“If at any moment you have a wish you need to be granted, if it's something I can do—I will try to grant it, will try with all my strength.”
Minggu, 26 Agustus 2012
@8/26/2012 06:42:00 PM
Gue ga tahan buat gak ngeblog tentang ini orang. Mungkin gue bakal mengorek semua yang pernah dia ceritain ke gue dan ini ga sopan, tapi apalah daya, gue pengen Dhika ada di blog gue. Seenggaknya sekalian ngelatih ingatan gue dan menyimpan kenangan tentang Dhika di sini biar gue ga lupa. Percaya ga percaya, gue baru tau nama lengkapnya Dhika via twitter beberapa minggu yang lalu (krik).
Hai. Kenalin. Namanya Faiszal Andhika Putra. Atau panggil aja dia Andhika, atau biasa di panggil Dhika. Kalau kalian ikut forum RPF Ryokushoku o Obita atau lebih familiar disapa Ryokubita atau Ryoku, Dhika adalah salah satu membernya. Dia pemegang akun Aoki Hayamine dan satu lagi karakter cewek (—ppffft #heh) yang gue lupa namanya. Dia jarang online dan jarang main, wajar. Dia sibuk kuliah di Amerika, jam terbangnya beda sama jam terbang di Indonesia. Di sana siang, di sini malem. Dulu, kalau gue ga salah inget sih, dua tahun yang lalu, Ryoku ngebuat semacam member RP tutorial. Penutor dan yang di tutor. Dhika adalah anak didik (sebut saja begitu) Kira, PM dari Yowa Setagaya yang kebetulan emang deket juga sama gue. Percaya sama yang namanya cyber love? Gue percaya, secara gue pernah mengalaminya. Dan Dhika juga begitu. Dia jatuh hati dengan Anna, PM dari Fuji Amamiya yang emang secara keseluruhan baik Fuji mau pun Anna sama.
Ceritanya, Fuji itu dekat dengan salah satu karakter canon yang gue pegang namanya Kyoshiro Kitazawa dan parahnya Kyoshiro ini adalah ‘hantu bergentayangan’. Kalau buat yang ga ngerti, intinya hubungan antara Fuji dan Kyoshiro itu diceritakan sebagai friendzone gitu deh, mau pacaran, ya kali pacaran sama hantu? Ga pacaran, hubungan mereka tuh deket banget. Nah, sebagai PM dari Aoki Hayami, Dhika cemburu. Bermula dari cemburu itulah, gue sama Dhika kenal. Lucu ya? Fufufufu.
Dhika bercerita, dulu tuh dia sering banget pacaran sama cewek dan dia mengakui sering mainin cewek. Semacam playboy, dan sekarang dia jatuh hati benar-benar sama Anna tapi karena Anna anak yang polos (sebenarnya sih, gue yakin, Anna cuma ga mau bikin Dhika kecewa suatu hari) jadi dia hanya bisa menerima rasa sayang Dhika, tapi enggak mau jadi pacar. Dhika galau—kurang lebih sih begitu, dan gue cuma bisa ketawa dengan jahat (sorry, lol) dan meng-pukpuk Dhika supaya semangat. Gue bilang, mungkin emang ga bisa pacaran atau berharap lebih, tapi bukan berarti Dhika ga bisa ngeekspresiin kasih sayang. Anna sangat senang berteman dengan siapa saja, dia juga senang perhatian dengan semua orang, jadi kalau kita ngelakuin hal yang sama, gue rasa ga ada salahnya. Dhika juga sering cerita tentang tempat-tempat yang indah di Indonesia, yang katanya someday kalau dia pulang ke Indonesia, dia mau ngajak gue ke tempat-tempat itu. Gue seneng, tapi gue bilang kalau izin dari orang tua gue bakalan susah luar biasa, jadi gue anggap omongan Dhika itu bukan janji, cuma penjelasan dan Dhika mengerti.
Bermula dari hal-hal seperti itu, gue sama Dhika sering ngobrol pada akhirnya. Ya gue ngeluh pengen mie ayam lah, ngeluh pengen pizza lah (dan beneran dong dibeliin pas main sama Anna, Kira, Vina, Otri, juga Steven!!), atau ngebulli dia dengan makanan-makanan Indonesia yang dia kangenin lah, ya sama-sama ngerek minta di temenin ngobol lah, ngelawak lah, juga sesi-sesi curhat lainnya. Gue inget tuh, dulu dia sempet curhat tentang keputusan ayahnya yang jodohin dia sama salah seorang perempuan, gue ga pernah ngobrol sama calon tunangannya (atau malah udah tunangan? Ga tau sih ga pernah cerita lagi), tapi Anna pernah (mungkin karena Dhika suka sama Anna?) dan gue yang ga tau apa-apa tentang Dhika cuma bisa ngasih dukungan penuh sama keputusan dia, Dhika ga bisa nolak permintaan orang tuanya, tapi Dhika juga semacam ga enak kalau harus ditunangin tapi dia ga mau. Meski pada akhirnya gue bilang, mungkin emang calon tunangan Dhika emang yang terbaik, siapa tahu?
