Daniswara
Minggu, 26 Agustus 2012
@8/26/2012 04:54:00 PM
“Elu waktu SMP pernah nonjok gue—”
…hah?
“—pernah nyeburin gue ke kolam pas dulu di Ciwidey—”
Hah??
“—terus gue pernah ga tidur cuma gara-gara nemenin elu pas perpisahan SMP.”
HAH?!
“Dan lu bisa ga sih, gak ber ‘Hah-Hah’ kayak orang bego?” pemuda itu tertawa, tapi kedua alisnya saling bertautan entah maksudnya benar-benar tertawa atau mengejek atau bahkan bingung dengan reaksi gadis dihadapannya. Malika, yang mendengar penuturan teman semasa SMP-nya itu perlahan-lahan menggeleng, mengernyit dengan mulut terbuka dan mungkin benar-benar terlihat seperti orang bego saat mendengar apa yang barusan pemuda berwajah oriental itu katakan. “Lu ga inget?” Malika menggeleng lagi, “Seriusan?” Memiringkan kepalanya sedikit ke kiri, mengernyit dan mendengus kesal, Malika mengangguk.
“I forget things almost instantly—atau, yaaah, gue ini pelupa, J…”
“Tapi ga mungkin lupa semuanya, kan?”
“Enggak, gue masih inget sedikit atau seenggaknya sebagian masa-masa SMP, tapi sisanya blank. Gue ga inget tentang perpisahan, gue ga inget tentang masa-masa sekolah—oh gue bahkan ga inget gue ini kelas apa aja, yang gue inget gue cuma kelas 3D—gue ga inget nama penjaga warung di sekolah, bahkan reuni kemarin sebagian besar gue ga inget siapa mereka!!” Malika nyengir kikuk, kebiasaannya yang memang cepat melupakan sesuatu memang selalu membuat kebanyakan orang terkejut. Yah, diumurnya yang masih menginjak dua puluh tahunan, daya ingatnya yang menurun drastis tentu sangat mengejutkan. Meski sebagian besar lebih ke arah kesal ketimbang terkejut, sih. “Gue hanya inget beberapa kawan yang memang gue kenal sampai sekarang. Maksud gue, masih ngobrol—Seno, Davina, elu, Mayo—atau orang-orang yang emang mukanya gak berubah kayak Angga, Anggun, dan Yasmin. Sisanya?” Malika angkat bahu sekilas. “Kemarin kita sempat ngobrol sama anak-anak Reka Rupa, kan? Pengakuan dosa, gue ga inget mereka siapa.”
Pemuda itu tertawa, dan Malika secara refleks menendang tumitnya sembari manyun. “Brutal!” katanya setengah bercanda. Namanya Daniswara, yang kalau bahasa Jawa artinya orang yang mandiri. Tapi baik Malika mau pun teman-teman lainnya selalu memanggil dengan nama J dengan pelafalan Ji atau Jey dari kata DJ. Malika sendiri sebenarnya tidak tahu kenapa dia di panggil begitu, jelas-jelas tidak ada huruf ‘J’ di namanya; tapi teman-teman SMP-nya memanggilnya begitu dan Malika ikut-ikutan saja. Mungkin sebenarnya dulu dia pernah bertanya, tapi dia lupa. Biasalah, namanya juga Malika, si pelupa. J adalah teman SMP Malika, sampai sekarang untungnya masih sering berkomunikasi baik lewat message atau jejaring sosial. Dulu pernah hilang kontak, tapi diingat-ingat, selalu—atau sebagian besar Malika-lah yang menghubunginya. Contoh sederhananya seperti memberi tahu nomor ponselnya pada J padahal pemuda itu tidak meminta, atau sekedar iseng bertanya ‘hai apa kabar?’ tanpa ada angin apa pun.
