Reflection
Rabu, 14 Maret 2012
@3/14/2012 08:30:00 PM
14 Maret 2012
Bandung, kantin kampus. 10:26
"Kamu masih mikirin Theo ya, Ka?" Malika menoleh cepat ketika suara kalem Tere mengejutkannya. Lamunan tentang sesosok lelaki berambut sedikit gondrong yang sedari tadi tergambar jelas di pandangannya kini buyar seketika, hilang entah kemana. "Eh? Apa Ter?" gadis bernama Malika itu akhirnya membuka suaranya, tersenyum polos ke arah Theresa. "Tadi ngomong apa?" tambah Malika cepat. Di lihatnya, Tere hanya menghela nafas panjang.
"Malika, kamu masih mikirin Theo, ya?" ujar Tere mengulang pertanyaannya dengan sabar. Tapi mungkin Tere harus menambah takaran sabarnya karena Malika hanya menjawab dengan seulas senyum tipis di wajahnya. Meski pun jawabannya hanya sebatas itu, Tere tahu, itu artinya adalah 'iya'. "Theo itu... sebegitunya banget ya buat kamu?" gadis berambut hitam setekuk itu kembali bertanya, kali ini pandangannya tertuju ke arah piring kosong di hadapannya. Kedua tangannya sibuk mencuil-cuil sisa keju dengan menggunakan garpu yang digerak-gerakan oleh tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menyangga kepalanya yang sedikit miring agar memudahkannya menatap Malika tanpa harus bersusah payah menoleh. "Apa sih, bagusnya dia?"
Sebenarnya, dari dulu hal yang paling di benci Malika adalah pertanyaan-pertanyaan seputar Theo. Orang-orang selalu bertanya apa bagusnya dia, apa menariknya dia, apa bijaksananya dia, dan lain-lainnya. Malika sendiri sebenarnya sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sejelas mungkin, dengan kalimat bahwa baginya, takaran bagus, baik, menarik, atau bijaksana baru bisa di mengerti oleh setiap orang apabila orang tersebut sudah menjalaninya. Dan karena Malika pernah menjalani hubungan dengan Theo, Malika tahu Theo itu seperti apa, sedangkan Tere yang hanya sebatas teman belum tentu bisa mengerti seperti Malika mengerti Theo.
"Bagusnya—ya bagus saja," menjawab sekenanya, Malika hanya menghendikkan bahu. "Aku tuh udah sering denger pertanyaanmu yang ini, Ter, apa kamu ga bosen nanya dan denger jawaban yang sama terus-terusan? Aku aja yang di tanya bosen," tambahnya dengan bibir manyun pertanda sebal. "Ntar aku bikin buku 'Rumus Alasan Kenapa Malika Suka Theo' deh biar kamu hapal di luar kepala—hahaha."
Tere berdecak kecil, sebal mendengar jawaban dari sahabatnya itu. "Bukan gitu, aku juga inget kok jawaban kamu apaan, tapi ya aneh aja, sampai sekarang kamu masih aja mikirin Theo. Gak mau buka mata apa kamu Ka?" Malika terdiam, mendengarkan ucapan Tere yang mulai berceloteh panjang. Semacam mendengarkan ceramah di pagi hari, bedanya bukan tujuh menit, tapi lebih dari itu. "Cowok tuh banyak loh di sekeliling kamu, ada Eja, ada Raka, ada Bayu..."
"Tapi kan ngelupain orang itu enggak gampang toh Ter, apalagi kalau kamu udah kenal lama. Gak cuma sekedar kenal, tapi kamu tahu seluk beluk apa yang dia hadapain itu lebih susah." Malika menyanggah ucapan Tere cepat-cepat, mendengus pelan. "Tapi tenang aja kok Ter, aku mulai nyibukkin diri supaya bisa lupa sama Theo." gadis itu tertawa renyah, menepuk-nepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Tapi Tere hanya menghela nafas, menggeleng lemas.
"Lupa bukan berarti ikhlas loh Ka."
Malika menoleh, tersenyum tipis. "Ikhlas pun bukan berarti lupa, Ter."
Label: Cerpen, Malika, Real World, Theo, There