Memori
Kamis, 11 Oktober 2012
@10/11/2012 08:56:00 PM
Cerita tentang Matheo mengalir begitu saja dari bibirku. Lancar tanpa jeda.
Hebatnya, tidak ada air mata.
J bertanya padaku perihal Matheo, dan tanpa basa-basi kuceritakan semua tentang pemuda kelahiran Jakarta awal Agustus itu. Tentang bagaimana aku menyukainya, bagaimana aku menunggunya, bagaimana aku berubah karenanya, dan tentu saja aku juga bercerita bagaimana aku hancur karenanya. Memang kuakui, tidak semuanya kuceritakan pada J tentang siapa Matheo, tentang bagaimana sosok Matheo yang sebenarnya—seperti There, kukatakan bahwa mereka tidak mengenal Matheo seperti aku mengenalnya, dan aku hanya menceritakan hal-hal yang umum. Well, mungkin bagi mereka umum, tapi bagiku tidak, dan kukatakan sekali lagi, mereka tidak mengenal Matheo seperti aku mengenalnya. Namun kutekankan pada J bahwa aku tidak lagi memikirkan Matheo—dan aku sama sekali tidak membencinya. Biasa-biasa saja, tidak lebih dan tidak kurang. J bertanya apakah aku masih sering menghubunginya atau tidak, dan aku hanya bisa menghendikkan bahuku. Kadang kami saling kirim message, atau sms, tapi itu benar-benar sangat jarang. Sesekali Matheo meneleponku, tapi aku bilang dan memang ini yang sebenarnya, kalau aku enggan menerima telepon darinya. J menatapku, bingung. “Aku pernah berkata padamu, kadang melupakan sesuatu itu adalah cara yang terbaik.” Jawabku meski aku yakin, ucapanku itu sama sekali tidak bisa diterka maksudnya apa.
Dan pemuda dihadapanku itu tersenyum, mengangguk sembari menggenggam tanganku erat-erat.
Aku mengernyit. “Boleh aku tanya sesuatu, J?” mata cokelat itu menatapku dan lagi-lagi seperti ada yang menggelitik ketika tatapan kami bertemu. Aku suka matanya, tapi terkadang aku kesal dengan sensasi yang dibuatnya. Tidak terbiasa, mungkin. “Tanya apa?” J bertanya lembut, tangannya masih menggenggam tanganku dan aku pun menunduk menatap kedua tangan yang sedang bertautan itu. “Kenapa kamu senang sekali memegang tanganku?” jeda sebentar, aku menghela nafas. “Aku tidak terbiasa di pegang tangannya seperti ini, jujur saja,” kataku pelan, takut menyinggung perasaan J. Di luar dugaan, J tertawa. “Kalau ibarat kita ini murid Hogwarts ya Mal, dan kita sedang berada di kelas Patronus, memegang tangan kamu adalah ingatan yang membuatku paling bahagia.”
Untuk beberapa saat, J tidak berkata apa-apa dan aku menunggunya dengan sabar. Ucapannya sama sekali tidak menjawab apa-apa—menjawab sih, tapi masih menyisakan tanda tanya. J tersenyum melihat wajahku, dan aku secara refleks ikut tersenyum juga. “Dulu, waktu aku akhirnya bisa ngajak kamu jalan ke BIP buat nonton film Meet the Fokker, di situ pertama kalinya aku bisa megang tangan kamu, dan rasanya seneng banget. Malah, filmnya sama sekali enggak aku perhatiin,” dia tertawa kecil, sedangkan aku hanya bisa menatapnya kikuk. Memori dikepalaku berputar-putar, kupaksakan diri untuk mengingat kenangan bersama dengan J sewaktu SMP meski berujung membuatku sakit kepala. Dan lamunanku buyar ketika pemuda bermata sipit itu kembali bercerita “Kamu tahu, kapan aku pertama kali suka sama kamu?” pertanyaannya membuatku menggeleng cepat. Aku sama sekali tidak tahu—aku hanya tahu dia menyukaiku sejak SMP, tapi sejak kapan lebih tepatnya aku tidak tahu apa-apa. “Dulu, kita pernah ikut event di Jalan Jakarta untuk menggambar di tembok dengan tema Bandung. Di situ aku pertama kalinya digodain anak-anak karena ketahuan merhatiin kamu, dan yah, namanya juga anak SMP,” dia tersenyum, matanya menatapku tapi aku yakin, J sedang kembali ke memori-memori SMP-nya “Dan entah kenapa kenangan itu susah banget dilupain.”
