<body>
Geboy Superboy; 06 Januari 2008 – 05 Mei 2009
Sabtu, 07 Juli 2012 @7/07/2012 08:13:00 PM



Geboy Superboy


Halo Namaku Geboy.

Aku adalah seekor kucing berwarna oranye terang dan putih bersih yang sedari kecil sudah berada di rumah teh Dila dan mbak Sheilla. Sedari kecil aku memang dipisahkan oleh kedua orang tuaku dan tinggal bersama keluarga baruku. Tidak apa-apa, aku tidak pernah menyesal karena keluarga baruku ini sangatlah baik dan perhatian. Mereka menyayangiku seperti aku menyayangi mereka, dan aku bahagia sekali.

Usiaku baru satu bulan saat mbak Sheilla membawaku pulang kerumahnya. Masih sangat kecil, bahkan masih bayi! Aku yang masih butuh asupan susu membuat mbak Sheilla rela bangun tengah malam untuk memberiku susu ketika aku menangis kehausan atau kelaparan. Mbak Sheilla juga rajin membersihkan tempat tidurku, mengganti selimut dan kain-kain yang biasa menghangatkan tubuhku. Kadang kala aku diberi air madu yang manis sekali oleh Mama (iya, Mama, aku memanggilnya Mama seperti mbak Sheilla atau teteh Dila, hihihi) dan saking sukanya, kata mbak Sheilla aku terlihat rakus sekali. Dan karena aku rakus, sering kali aku membuat pipet itu rusak. Tapi aku tidak peduli, aku tetap saja minum meski akhirnya Mama mengganti pipet itu dengan dot besar yang bisa memuat lebih banyak susu untukku. Sejak saat itu, aku suka sekali dengan dot-ku!

Aku tidak pernah bersuara—aku tidak tahu caranya bagaimana. Dari kecil aku memang sudah di pisah dari orang tuaku, atau lebih tepatnya dari lingkungan sesama kucing. Teh Dila pernah bercerita, dulu ketika aku masih berusia tiga atau empat bulan, ada yang membawakan akuarium dengan ukuran besar ke rumah. Saking besarnya, aku takut sekali! Dan teteh Dila tahu-tahu menggendongku dan memasukkanku ke dalam akuarium itu! Aku menjerit, meminta tolong karena aku tidak bisa keluar! Sekelilingku menjadi sangat buram dan itu mengerikan!! Aku terus menjerit dan kata teteh Dila itulah pertama kalinya aku bisa bersuara ‘meong’ dengan lantang. Tapi sayangnya setelah itu aku tidak lagi bisa mengeong—sudah kukatakan, aku tidak tahu bagaimana caranya berbicara.

Ketika aku menginginkan sesuatu, seperti misalnya meminta susu pada Mama atau meminta makanan pada kakak-kakakku (kau tahu, aku menganggap mereka adalah kakakku dan mereka menganggapku adik! Senang sekali rasanya), aku akan menyentuh kaki mereka. Aku tidak pernah menggigit, aku pun tidak pernah mencakar mereka. Yang kulakukan hanyalah menyentuh kaki mereka atau kalau kata Aa Dzikry itu namanya me-toel-toel. Tapi memang begitulah caranya, aku menoel kaki Mama ketika aku ingin susu, dan Mama selalu mengerti mauku. Mama akan membawakan dot susu lalu menggendongku dan menyusuiku seperti bayi! Kadang kala aku dibiarkan menyusu sendiri. Aku akan tidur terlentang dan keempat kaki-tanganku memegang dot, kalau susu itu habis aku akan menendang-nendang dot itu. Oh iya, meski usiaku sudah satu tahun, aku masih suka nge-dot, hihihi.

