Lalu suatu malam, Line ku berbunyi nyaring, saling bersahut-sahutan dengan cepat seolah tak sabaran mengambil perhatianku. Kupikir, itu J, karena jam-jam segini jarang sekali ada yang menghubungiku selain dia--ada sih, biasanya There, tapi itu pun sudah mulai jarang karena gadis berambut pirang-ombre itu belakangan ini terlihat sibuk dengan pekerjaan barunya. Jadi, dengan ogah-ogahan, kuraih handphone putih milikku itu dan tidak sampai setengah menit, kedua alisku langsung menempel satu sama lain setelah mataku membaca sederetan pesan singkat di layar.
Dari There.
Dan tentang kisah cintanya yang kandas sebelum mekar.
Aku mengernyit membaca setiap kata demi kata dari pesan There, memahami ceritanya tentang bagaimana lelaki itu memperlakukannya, menggilai pekerjaannya ketimbang dirinya, menyangkut-pautkan masa lalu dengan masa sekarang siapa dirinya, dan segala macam hal lainnya yang sukses membuat seorang There, sahabat kuliahku yang tak mengenal patah hati, tegar, dan kuat, serta berpikir positif tentang akhir suatu hubungan, menangis pilu. Sesegukan, katanya.
Aku tak pernah melihatnya seperti itu, selain saat ia kehilangan ayahnya. Bahkan saat dia mengenal patah hati untuk pertama kalinya sewaktu masih berpacaran dengan si Musim Panas, aku tidak tahu apa-apa. Jadi bisa di bilang, ini benar-benar pertama kalinya aku melihat There seperti ini, karena lelaki (selain ayahnya).
"Putus ketika lo masih sayang itu rasanya sakit, Ka. Sakit. Banget." There menangis "Tadi pagi, dia dateng kerumah, biasa aja, tapi malem ini gue nangis lagi, gue kangen... gue sama dia masih saling sayang, masih sayang-sayangan, tapi beda rasanya, Ka. Dia udah ga bisa gue genggam, sekuat apa pun rasa sayang gue sama dia..."
Kutatap pilu tulisan-tulisan itu, mendengarkan dengan seksama, membiarkannya bercerita panjang lebar tentang hatinya yang terluka. Aku tahu betul perasaannya. Tentang hancurnya perasaan There, tentang semuanya, tentang Matheo.
Membaca kisah There, aku mengingat kisah Matheo seketika. There yang putus meski masih sayang, aku pun demikian. There yang sudah dua hari menangis karena sakit hati bercampur rindu, aku pun demikian, yang mungkin lima sampai enam hari. There yang putus karena sang mantan sibuk bekerja, tidak sama denganku--dengan Matheo yang menduakanku.
There pun bercerita, selama tiga-empat bulan ini, dia jarang bertemu dengan mantannya karena mantannya sibuk bekerja. Ketemu pun hanya hitungan jari. Ah, aku pun mengingat Matheo. Tiga tahun satu bulan lamanya menjalin hubungan, aku pun hanya bertemu hitungan jari, LDR pula.
There yang masih menyukai mantannya.
Dan aku, yang terkadang masih memikirkan Matheo.
Sungguh, aku sama sekali tidak ada niatan membanding-bandingkan kisahku dengan kisah There. Hanya saja, kemiripan ini membuatku ingin There tahu, dia tidak sendirian dan aku tahu betul perasaannya. Namun, aku takut, kalau kiceritakan, nanti There menganggap aku ga mau kalah? Padahal, aku benar-benar tahu perasaannya, tentang rindu tak tertahankannya, tentang sulitnya bertemu, tentang lost contact berminggu-minggu, tentang berakhirnya cinta karena mata yang sudah tidak tertuju padamu--pekerjaan, dan cinta yang lain.
"Menangislah," kataku.
Dulu, aku menangis hebat saat putus dengan Matheo. Inggrid, Shafa, dan Mira-lah yang sering kali kuganggu tiap malamnya. Menceritakan dengan detil setiap kerinduan dan sakit hati yang kurasakan. Membiarkan mataku sembab dan memerah dihadapan mereka tanpa tahu malu. Dan bagiku, kehadiran mereka lah yang perlahan membuatku bangkit dari keterpurukan, menyadarkanku bahwa kehilangan perhatian dari seseorang tidak menutupi perhatian orang lain. Dan sampai saat ini, aku bersyukur bertemu mereka.
"Lalu, lupakan. Dengan cara apa pun. Kerja? Traveling? Olah raga? Luapkan dengan cara dan hal positif."
Yah, pelarian keduaku adalah kerja. Atau bisa dibilang, aku menggilai Tugas Akhir ku waktu itu. Tentu saja dengan tujuan membuatku lupa akan Matheo. Dan berhasil. Meski hal itu berlangsung lama. Dua bulan. Namun, tidak ada salahnya, bukan?
"Setelah itu, kembali lah pada teman-temanmu, berkumpul, bermain, tertawa, dan berbahagia bersama mereka, agar kamu sadar kamu tidaklah sendirian."
Sebagaimana keluarga kecilku melakukan dan menyadarkan itu padaku. Lima bulan, bukanlah waktu yang lama. Namun sungguh berarti, membuatku bahagia dan bersyukur memiliki mereka. Aku mengenal betul perasaanmu, There, sungguh. Dan aku akan ada dsini untuk selalu mendengar keluh kesahmu. Mungkin memang tidak spesial, tapi setidaknya aku mengerti perasaanmu.
"Ka..."
"Ya Re?"
"Gue masih sayang Ka..."
Aku tersenyum.
"Menangislah, lalu lepaskan. Ikhlas."
There terisak pilu.
"Percayalah, ikhlas bukan berarti lupa. Tapi menerima."
Label: curhat, love, Malika, Random; real world, Theo, There