lu mewek cuma buat Theo?! Giliran di tanya kenapa dan ada apa, lu malah bilang ‘ga apa-apa’ atau ‘baik-baik aja’—baik dari mana?! Hongkong?!!” Emosiku memuncak meski aku tidak bisa menahan tangis yang justru semakin menjadi-jadi. Masokis.
Menyiksa diri sendiri. Hah.
Berbalik dan menyambar handphone yang tergeletak di atas meja kaca, aku membaca sederet pesan singkat Theo, membaca sederet huruf, kata, dan kalimat berulang kali, memastikan bahwa tulisan-tulisan itu benar adanya untukku—bukan mimpi seperti apa yang aku harapkan setiap kali aku mau tidur. Ibu jariku bergerak ke tombol sebelah kanan bertuliskan options; mengarah pada tulisan delete meski pada akhirnya setelah layar menunjukkan pilihan yes atau no aku tidak bisa berbuat apa-apa. Membeku.
Dan menangis, lagi.
Lima hari menangis sejadi-jadinya, membuat mata sembab, sakit, dan perih sama sekali bukan obat yang bagus untuk rasa sakit hati. Bukannya lega, tapi yang ada malah jadi tambah parah, double pula—hati dan mata. Menyiksa, sangat menyiksa. Dan seperti apa yang dibilang, ini semua sungguh sangat lebay, berlebihan, hiperbola—tapi faktanya memang seperti ini.
Dilema, antara ingin dan tak ingin.
Maaf adalah kata yang sering Theo ucapkan padaku ketika jemari kurus ini mengetik sederet kalimat untuk membatalkan keputusannya. Tiga kali meminta, dan tiga kali kata maaf aku dapatkan. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, bersikukuh untuk bersamanya pun sudah tidak ada harapan, bersikap jujur pun sudah tidak ada jawaban. Rasanya seperti nyawa hilang entah kemana.
Mati.
Aku berjongkok dan menyembunyikan wajahku dalam-dalam, membiarkan mata kembali mengeluarkan air mata sampai habis, dan menangis sesegukan. Banyak yang bilang, kalau ingin melupakan seseorang yang sangat berharga buat kita maka caranya adalah melampiaskan, meluapkan, dan mengikhlaskannya sampai tuntas, jangan di tahan dan jangan di pendam. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk meluapkan semuanya, terus terang saja. Yang aku bisa lakukan hanyalah menangis berhari-hari, sampai puas, sampai lega, tapi entah sampai kapan.
—good bye, my love.
Ku coba kembangkan sayap patahku, 'tuk terbang tinggi lagi diangkasa
Melayang melukis langit, merangkai awan-awan mendung
Label: Cerpen, galau, love, Random, Real World