Atau kalau aku ingin memakan tempe aku akan menoel kaki Ayah, atau kakak-kakakku, dan ketika mereka menoleh aku akan menatap mereka tanpa bersuara. Mereka selalu mengerti, tanpa dipinta dua kali, makanan-makanan kesukaanku seperti tempe, ikan asin, atau daging ayam selalu disisihkan untukku. Aku tidak pernah diizinkan naik ke meja makan karena kalau aku naik, Mama dan mbak Sheilla akan langsung menyentil telingaku dan itu sakit sekali! Makanya, aku tidak pernah berani naik ke atas meja, hanya sebatas kursi dan lalu menoel-noel tangan atau kaki keluargaku.

Ketika aku dimandikan, kata mbak Sheilla aku tidak seperti kebanyakan kucing yang rewel dan kabur karena takut air. Aku sebenarnya takut air! Air itu dingin! Tapi aku mengerti, kalau tubuhku kotor dan bau, keluargaku tidak akan mau menggendongku jadi kalau aku dimandikan, sebisa mungkin aku akan diam sekali pun aku mengigil kedinginan. Sebenarnya mbak Sheilla bilang sesekali aku juga mengeong, tapi aku tidak pernah ingat—mungkin karena aku terlalu membayangkan betapa mengerikannya dan dinginnya air, kali ya. Ohoho!!

Oh, aku juga pernah sakit parah! Waktu kecil, aku pernah jatuh dari lantai dua rumahku dan membuat cairan merah keluar dari hidungku. Mama langsung panik dan memanggil Aa Dzikry juga mbak Sheilla! Aku melihat ekspresi Mama takut sekali tapi aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan. Inginnya aku bilang pada Mama ‘tak apa-apa Mama, aku kuat! Aku tak apa!’ tapi mulutku tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Hingga akhirnya Aa Dzikry dan mbak Sheilla membawaku ke tempat yang penuh dengan hewan-hewan lainnya—dan aku di suntik! Aku di suntik di situ!! Aku benci sekali!! Rasanya sakit! Hiiii~!!!

Aku juga pernah sakit lagi. Waktu itu Aa Dzikry tidak sengaja menindihku dan sikunya mengenai dadaku. Itu sakit sekali, aku hanya bisa meringkuk diam dan setiap kali mbak Sheilla atau kakak Hafidz menggendongku, rasa sakit itu muncul. Mama khawatir, begitu juga dengan kak Hafidz. Di bawa ke dokter lagi pun aku tak mau (meski tidak bisa berbuat apa-apa, huh). Tapi sakit itu tidak lama kok, aku kuat, makanya hanya dengan beristirahat beberapa hari, aku sudah kembali sembuh dan bermain ke sana ke mari.

Kata mbak Sheilla dan Mama, aku adalah kucing yang penurut dan lincah. Waktu itu aku pernah di bawa ke luar jauh dari rumahku, entah dimana, berkali-kali. Aku hanya bisa diam dipelukan mbak Sheilla atau kakak Hafidz atau teteh Dila meski kadang aku selalu melongok ke luar jendela, melihat banyak orang yang aku tidak tahu itu siapa. Tapi aku tenang kok, asal ada susu aku pasti akan duduk tenang di dalam kendaraan. Tapi kalau kendaraan atau tempat yang aku datangi itu panas dan susu habis, aku baru deh mondar-mandir mencari tempat yang adem. Hehehehe. Tapi keluargaku sangat mengerti aku, mereka selalu membasuh bulu-buluku dengan sedikit air dingin agar aku merasa sejuk, dan itu sangat menyenangkanku! Aku sayang sekali dengan keluargaku.

Nama Geboy adalah pemberian dari Mama. Alasan Mama menamaiku itu karena badanku yang besar dan gemuk. Tidak ada yang ingat nama pertamaku siapa bahkan aku pun hanya tahu namaku geboy. Tapi itu tidak masalah, aku menyukainya, karena kalau namaku bukan Geboy, aku tidak akan segemuk ini dan tidak akan membuat keluargaku gemas. Sedangkan nama lengkapku adalah Geboy Superboy! Terdengar keren, ya? Nama panjangku itu diberikan oleh Aa Dzikry. Aku suka sekali nama itu dan sebagai rasa terima kasihku serta membuktikan betapa aku menyukai nama itu, aku sering mengosok-gosokkan tubuhku ke kaki Aa Dzikry tak peduli dia risih atau tidak—hihihi, keluargaku tidak pernah marah padaku sekali pun aku nakal.