Aku tersenyum tipis, menunduk malu karena entah kenapa tiba-tiba mukaku terasa panas. “Aku… sama sekali enggak inget kalau dulu kita ikutan event di Jalan Jakarta itu—samar-samar, iya, aku ingat, tapi sepertinya enggak sekuat memorimu,” J nyengir, dia memaklumi. “Lalu?” kutuntut pemuda itu untuk terus menceritakan tentang kisahnya—entah kenapa aku sangat penasaran. “Sebenarnya, untuk yang paling pertama kalinya itu pas lagi upacara. Kamu dapat simpati aku saat itu.”
“Upacara? Kakiku kena kenalpot?” J pernah cerita seperti itu, makanya aku langsung bertanya.
Tapi J menggeleng. “Bukan—sorry ya kalau bikin sedih, tapi waktu itu, ada kabar kalau sepupu kamu meninggal dan kamu sedang menangis dibelakangku,” aku mengerjapkan mata, sedikit kaget karena J masih ingat tentang almarhum sepupuku itu. Yah, diingat-ingat, aku memang sangat kehilangan, begitu juga kakakku. Taruhan, pasti diingatan J, kakakku yang kebetulan satu SMP dengan kami juga menangis sedih sepertiku. “Nah, di situ aku mulai penasaran tapi aku belum tau nama kamu, kalau enggak salah, kelas 1 akhir apa kelas 2 awal gitu, aku juga agak lupa,” J menggenggam tanganku lembut, mengusap-usap punggung tanganku yang bisa kuartikan sebagai gerakan menenangkan—dia pasti khawatir aku kembali sedih mengingat tentang sepupuku. Tapi yang bisa aku lakukan hanya tersenyum dan berkata “lanjutkan ceritamu,” padanya. J kembali bercerita, matanya menatapku. “Akhirnya, karena penasaran, aku tanya sama anak-anak yang kebetulan ada di barisan kamu, nanya siapa nama kamu. Setelah tahu siapa kamu, anak kelas mana, dan ikut ekstrakulikuler apa, aku putuskan untuk pindah ekstrakulikuler yang sama—dari Palang Merah ke Reka Rupa. Yah, sebenarnya juga karena bosen, sih.”
“Lalu di Reka Rupa, aku kenal kamu, ikut-ikutan manggil kamu ‘J’, dan sering ngobrol…”
“Iya, kamu waktu itu benar-benar galak—kau tahu, bahkan ayahku ingat kamu pernah nyakar aku.”
“HAH?!”
Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional itu tertawa. “Yah, begitulah. Kamu tahulah aku kan dekat dengan kedua orangtuaku—jelas mereka tahu aku suka siapa waktu itu, dan segala-gala cerita tentang kamu aku ceritain. Termasuk kamu yang galak itu,” mungkin, kalau dihadapanku ada cermin, pasti mukaku sudah merah seperti kepiting rebus. Bahkan pipiku terasa panas. Aku malu. “…seriusan,” J tertawa mendengar keluhanku dan dia hanya mengacak-ngacak rambutku dengan sayang. “Kamu ingat kita pernah ke Nu Art sama anak-anak Reka Rupa?” aku mengangguk, memori tentang museum seni yang pertama kali aku datangi saat itu jelas sangat membekas di kepalaku, tentang patung besar, membuat patung tanah liat berbentuk kucing bersama Davina, melihat karya-karya seni yang tidak hanya berupa lukisan atau patung, dan sebagainya. “Aku enggak pernah luput merhatiin kamu.”
