Moony,
Sabtu, 07 Juli 2012
@7/07/2012 08:24:00 PM
MOONY
Aku tidak ingat tepatnya kapan aku di bawa ke rumah
ini.
Yang aku ingat, namaku Moony, dan yang membawaku
adalah teteh Dila dan Mama.
Saat itu aku sedang berjalan-jalan di tengah gelapnya
malam. Warna buluku ada tiga, putih, hitam, dan cokelat-nyaris-oranye. Lalu
tahu-tahu ada seorang anak perempuan yang datang menghampiriku, memelukku
dengan hangat dan mengelus bulu-buluku dengan sayang. Dia berkata aku lucu, aku
cantik, dan aku menggemaskan. Setelah itu ia membawaku ke sebuah rumah dimana
sudah ada seekor kucing bernama Geboy, dan sejak saat itu, aku menjadi salah
satu bagian dari keluarga kecil itu. Aku pun mulai mengenal mereka satu
persatu. Ada Mama, Ayah, Aa Dzikry, mbak Sheilla, kakak Hafidz, dan teteh Dila.
Mereka adalah manusia-manusia yang baik, yang memberiku makan dan tempat
tinggal.
Saat itu usiaku masih sekitar lima atau enam bulan.
Aku masih anak-anak jadi hampir setiap hari aku menghabiskan waktu dengan
bermain. Kucing yang bernama Geboy adalah teman bermainku secara tidak
langsung. Aku memang tidak mau dekat-dekat dengannya karena rasanya asing
bagiku. Tiap kali ia mendekat aku akan mengusirnya dengan cakarku. Aku mengeong
keras serta mendesis agar ia pergi. Tapi kalau ia pergi, aku justru mendekat
dan memukul-mukulnya, mengajaknya bertengkar agar lebih seru. Sebut aku tsundere, tapi memang begitulah.
Awalnya aku kira aku akan tetap bersama dengan Geboy,
bermain setiap hari, saling memukul, dan berebut makanan dengannya. Namun
ternyata suatu hari aku melihat keluarga baruku dilanda kesedihan luar biasa,
semua matanya merah karena air mata, dan aku melihat Geboy di depan pintu kamar
mandi di belakang tergeletak tak berdaya. Bau asing keluar dari tubuh Geboy
sehingga membuatku enggan mendekatinya. Meski samar-samar bau Geboy masih bisa
kucium, entah kenapa aku tidak mau dekat-dekat dengannya. Teteh Dila memelukku,
membawaku keluar rumah dan membiarkanku jalan-jalan. Tentu, pada dasarnya aku
adalah kucing jalan, maka begitu aku diizinkan keluar rumah, aku jalan-jalan
sesuka hati, kesana-kemari.
Dan begitu aku kembali ke rumah, Geboy sudah tidak
ada.
Aku sering kali berada di tempat Geboy terakhir
tidur—ya, di belakang, tepat di depan pintu kamar mandi. Duduk termangu di situ
sendirian, berusaha mencari-cari bau Geboy yang entah kenapa seketika hilang
dari rumah itu. Kadang kala, teteh Dila datang menghampiriku dan memelukku,
membawaku ke ruang tengah. Ia, Mama, dan mbak Sheilla mengelusku dengan sayang.
Teh Dila sering kali berkata bahwa ‘tak
apa, tak apa, Geboy sudah bahagia di sana dan kau tak akan sendirian di sini,
percayalah’ padaku berkali-kali, dan aku mempercayainya. Meski butuh waktu
yang lama, meski sepi, akhirnya aku bisa melupakan Geboy.
Tidak, sebenarnya aku tidak benar-benar melupakan
Geboy seperti keluargaku yang tak pernah melupakannya, tapi setidaknya aku
mulai bisa bermain ke sana ke mari seperti biasa lagi. Aku tidak mau membuat
keluargaku ini sedih karena aku terus termangu di depan pintu kamar mandi di
belakang, makanya aku mulai kembali bermain.