“Gue kan, gak ada keinginan buat lupa.” Gadis itu cemberut, mengalihkan pandangannya ke kopi yang tengah ia aduk-aduk untuk menghilangkan kekesalannya. J tertawa, lalu meminta maaf. “Sorry, gue ga tau kalau lu lupa separah itu, well gue juga pelupa,” sekilas, pemuda itu tersenyum “mau gue bantu inget tentang masa-masa SMP gak?” tawarannya sangat menggiurkan, siapa sih yang tidak ingin bernostalgia dengan kenangan masa-masa muda? Atau tepatnya masa-masa anak remaja? Malika hanya tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Antara pengen dan enggak sih. Kadang melupakan sesuatu itu bagus juga.” Jawabnya kalem. J mengangkat alisnya, jelas ia tidak mengerti pernyataan dari bibir gadis berambut hitam itu. Tapi Malika hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis—sikap tertutupnya seperti biasa, dan J mengerti.
“Okay. Tapi lu ga lupa kan, kalau dari dulu gue suka sama lu?”
Malika tidak menjawab, hanya tetap pada senyuman tipisnya. “Sampai sekarang?” J memutar matanya sebentar, lalu kembali menatap Malika dengan anggukan kepala yang mantap. “Tujuh tahun J, lu suka sama gue—bahkan mungkin lebih?” J mengangguk lagi. “Dulu gue pernah suka sama orang lain, tapi setiap kali ngobrol sama elu, memori itu muncul lagi—yah, terserah sih lu sebut gue apa, tapi faktanya begitu kok,” pemuda itu bercerita panjang lebar, tanpa di pinta. “Dan kayaknya sih cuma elu yang bikin gue begini.” Keduanya terdiam sesaat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan yah, suasana menjadi sedikit canggung. Malika tahu, sebenarnya bukan maksud J membuat suasana jadi tidak enak seperti ini, bahkan Malika sanksi, pemuda itu juga tidak pernah berencana berbicara seperti ini—berawal dari reuni sekaligus buka puasa bersama teman-teman SMP kemarin, ketika Malika sering menyikut siku J sambil berbisik siapa orang itu atau orang yang di sana, dan berujung menghabiskan waktu berdua di rumah kopi. Keduanya fanatik kopi, meski J jauh lebih ekstrem ketimbang Malika.
J masih sibuk dengan kopinya. Dari penuturannya, Rumah Kopi yang berada di sekitar dago atas adalah salah satu tempat nongkrong kopi yang enak. Tidak terlalu mahal, tidak murahan juga. J bilang, kadang kopi tidak harus selalu di beri gula atau pemanis tambahan. Sensasi dari rasa pahit yang ditimbulkan oleh kopi itu adalah cita rasa yang sebenarnya sangat enak. Seperti misalnya beberapa jenis wine yang pernah ia minum. Malika seketika mengangkat kepalanya, mengalihkan pandangannya dari kopi yang sedari tadi ia aduk. “Lu minum wine, J?” polos, gadis itu bertanya. J hanya merespon sedikit; mengangkat alisnya lalu tertawa kecil. “Seriusan?” ngotot, Malika kembali bertanya.
“Kenapa memangnya? Gue minum wine yang emang buat formalitas aja kok,” pemuda itu menyebut beberapa nama merk wine yang hanya direspon sekilas oleh Malika. Gadis itu tidak mengerti, tentu saja. “Wine itu kan emang buat orang yang enggak biasa, atau baru nyoba, pasti rasanya pahit atau anehlah. Tapi kayak kopi, justru kalau lu minum dengan cara yang benar, dengan gelas, gerakan, dan hal-hal lainnya yang sesuai, wine itu bakal enak banget. Di Eropa, orang-orang sana pasti bakal mati kalau enggak minum wine karena pada dasarnya wine itu minuman yang menghangatkan,” pemuda itu masih terus mencerocos tentang wine dan Eropa, sedangkan Malika hanya mendengarkan dengan ekspresi datar bahkan nyaris menunjukkan tanda tanya secara terang-terang. Ingin rasanya gadis itu berkata ‘ibarat wine itu minuman jahe kalau di Indonesia’ tapi karena J sangat antusias menceritakan tentang Eropa, rasanya tidak sopan. “Ngerti gak lu?” surprise, pemuda itu memecah lamunan Malika. “Oke, nyengir artinya lu setengah mengerti.” Lanjutnya; Malika tertawa.