Panas. Pipiku panas. Dan jantungku berdetak cepat.
“Aku tidak pernah ingat apa-apa tentang masa-masa SMP—bahkan denganmu,” sebenarnya aku tidak mengerti, yang sekarang ini aku rasakan adalah malu atau takut, atau bahkan kecewa. Semacam rasa sakit tiba-tiba menusuk di dadaku mendengar semua penuturan J. “Kadang kepikiran aja sih apa kamu kecewa atau enggak,” kuucapkan kegelisahanku pada akhirnya, dengan suara pelan, sangat pelan bahkan sampai-sampai J harus mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan tubuhku, dan menoleh sedikit ke kanan agar telinga kirinya bisa benar-benar mendengar ucapanku barusan. Kuulangi perkataanku lagi; lebih pelan. J tersenyum memaklumi. “Tidak apa-apa, sebenarnya aku juga udah nebak-nebak sih kamu pasti enggak ingat apa-apa. Tapi aku yakin, semua itu bukan berarti kamu enggak punya kenangan apa-apa,” genggamannya semakin erat, tapi sama sekali tidak membuatku kesakitan. “—ada sih yang aku ingat, satu hal, tapi ini norak,” aku cengengesan, padahal cerita saja belum, “kamu enggak pernah ganti nomor handphone sejak SMP, kan?” ekspresi J kaget, dan itu di luar dugaanku.
“Loh kok tahu?”
“Tiga digit nomormu itu paling nempel di kepalaku. Bahkan… aku dari dulu ingat nomormu.”
“Wah?”
Mataku berputar-putar menatap sekeliling, agak kikuk, malu-malu untuk bercerita. “Dulu kamu pernah kehilangan handphone—eh apa simcard-nya yang patah ya, aku lupa—dan aku tanya ‘berarti kamu ganti nomor dong’ dan kamu bilang enggak ganti nomor, nomor kamu tetap sama karena kamu pernah daftar fitur apa gitu langsung di provider-nya jadi kamu bisa minta simcard baru dengan nomor yang sama,” J langsung tertawa mendengar ceritaku, padahal aku belum selesai bercerita; aku keheranan melihatnya. “Oooh!! Iyaa! Aku ingat! Hahahah,” kugaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya sama sekali tidak gatal sewaktu melihat J tertawa lepas seperti barusan. “Norak, kan?” tanyaku. J masih terkikik geli. “Nope. Malah aku tersanjung loh kamu inget nomorku.”
Aku tersipu, dan J kembali bercerita.
“Dulu, inget ga, aku sering nelepon ke rumahmu?” aku menggeleng pelan ketika dia berkata seperti itu. “Cuma untuk berbicara denganmu, aku bela-belain keluar rumah, ke wartel buat nelepon kamu, denger suara kamu, hahahaha.” J menggenggam tanganku dan aku perlahan-lahan membiasakan diri dengan perlakuannya itu. Memang, jujur saja aku sangat jarang berpegangan tangan dengan laki-laki bahkan dengan Matheo pun bisa dihitung dengan jari berapa kali kami berpegangan—malah kebanyakan, aku sendiri yang secara refleks menarik tanganku agar lepas dari tangannya. Tidak terbiasa, risih, dan apalah itu namanya. Tapi setelah mendengar cerita J, yang jujur saja menurutku itu sangat manis, kupikir tidak ada salahnya membalas perlakuannya padaku—pelan-pelan kubalas genggaman tangannya, dan kulihat J langsung mengangkat wajahnya dan menatapku. “Hmm, lalu bagaimana dengan yang lain? Maksudku, pertama kali kamu ajak aku pergi, atau apa? Apa ingatan tentang pertama kali memegang tanganku ini tetap nomor satu?”
J mengangguk mantap. “Ingatan tentang tangan kamu ini yang paling kuat, Mal.”
Aku tersenyum. “J…”
“Ya?”
“Apa ingatan tentang nomor itu bisa jadi Patronus-ku?”
Label: Cerpen, J, Malika, Real World