Hmm, hmmm, kau tahu, aku kucing betina, dan aku—yah,
aku harus mencari pacar.
Dan kau tahu, aku memiliki anak. Aku hamil.
Aku tahu, keluargaku enggan menerima kenyataan kalau
aku akan memiliki anak, yang artinya biaya yang mereka keluarkan untukku dan
keluarga kecilku pasti akan lebih besar. Aku sudah takut aku akan dibuang, tapi
ternyata enggak. Aku tetap dibiarkan tinggal, di beri makan, dan di sayang.
Namun sayang, belum sempat anak-anakku melihat dunia, aku keguguran.
Aku percaya mbak Sheilla menyayangiku, makanya dia
sempat memelukku erat sekali sampai-sampai perutku tertekan dan itu rasanya
sakit. Aku tidak banyak bergerak setelahnya, selama sehari penuh aku terus
tidur dan berguling menahan sakit. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, janin
di perutku pada akhirnya keluar sebelum waktunya dan aku pun keguguran. Teteh
Dila melihat kedua anakku, ia menangis dan mengelusku dengan sedih, menyadari
bahwa sebenarnya aku pun menangis, tapi terima kasih, kalau bukan karena teteh
Dila yang memanggil Ayah untuk mengubur mereka, mungkin anak-anakku saat itu
sudah akan dimakan oleh predator lain.
Tak apa, tak apa, dengan kalian tetap merawatku, aku
tetap bahagia.
Aku masih dilanda duka ketika suatu hari Ayah pula
membawa lima ekor anak kucing dalam satu kotak kardus berwarna coklat. Aku
mendesis marah. Siapa mereka?! Bau kucing yang tak kukenal! Ini areaku, ini
rumahku! Tapi aku sebagai ibu, naluriku tak bisa kuhindari. Ku dengar mereka
mengeong penuh kesedihan, memangil ibu mereka masing-masing, ‘Ibu, ibu, kamu dimana? Ibu, ibu, aku lapar!’
berkali-kali. Aku mendekat dan kudapati kucing-kucing itu menatapku. Si hitam
yang di beri nama Hara menyapaku dengan lemah, lalu saudaranya yang berwarna
putih bernama Mano. Begitu juga dengan dua kucing kembar bercorak garis dan
berwarna hitam-putih yang dinamai Ahsyong dan Apin. Aku mengendus bau mereka,
mencoba untuk mengenali dan mendekati. Tapi kemudian aku sadar, ada satu kucing
yang tak bersuara, duduk di pojok dengan bau kotoran yang melekat begitu hebat
di sekujur badannya. Warna oranye dengan sedikit corak putih di badannya—oh
Tuhan, seperti Geboy! Hanya saja lebih kurus! Saat itu juga aku langsung
menyayanginya. Akan aku rawat ia seperti anakku sendiri.
Hari demi hari aku lalui bersama anak-anak angkatku.
Ahsyong dan Apin pergi meninggalkan rumah karena ada manusia lain yang
mengambilnya dan berjanji akan merawatnya. Aku tidak tahu apakah mereka
benar-benar di rawat dengan baik atau hanya kedok semata, tapi setidaknya aku
terus berdoa semoga mereka baik-baik saja. Tinggallah Mano, Hara, dan Aboy
(betapa terharunya aku ketika keluargaku menamai mereka Aboy!). Sedih rasanya
setiap kali melihat ke arah kandang dan mendapati Aboy diasingkan karena
penyakitnya yang terus menerus buang air besar. Keluargaku lebih mencintai Mano
dan Hara.
Tapi Tuhan Maha Adil, dan Ia menuntut keadilan.