“Gak pernah sampai mabuk?” J menggeleng. “Kalau gue mabuk, artinya gue gak bertanggung jawab dong,” jawabnya cepat, dan Malika menghela nafas. “Kenapa emangnya?” ingin rasanya Malika menendang tumit J atau mendepak pemuda itu jauh-jauh. Memilih untuk tidak menjawab, Malika meminum kopinya sambil menatap ke sekeliling. Rumah Kopi entah kenapa berkesan seperti rumah tradisional Indonesia atau hmmm sedikit berkesan seperti rumah Belanda jaman dahulu. Menurut Malika sih, begitu, karena banyak ukiran-ukiran kayu dan beberapa furniture tradisional yang pernah Malika lihat di beberapa tempat. Bahkan, Malika dan J sekarang tengah duduk di salah satu tempat lesehan yang beralaskan karpet hitam bercorak abstrak campuran antara warna cokelat, kuning, dan sedikit putih dengan dua bantal besar yang digunakan sebagi penyangga punggung. Di hadapan Malika terdapat ruangan khusus karyawan Rumah Kopi yang dinding-dindingnya terbuat dari bata merah asli. Belum lagi tepat di sebelah kiri Malika ada sedikit halaman dengan hamparan rumput hijau dan lampu-lampu taman dengan pemandangan langit cerah penuh bintang. “Tempatnya asyik, kan? Ntar kapan-kapan gue ajak lu ke sini lagi deh,” sepertinya, J memang punya kemampuan membaca pikiran orang.
“Besok-besok juga boleh. Asal jangan ajak gue minum-minum.”
“Gue gak minum-minum! Dibilangin cuma formalitas aja!” J protes, gemas. Malika hanya cekikikan. “Well, gue boleh tanya sesuatu?” J menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sembari meletakkan cangkir kopinya ke atas piring kecil. Mata cokelatnya menatap lurus memandang Malika, dan gadis itu salah tingkah dibuatnya. Malika hanya bisa menghela nafas, menunduk menatap kopinya lagi. Ini bukan kali pertama dia mendapati J menatapnya diam-diam seperti itu. Ada sesuatu yang menggelitik di tatapannya, tapi Malika sendiri tidak tahu apa itu.
Setelah sekian menit menunggu, J bertanya pelan “Kita ini sebenarnya apa, sih?”
“Manusia?”
“Bukaaaan!!!”
Malika terkikik geli, ingin rasanya dia kembali celetuk hal-hal lainnya, tapi entah kenapa mulutnya tidak terbuka sama sekali. “Maksud gue bukan itu!” J mendengus kesal tapi masih tersenyum geli. Untuk beberapa saat, gadis itu kembali terdiam; meneguk kopinya perlahan-lahan, mencoba menikmati sensasi rasa kopi yang sempat dituturkan oleh J. Tapi sebenarnya bukan itu, Malika sedang kembali jauh ke dalam pemikirannya yang tidak bisa disentuh oleh siapa pun, memikirkan pertanyaan J yang sebenarnya sudah pernah ia ditanyakan dulu. Bagi Malika, kali ini jawabannya harus benar-benar pasti. Setidaknya, agar keduanya tidak merasa terbebani. “Mal?” J bertanya lagi, tidak sabar. Cangkir kopinya diletakan, dan gadis itu menatap mata cokelat di hadapannya.
“Menurut kamu?” Itu tentu bukan jawaban, baik Malika mau pun J jelas tahu itu. Tapi dan setidaknya, J tahu apa maksud perkataan Malika, dan pemuda itu tertawa pelan. “Dasar tsundere.”
Label: Cerpen, J, Malika, Real World