Tunangannya Dhika sepertinya sangat suka sama Dhika, dia ampe terbang ke Amerika dan selalu ada buat Dhika. Sesekali Dhika sempat cerita kalau dia risih, dia ingin kamar pribadinya bener-bener jadi ruang privasi dia. Gue malah suka heran sendiri, tapi gue ga pernah mau ikut campur. Itu bukan urusan gue, jadi yang bisa gue lakuin lagi-lagi cuma ngelawak, ngehibur Dhika, dan ngebully Dhika. Pembicaran-pembicaraan gue sama Dhika setelahnya ga lebih dari hal-hal random. Nanya kenapa belum tidur atau tentang tugas-tugas apa aja yang gue hadapi atau yang Dhika hadapi, kenapa Dhika jam segini ga tidur atau jam segitu ga makan, tentang Dhika yang sering ngeluh sakit perut dan gue marah-marah karena dia enggak mau makan dan menyepelekan jam-jam makan.
Dan pas gue putus pun, ada kali ya seminggu full gue ngecurhatin semuanya ke Dhika, cerita tentang sakit hati gue, tentang kecewa gue, tentang gue masih suka nangis sendirian. Tentang cerita Matheo dan Malika pun yang pertama kali tahu adalah Dhika. Gue tunjukin cerita itu dan Dhika bilang cerita-cerita gue sangat menggambarkan perasaan gue. Dhika bilang selagi melalui tulisan gue bisa ngerasa bebas, lakuin aja, dan karena Dhika-lah, cerita Malika Mahaprasthanika sampai sekarang terus lanjut. Gue belum pernah nulis tentang Dhika di cerita Malika, nanti deh gue tulis itung-itung dedikasi buat elu. Dan gue ga akan ngubah nama seperti apa yang gue lakuin di tokoh-tokoh lainnya, buat elu mungkin gue akan tetap mencantumkan nama Dhika. Ceileh, spesial gitu.
Gue ga pernah bisa bilang gue deket sama Dhika meski sekali pun terkadang gue berpikir gue terhitung dekat sama dia. Maksud gue, gue enggak seperti Vina, Otri, atau Anna yang lebih sering ngobrol sama dia. Obrolan gue sama Dhika kan ga lebih dari sekedar hiburan-hiburan, bully-an, lawakan, atau hal-hal random lainnya. Sebatas saling menenami. Gue bilang ke Dhika kalau dia ga boleh kesepian di sana karena masih ada orang-orang yang peduli sama dia di Indonesia, sama Dhika bilang ke gue kalau gue juga ga sendirian sekali pun cuma sebatas chat gue dibolehin curhat apa aja sama Dhika. Dan itulah kenapa gue bebas meluapkan kekesalan gue pas putus ke Dhika. Tapi sejak gue berhasil move on, entah kenapa gue jadi jarang ngobrol sama Dhika.
Gue inget, pas gue mulai ngobrol lagi sama Dhika, tentang hari-hari menjelang konser Laruku di Jakarta tapi dia bilang dia lagi sakit waktu itu. Dia di rumah sakit karena katanya perutnya bermasalah. Seperti biasa, gue marah-marah sama Dhika. Emot-emot tendangan dan pukulan sebagai bumbu-bumbu lawakan gue tunjukin dan bilang Dhika harus makan. Dhika selalu bilang, dia kangen nasi. Yah, emang pada dasarnya gue iseng, gue malah ngebully dia dengan kasih dia foto nasi. Berkali-kali Dhika masuk rumah sakit, dan gue dengan tololnya ga pernah curiga dia sakit apa—I mean, sebenarnya gue curiga, tapi hak setiap orang ingin memberi tahu atau tidak, dan Dhika berhak untuk tidak memberitahu gue dia sakit apa. Gue pun lagi-lagi gak mau mencampuri urusan Dhika, gue tahu batasan-batasannya dan seperti gue bilang, gue ada buat ngehibur Dhika, bukan buat ikut campur tentang segala permasalahannya.
