<body>
Alasannya sederhana, karena kita tidak pernah berbicara.
Jumat, 27 Juli 2012 @7/27/2012 10:46:00 PM




Alasannya sederhana, karena kita tidak pernah berbicara. 

Begini, ceritanya. Mungkin terbesit di pikiran, tidak pernah mengajariku berbicara seperti itu.  Memang, aku tidak pernah diajari seperti itu, tapi aku mempelajarinya di luar yang tidak pernah kau tanyakan apa-apa saja yang aku lalui di sana.  Mungkin kau tahu apa yang aku lalui di luar, tapi dari mulut orang lain. Mungkin kau percaya dengan apa yang aku lalui, kau percaya aku pasti akan baik-baik saja—memang, aku baik-baik saja, tapi hanya luarnya saja, urusan hati, siapa yang tahu? Aku tidak tahu seleramu, kau pun tidak tahu seleraku. Aku tidak pernah tahu keinginanmu, kau pun tidak tahu keinginanku. Aku tidak tahu urusanmu, kau pun tidak tahu urusanku. Alasannya sederhana, karena kita tidak pernah berbicara.

Atau kau bertanya kenapa bukan aku yang memulai pembicaraan? Coba, di era seperti ini psikologi anak itu banyak. PIkiran posisi anak yang sering kena marah karena kenakalannya, yang menjadi takut pada orang tua, dan berpikir bahwa segala sesuatunya pasti dianggap salah. Pernahkah mendengar bahwa hal sekecil itu membentuk kepribadian anak? Aku tidak menyalahimu, ini murni karena kenakalan anak kecil, yang murni salahku. Kau tidak salah, sungguh. Kau hanya bersikap sebagaimana mestinya orang tua yang mendidik anaknya, tapi siapa sangka hanya karena aku takut padamu sewaktu kecil, dan kau tidak pernah bertanya apa-apa tentang kehidupanku di luar, kita jadi tidak pernah saling bicara. Sesederhana itu, dan aku mempercayai itu.

Karena waktu kecil aku takut padamu, takut kena amarahmu, aku memilih untuk diam sampai saat ini. Ah, tidak. Sampai usiaku sembilan belas tahun. Selama itu, aku tidak tahu caranya bercerita padamu, itulah kenapa aku selalu berdiam diri dan mengkeluh-kesah sendirian. Selama itu, aku tidak tahu caranya berkata-kata padamu, itulah kenapa aku selalu meluapkannya lewat tulisan, yang setiap kali kau temukan tulisanku, kau marah padaku. Selama itu, aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapimu, itulah kenapa aku selalu mengurung diriku di kamar, menangis sendirian yang setiap kali keluar kau mendapati mataku membekak dan kau marah padaku, bertanya kenapa tidak aku ceritakan masalahku padamu. Selama sembilan belas tahun aku tidak tahu bagaimana caranya, apakah kau percaya? Terdengar lucu, ya.

Percayakah kau bahwa setiap kepribadian anak itu berbeda-beda? Yang setiap anak harusnya memiliki cara yang berbeda-beda pula untuk dihadapi? Aku tidak sama dengan kakak-kakaku. Aku tidak sama dengan Janneth. Kadang aku iri pada Janneth. Sangat iri. Kau begitu dekat dengannya. Sekali pun kamarku dan kamar Janneth bersebelahan, dengan pintu yang sama-sama terbuka, kau lebih suka mampir ke kamar Janneth ketimbang kamarku, berlama-lama di sana. Ketika aku berbaur, kalian diam—mungkin, pembicaraan kalian tidak cocok untuk di dengar oleh anak kecil sepertiku, aku tahu—tapi ketika kalian diam disaat aku masuk, bisa kau bayangkan bagaimana rasanya? Aku iri dengan Janneth. Dia memang lebih dewasa, jauh lebih dewasa dari padaku, kau sering mengandalkannya, bukan aku yang selalu kau anggap anak kecil.  Ya, emang sih aku pemalas dan kerjaannya menyusahkan orang, tapi kenapa kau tidak mengajariku dari kecil tentang tanggung jawab agar aku jadi orang yang bisa terarah seperti Janneth? Satu rahasia yang tidak pernah aku katakan padamu: sekali pun kau bilang kau tidak pernah mengganggapku anak kecil, perilakumu mengatakan demikian. Dan aku tidak mau dianggap begitu, makanya aku tumbuh menjadi anak yang keras. Percayakah dengan itu? Seharusnya kau percaya dengan apa yang barusan saja terjadi : )