Ayah adalah orang yang jarang sekali menyentuhku bahkan menggendongku. Tapi meski pun jarang, aku tahu ia menyayangiku. Kau tahu, aku sering kali dijahili oleh Ayah. Ekorku sering kali di tarik hingga membuatku kesal lalu kemudian aku dikelitiki sampai kelelahan. Atau Ayah sengaja membuat bola-bola kertas untukku agar aku bisa bermain, bahkan memakaikan benda-benda aneh di tubuhku lalu ia dan keluargaku yang lainnya tertawa bahagia. Tak apa, asal mereka bahagia, aku tidak pernah protes dengan apa yang Ayah pakaikan padaku. Toh meski pun jarang Ayah juga pernah menyusuiku dan mengelusku. Aku sayang sekali pada ayah.


Kakak Hafidz juga. Kakak selalu memelukku setiap kali dia datang dari luar rumah. Dia juga tidak pernah mengusirku sekali pun aku seenak jidat duduk di pangkuatnnya ketika kakak sedang sibuk layar besar di hadapannya apalah itu namanya aku tidak tahu. kakak juga sering mengelusku, mengajakku bermain, dan sebagainya. aku sayang sekali pada kakak.

Mama adalah keluargaku yang paling berharga. Segala sesuatunya selalu Mama. Mama memberiku makan, Mama mengelusku, Mama memberiku susu, Mama menemaniku, Mama selalu berbicara padaku, Mama memperhatikanku, dan segala-galanya. Begitu juga dengan mbak Sheilla. Aku berterima kasih sekali pada mbak Sheilla karena telah membawaku ke rumah ini, mempertemukanku dengan keluarga yang sangat baik dan pengertian. Mbak Sheilla yang selalu memberiku makanan enak, mengelusku, memotong kuku-ku, merawatku dari kecil, menemaniku bermain, membawaku ke dokter, dan segala-galanya. Aku sangat sayang Mama, aku sangat sayang mbak Sheilla.

Aa Dzikry juga!! Geboy superboy! Aku suka sekali nama itu! Aku berterima kasih juga bukan hanya sebatas nama, kau tahu, aku pernah dimasukkan ke dalam tas dan di bawa pergi dengan motor oleh Aa pergi keliling-keliling entah kemana, bertemu dengan banyak orang, bertemu dengan teteh Gea dan teman-teman Aa yang lain. Aa membawaku ke dokter, Aa memberiku makanan enak, Aa membawaku jalan-jalan, dan aku ingat, kalau Aa pulang, yang dicari pertama adalah aku! Hohohoh! Aku sayang sekali pada Aa Dzikry.

Lalu teteh Dila yang sering kali memelukku dan mengelusku. Dia tidak pernah marah padaku sekali pun aku nakal. Aku yang sering kali merusak-rusak tugas-tugasnya, mengigit-gigit kertas yang berserakan di kamar, atau mencakar-cakarnya, atau bahkan mempipisinya. Teteh Dila tidak pernah marah—tapi aku tahu ia kesal. Kalau dia kesal, dia hanya menggendongku dan mengeluarkanku dari kamar lalu ia mengurung diri. Aku sering sekali merasa bersalah, tapi karena aku tidak bisa bersuara untuk meminta maaf, aku hanya berdiri di depan pintu kamarnya, menunggu ia keluar. Usahaku berhasil, mungkin inilah yang dinamakan ikatan batin dalam sebuah keluarga. Begitu teteh Dila keluar kamar, wajahnya kembali ceria, dia memelukku dan mengelusku, dia tahu aku merasa bersalah dan dia memaafkan. Aku sayang sekali teteh Dila.