Sampai suatu hari, di bulan puasa tahun ini, gue selalu sedih setiap kali Dhika bilang ingin pulang. Dia sempat ada rencana tanggal—engg, sekitaran pertengahan July apa awal Agustus gitu, pokoknya menjelang lebaran sih kalau ga salah inget, Dhika punya rencana pulang ke Indonesia. Kebetulan kuliahnya juga lagi libur. Tapi sayangnya batal karena sepupu-sepupunya malah pergi ke Amerika dan dia dipinta buat ngejaga sepupu-sepupunya. Gue inget tuh, Dhika pernah mencak-mencak ke gue katanya kalau bukan karena sepupu udah Dhika tinggalin karena dia capek jalan-jalan terus. LOL. Gue juga kalau gue ke Amerika pasti gue bakalan minta Dhika nemenin gue terus jalan-jalan lah! Gue tanya kira-kira dia bisa pulang atau enggak, katanya pas lebaran dia bisa pulang, tapi cuma tiga hari—hari pertama nyampe Indonesia, hari ketiga balik lagi ke Amerika karena udah mulai kuliah.
Mungkin gue tolol, mungkin gue kehabisan topik, tapi gue malah ngisengin Dhika dengan ngegoda makanan-makanan lebaran. Ya ketupat lah, ya opor ayam lah, dan sebagainya. Gue ga punya tujuan apa-apa selain ngelawak, tapi gue ga tau apa dengan lawakan gue itu gue malah bikin Dhika sedih, gue harap sih enggak dan kalau pun iya, Dhika gue minta maaf ya. Lepas dari itu, ada kali seminggu atau dua minggu, gue ga pernah ngobrol lagi sama Dhika.
Begitu ngobrol lagi pun, tentang kecemasan Dhika sama almarhum temennya yang tahu-tahu koma (27 July kalau gue ga salah inget) yang kebetulan juga guru dari Anna. Selama seminggu gue terus support Dhika juga Anna, berdoa semuanya baik-baik saja. Tapi berita duka datang, dan beberapa hari Dhika ga bisa online karena katanya dia mau berkabung sendirian. Gue tahu perasaannya, temennya atau bisa di bilang teman baiknya meninggal dan dia ga bisa di Indonesia. Gue memaklumi, dan gue cuma bisa berdoa Dhika dan Anna baik-baik saja, segalanya akan baik-baik saja. Gue ga pernah ngobrol lagi sama Dhika setelahnya, dalam jangka waktu yang lumayan lama juga.
Suatu hari, Otri telepon. Suaranya serak dan katanya dia sakit. Dia bilang ke gue, Dhika nitipin Aoki ke gue, nanya gue mau gak jadi co-PM-nya Aoki karena dia ga tega ngehapus Aoki (dulu juga pernah bahas ini karena Dhika sibuk sekali kuliahnya dan gue bilang mendingan jangan, lumayankan kalau Dhika bosen, dia kan bisa main di Ryoku, toh Ryoku ga harus nuntut kejer post segala). Otri ngomong sambil isak-isak gitu, gue pikir sih karena dia pilek. Dan karena gue sayang sama Dhika, gue juga sayang sama Aoki, gue iyain. Dan malemnya gue ngobrol sama Dhika perihal ini. Well, ternyata, ga cuma tentang Aoki obrolan gue.
Waktu malemnya, gue nyalain YM dan gue ngobrol sama Dhika. Tentang kesehatan, tentang pikiran, tentang Laruku, tentang Ryoku, tentang teman-teman. Then, dia nitipin Aoki, katanya ga tega ngehapus persis kayak apa yang Otri bilang. Gue tanya, kenapa ga langsung nanya ke gue, via twitter atau DM kan bisa, tapi dia cuma cengar-cengir aja, yah mungkin dia pikir karena gue udah mau TA dan gue pernah bilang kuliah gue edan-edanan, Dhika ga mau ganggu. Gue setuju jadi co-PM Aoki, tapi gue bilang gue ga bakal bisa sering-sering RP mulai semester depan, TA di depan mata dan gue udah telat satu semester, ga mau mundur lagi, dan Dhika bilang dia ga keberatan asal Aoki di urus, dia udah seneng. Omongan kayak gini bikin gue curiga, akhirnya gue berani tanya dia kenapa. Dan Dhika bilang, karena gue termasuk salah satu teman baiknya—demi Tuhan pas baca ini gue pengen banget nangis, terharu gitu—gue harus tahu satu hal. Yang lain udah tahu, tinggal gue katanya. Karena ga mau ganggu keseharian gue, ga mau ganggu kuliah gue—dan alasan-alasan klise lainnya.
Dhika bilang dia kena tumor usus, dan udah ga bisa diangkat. Dokter bilang waktunya tiga bulan lagi.