Hara mati beberapa hari kemudian karena penyakit aneh
yang menggerogoti tubuh mungilnya. Ia mati dengan tenang, tertidur lelap di
atas sofa tepat di samping Mano yang juga kesakitan. Mano jauh lebih kurus dari
pada Hara ketika ia menyusul saudaranya. Perjuangan keluargaku yang membawa ia
pergi ke dokter adalah sebuah kesia-siaan belaka. Mano meninggal di atas kasur
kesayangannya, dan mereka di kubur berdampingan. Saat itu, barulah keluargaku
mulai memperhatikan Aboy. Tidak, tidak, sebenarnya tidak terlalu memperhatikan,
hanya Mama dan teteh Dila-lah yang datang kepadanya, mengelus dan membersihkan
setiap kotoran yang menempel di tubuhnya.
Lalu aku pun kembali hamil, kulahirkan empat anak
kucing berwarna hitam-abu-abu-putih dengan corak loreng-loreng seperti macan.
Yang pertama kali melihatku dan anak-anakku ini
adalah teteh Dila, lalu Aa Dzikry datang dan tersenyum bahagia, ia
menunjuk salah satu anakku, yang besar dan gemuk—anak pertamaku, namanya Blero.
Lalu Mama memberi nama anak keduaku dengan nama Luna, karena ia manis
sepertiku, aku sendiri bernama Moony, yakni bulan, dan Luna pun katanya adalah
bulan. Lalu dua lagi bernama Ipin dan Upin karena kembar, mirip seperti Ahsyong
dan Apin.
Kupikir aku akan berbahagia dengan anak-anakku dan
Aboy selamanya, tapi tidak.
Suatu hari ketika sofa di rumahku sedang dibersihkan,
aku tidak tahu anak-anakku sedang bermain di situ. Kecelakaan tragis itu pun
terjadi. Sehari setelah sofa itu dibersihkan, aku kehilangan Ipin. Kuendus
setiap sudut rumah untuk mencarinya dan betapa sakitnya hati saat mengetahui
bau Ipin ada di sofa. Aku menjerit, mengeong keras, meminta pertolongan pada
keluargaku. Ku dorong pintu kamar Mama dan Ayah sambil terus menjerit dan
membuat mereka kebingungan. Aku terus mondar-mandir di sofa dan Ayah langsung
mengangkatnya. Hatiku semakin sakit ketika melihat anakku mati karena tertindih
sofa.
Kesedihanku tidak berhenti sampai di situ. Beberapa
hari setelahnya Upin pergi menyusul saudaranya karena penyakit yang sama yang
mendera Mano dan Hara. Begitu pun dengan Luna. Anakku pergi satu persatu
meninggalkanku, Blero, dan Aboy. Aku ingin menangis, kenapa aku harus tersiksa
seperti ini.
Dan puncak kesedihanku adalah ketika aku dipisahkan
oleh Blero dan Aboy.
Mama tampak sedih melihatku untuk yang terakhir
kalinya. Aku tidak tahu apa-apa saat itu, yang kuingat hanyalah dekapan hangat
mbak Sheilla. Ia membawaku pergi dari rumah ketempat yang tidak aku kenal. Aku
gelisah, aku takut, ini dimana. Banyak orang yang tak kukenal! Banyak kendaraan
yang sangat berbahaya! Banyak bau kucing yang mencurigakan! Aku berteriak,
menoleh menatap mbak Sheilla yang menangis meninggalkanku. Aku berlari
mengejarnya tapi ia terlalu cepat sehingga tak mampu kukejar.
Percayalah, keluargaku memutuskan untuk membuangku.
“Mama,
kenapa kau membuangku? Mbak Sheilla kenapa kau meninggalkanku?
Bagaimana
anak-anakku? Bagaimana mereka? Sehatkah mereka?
Mama, cari aku, cari aku, aku
ingin pulang, aku ingin kembali kepangkuanmu.
Kembalikan aku ke tempatmu,
aku ingin bersama anak-anakku."
Label: Cat, curhat, Journal, Moony, Random, Real World