Aku sayang keluargaku, aku bersyukur aku bisa berada dalam keluarga ini sekali pun dengan keterbatasan yang ada. Tak apa, tak apa, aku sayang mereka, aku tidak menuntut apa-apa, asal bersama dengan mereka aku tahu aku baik-baik saja.

Lalu tiba-tiba teteh Dila membawa seekor kucing lain yang cantik, dia di beri nama Moony. Aku ingin sekali berteman dengannya tapi dia cukup galak. Tak apa, tak apa, suatu hari nanti kita akan bermain bersama, percayalah! Tak apa, tak apa, kau tak perlu takut padaku atau bahkan pada keluargaku, mereka orang-orang baik, mereka akan merawatmu sebaik mungkin seperti mereka merawatku! Percayalah!

Hingga pada suatu hari, ada rasa sedih yang menyelimuti dadaku. Aku ingat, hari itu adalah hari minggu malam. Tahu-tahu aku terbangun dari tidurku dan keluar dari selimut hangatku. Satu persatu keluargaku aku datangi, kugosok-gosokkan buluku ke tubuh keluargaku. Aku bersikap manja pada Ayah dan Mama, meminta mereka mengelusku dan memelukku. Lalu setelah aku merasa puas, kudatangi kamar teteh Dila. Kulihat ia sedang sibuk dengan kertas-kertas di lantai hingga aku tidak berani mendekatinya. Aku hanya duduk di pintu, menatapnya dan berharap ia datang kepadaku dan memelukku. Sungguh sangat bahagia ketika teteh Dila benar-benar tahu mauku. Ia menghampiriku dan menggendongku erat sekali meski hanya sebentar lalu ia berkata ia sedang sibuk, tidak bisa mengajakku bermain. Tak apa, tak apa, aku hanya ingin melihatmu, lalu setelah aku puas, aku keluar dan menghampiri kakak Hafidz. Kupinta ia mengelusku dan memelukku seperti permintaanku pada Mama dan Ayah

Aku menghampiri mbak Sheilla sesudahnya meminta hal yan sama. Lalu terakhir aku menghampiri Aa Dzikry yang tengah tertidur lelap di sofa. Aku takut sekali mengganggunya, hingga akhirnya aku hanya bisa menggosok-gosokkan bulu-buluku pada kedua kaki dan tangannya sepelan mungkin agar tidak membangunkannya. Satu persatu keluargaku sudah aku datangi, aku puas, aku bahagia, tapi rasa sedih di dadaku tetap ada. Entah bagaimana cara menghilangkannya, ahirnya aku memutuskan untuk tidur dekat Aa, berharap segala sesuatunya baik-baik saja.

Keesokan harinya aku ingat, begitu aku terbangun dari tidurku, semua sudah kembali sibuk dengan aktifitas masing-masing. Aa Dzikry, Mama dan teteh Dila sudah pergi keluar rumah, hanya ada kakak Hafidz, mbak Sheilla, dan Ayah. Kau tahu, aku tidak pernah keluar lebih dari halaman rumahku. Sebut aku pengecut, tapi aku memang tidak berani. Aku takut membuat keluargaku khawatir kalau aku pergi terlalu jauh, dan Mama pun sebenarnya melarangku, makanya aku tidak pernah pergi kemana-mana sendirian. Tapi hari ini, aku ingin keluar, aku ingin bermain lebih jauh dari biasanya, aku ingin menjelajah lebih jauh—naluri seekor kucing, bagaimana pun aku ini kucing, dan aku ingin berpetualang!

Tapi mungkin inilah hukuman bagi anak nakal yang tidak menurut dengan ucapan Mama-nya.

Aku memakan sesuatu yang tidak pernah keluargaku berikan.

Aku keracunan.