Gue ngebeku seketika. Ga bisa ngetik apa-apa. Dhika terus cerita tentang kenapa dia selama ini sakit perut dan tentang keluarganya, tentang orang-orang yang marahin dia karena dia jarang makan padahal mereka ga tau apa-apa, tentang ga bisa pulang lebaran, tentang ngerasa ga enak sama sepupu-sepupunya yang harusnya pulang jadi bersikukuh nemenin dia karena sangat sayang sama Dhika, dan tentang banyak hal lainnya yang ga bisa gue ceritain karena sekarang gue ngetik sambil nangis plus antara gerakan tangan sama memori-memori di otak gue balapan.
Gue marah, gue kesel, gue emosi, gue kecewa, gue nangis, gue sedih, gue kesel, pokoknya campur aduk. Gue bilang ke Dhika, dokter ga bisa memprediksi waktu seenak jidat kayak gitu. Gue bilang ke Dhika dia harus pulang kalau kuat. Gue bilang ke Dhika dia pasti kuat. Dan gue bilang ke Dhika, Aoki aman di tangan gue. Pasti.
Obrolan gue sama Dhika waktu itu ga berlangsung lama, Dhika di suruh tidur sama suster dan lama setelah itu, ga pernah online lagi. Gue sakit, gue drop, ga bisa online. Lalu tanggal dua belas, setelah gue punya cerita sama J, gue mentions Dhika, nanya kabar, dan cantumin offline message ke Dhika kalau gue kangen sama Dhika, gue pengen cerita. Besoknya, tanggal tiga belas, Dhika online dan obrolan gue sama Dhika lagi-lagi cuma sebentar, gue cuma bilang gue sehat, sempet drop, dan ngasih kabar yang lain-lain. Karena pusing gue ga bisa online lama-lama, gue bilang gue harus tidur dan gue minta Dhika janji buat ngasih gue kabar begitu pun Dhika yang minta gue janji harus ngasih dia kabar. Sejak tanggal itu, Dhika ga pernah lagi nongol di twitter atau pun Y!M.
Suatu hari gue pernah ngerasa gelisah sendiri. Gue kepikiran Dhika dan Anna secara tiba-tiba. Gue ga bisa tidur dan gue mentions mereka berdua. Ga ada balasan untuk beberapa hari, Anna ngebales, tapi Dhika enggak. Gue ga mikir yang aneh-aneh tentang Dhika. Gue pikir dia pasti lagi istirahat, dia udah ga bisa online seenak jidat lagi kayak dulu, dia pasti di suruh istirahat sama dokter dan pasti udah dicekokin obat tidur seperti apa yang Dhika pernah cerita ke gue.
Tapi tanggal dua puluh tiga, tengah malem, Vina bilang Dhika koma.
Anna bilang Dhika koma. Stadium satu.
Otri nelepon gue dengan suara serak dan isak bukan karena sakit—dia nangis.
Semuanya lalu-lalang di pikiran gue. Balapan. Dan kepala gue sakit. Gue sedih se-sedih-sedihnya. Gue ga punya siapa-siapa buat di share saat itu. Orang tua gue sibuk bebenah buat pulang ke Bandung, kakak gue kelelahan, dan J pun tidur. Wajar tengah malem (tapi pada akhirnya J tiba-tiba bangun dan gue bisa leluasa ngeluapin semuanya ke dia. Thanks!). Sejak hari itu, gue niat buat mentions dan sapa Dhika via twitter tiap malem. Gue tahu ini sama sekali ga worth it, ga ngaruh apa-apa ke Dhika. Dia ga bakal bisa ngebuka twitter, ga bisa nerima pesen gue, denger suara gue aja enggak. Tapi gue ga tau kenapa pingin terus mentions dia tiap malem, sambil berdoa semoga dia baik-baik saja.
Dhika cepet sembuh, Dhika cepet balik lagi, gue kangen ngobrol random sama lu. Gak harus tiap hari juga ga apa-apa, tapi gue beneran kangen dan pingin ngobrol sama elu. Cepet sembuh disana, gue percaya lu kuat, banyak doa mengalir dari sini, dari temen-temen deket lu, dari gue, Otri, Anna, Kira, Nanda, dan kawan-kawan lainnya. Gue pernah bilang gue sayang sama Dhika, sama semuanya, dan itu ga bakal berubah. Gue juga tau lu sayang sama gue, lu pernah ngomong, dan kalau lu sayang, semoga lu masih bisa nyapa gue di Y!M atau twitter lagi. Atau seenggaknya, lu kasih gue kepercayaan bahwa semua hal yang nanti terjadi adalah yang terbaik, dari Tuhan, untuk sekarang atau yang akan datang.
“If at any moment you have a wish you need to be granted, if it's something I can do—
—I will try to grant it, will try with all my strength.”
© Watanuki Kimihiro - xxxHolic
Label: curhat, Dhika, Real World