Malika kecilmu ini, berubah jadi orang yang keras. Aku tumbuh menjadi gadis yang berpikiran realistis. Aku pun tumbuh menjadi gadis yang menganggap segala sesuatu yang bersifat basa-basi adalah hal sia-sia. Yang menganggap kalimat kiasan-kiasan adalah kalimat-kalimat penjilat yang membuang-buang waktu. Aku tumbuh menjadi orang yang keras, yang berbicara, berperilaku, bersikap, dan memiliki sifat yang keras. Ketika orang mau berkata A, aku akan berkata B kalau memang pikiranku tidak sama dengan pendapat dari A itu. Aku tumbuh menjadi orang yang keras, yang berpikir bahwa yang namanya kebebasan dan keadilan itu omong kosong, yang dunia ini pun banyak orang keras sepertiku.

Tapi Malikamu masih punya hati. Dibalik sifat kerasku, aku sering ketakutan, aku sering menangis sendirian karena kesalahanku, yang aku tidak tahu harus berbicara kepada siapa karena kau tidak pernah mengetuk pintu kamarku untuk mengajakku bicara. Aku sering merasa sendirian, karena sifat kerasku yang menjengkelkan. Tapi kau tidak pernah duduk disampingku meski sekedar menemani. Aku juga masih punya rasa iba, yang setiap kali melihatmu kesusahan, sering kali berbuat sesuatu sebisaku—sebisa mungkin tidak kau tahu.

Sederhananya, aku ingin dekat denganmu, tapi tidak tahu caranya.

Ketika usiaku dua puluh tahun, aku mempelajari bagaimana caranya, memperhatikan gerak-gerik Janneth kepadamu. Ditambah Janneth yang sibuk bekerja, kau baru lari kepadaku karena tidak ingin mengganggu kesibukan Janneth atau Javier. Bagiku ini kesempatan, tentu. Tapi tidak bertahan lama karena yah, Janneth kembali mengambil perhatianmu dengan smartphone yang ia berikan. Tapi tak apa, kudekati kau perlahan meski masih bersikap tsundere (oh iya, percaya tidak aku ini tsundere? Hoho), kuceritakan pelan-pelan apa yang aku alami di kampus dengan suara bergetar karena takut salah berbicara, kuceritakan apa yang aku ketahui untuk sekedar membantumu memecahkan masalah meski aku tahu itu sama sekali tidak berguna.

Aku tidak pernah bisa menjadi seperti dirimu yang sabar, yang tetap berdiri meski kakimu gemetar menahan amarah. Aku tidak pernah bisa menjadi seperti dirimu yang pengertian, yang tetap tersenyum meski hatimu sakit menahan keluhan. Aku juga tidak pernah bisa menjadi seperti dirimu yang penyayang, yang tetap mengulurkan tangan meski matamu perih menahan air mata karena kesedihan yang mendalam. Makanya, sekali pun kita tidak pernah sejalan, yang bisa kulakukan hanyalah mendekatimu, dan berdoa kepada Tuhan yang terbaik untukmu, menitipkan segala keluh-kesahmu kepada-Nya.

Maaf kalau aku sering kali berkeluh kesah padamu tapi tidak membantumu dan malah menyusahkanmu. Maaf kalau aku tidak bisa seperti Javier dan Janneth. Satu hal yang aku pinta (lagi), tolong untuk tidak menyepelekan lagi tulisanku, apa pun bentuknya. Aku hanya ingin berbicara kepadamu, mungkin memang bukan lewat lisan, tapi tidak ada salahnya kan kalau melalui tulisan? Seperti waktu aku kuliah tahun kedua, kau pernah menulis surat kepadaku, menanggapi keluhanku tentang perkuliahan. Kau tahu, tulisan itu masih aku simpan, menjadi penyemangatku di setiap hari-hariku di kampus. : )


Ibu, apa pun yang terjadi, aku sayang padamu.


Malika.

Label: , , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next