Tenggorokkan dan perutku sakit sekali. Aku terus mengeluarkan darah dari mulutku karena rasa sakit yang aku rasakan. Aku berlari kembali ke rumah, berusaha berteriak meminta tolong pada Ayah dan Mama meski suara yang aku keluarkan hanya seperti suara batuk-batuk tak jelas. Aku tidak bisa bergerak karena sakit dan lemas, aku hanya bisa terkapar di depan garasi, terus berusaha berteriak memanggil Ayah dan Mama. Tapi yang mendengarnya adalah kakak Hafidz dan aku bersyukur sekali ketika melihatnya keluar. Ia berteriak memanggil Ayah, dan Ayah langsung keluar lalu menggendongku ke dalam rumah. Aku terus batuk-batuk dan mengeluarkan darah.

Ayah yang jarang sekali memelukku kini memelukku erat sekali. Ia menatapku sedih, dan aku tidak tega melihatnya. Aku berusaha berbicara ‘ayah, ayah, jangan menangis, aku tak apa, aku baik-baik saja, nanti juga sembuh’ meski yang keluar dari mulutku hanyalah suara batuk-batuk disertai darah. Aku pun melihat kakak mondar-mandir mengelap darah yang dari mulutku, aku berusaha berbicara, ‘kakak, kakak, jangan, nanti bajumu kotor, nanti Mama marah kalau bajumu kotor.’ Meski lagi-lagi hanya ada suara batuk tak jelas.

Semakin lama tenggorokkanku semakin sakit disertai sesak nafas. Mbak Sheilla menghampiriku, menangis melihatku. Kalau aku bisa menangis, aku pun ingin menangis. Kalau aku bisa berbicara, aku ingin bilang ‘mbak, mbak, jangan sedih, jangan menangis, maafkan aku, aku nakal karena tidak menuruti perkataanmu’ tapi suaraku tidak keluar, justru semakin sesak dan sakit.

Mungkin inilah yang dinamakan firasat atau insting.

Aku tidak lagi kuat menahan rasa sakit yang ada di tenggorokkan dan perutku. Kutatap keluargaku satu-per-satu, Ayah, kakak Hafidz, dan mbak Sheilla. Mbak Sheilla mengelusku dengan sayang. Kunikmati sentuhannya, sentuhan kakak, serta pelukan Ayah sambil memejamkan mata. Dan untuk terakhir kalinya, aku menatap keluargaku lagi, meski tak ada Mama, Aa Dzikry, dan teteh Dila di situ, aku yang tak bisa bicara ingin sekali menyampaikan bahwa aku menyayangi kalian, aku berterima kasih pada kalian, aku bersyukur menjadi bagian keluarga dari kalian. Sudah waktunya aku pergi, sudah waktunya aku meninggalkan kalian. Mungkin ini hukuman Tuhan karena aku tidak menurut pada Mama, ini sudah jalan-Nya.

Tapi tak apa, tak apa, aku bersyukur bertemu kalian, aku bahagia, aku sungguh bahagia.

Dan yang terakhir aku dengar adalah suara lembut dari mereka.

Lalu segalanya menjadi gelap gulita.






========================
Geboy Superboy.
06 Januari 2008 – 05 Mei 2009
========================


Setelah mendapatkan kabar Geboy mati, Aa Dzikry yang saat itu sedang berada di jatinangor langsung pulang ke rumah tanpa tendeng aling-aling, menangis sepanjang ia mengendarai motor. Mama pun begitu, Mama yang sedang berada di rumah temannya langsung pulang sambil menangis, begitu pun dengan Dila, yang langsung meminta izin pada asdos untuk pulang dan menangis sepanjang perjalanan. Kami memang tidak berada di tempat saat Geboy mati, tapi kami bersyukur, kami masih bisa melihat tubuh geboy untuk terakhir kalinya. Moony menunjukkan rasa kehilangannya dengan terus menerus berada di depan pintu kamar mandi belakang, tempat terakhir Geboy sebelum ia dikuburkan.


Kami ikhlas, Geboy. Kami ikhlas—
—Pergilah nak, semua akan baik-baik saja setelahnya.”




Label: , , , ,



+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous // Next