北沢 京 : Day 4
Sabtu, 19 Mei 2012
@5/19/2012 03:22:00 AM
DAY 4
Halo, aku Kyoshiro Kitazawa !
Bukan bermaksud untuk menguping sih sebenarnya, tapi sewaktu tadi aku melintasi ruang rekreasi asrama, aku mendengar cerita anak perempuan yang tengah menangis tersedu-sedu sambil bercerita histeris bahwa dia baru saja bertengkar dengan ayahnya dan dari nada suaranya sepertinya anak itu menangis sambil marah-marah (atau marah-marah sambil menangis, tak tahu lah). Dia bercerita heboh sekali ke temannya dan hebatnya temannya terlihat sangat sabar mendengarnya. Kalau kata Terry, hal itu wajar untuk anak perempuan—maksudnya semacam histeria berlebihan meski anehnya aku tidak pernah melihat Fuji histeris—karena mereka menggunakan perasaan ketimbang logika seperti anak laki-laki. Aku tidak yakin sih, dulu aku juga pernah bertengkar hebat dengan Ayahku dan aku juga sampai menangis heboh seperti itu, jadi apa aku anak perempuan?
Kejadian ini sudah sangat lama. Kira-kira saat aku berumur tujuh tahun dan Megumi berusia dua tahun. Masalah sepele, seperti biasa, tentang aku dan adikku yang harus pergi ke Rumah Penitipan Anak setiap harinya karena Ayah dan Ibu harus bekerja. Biasanya yang mengantar kami ke Rumah Penitipan Anak itu Ibu atau Hinishi-san, tapi karena Hinishi-san sedang libur dan Ibu sudah pergi kerja lebih dulu, jadilah Ayah yang mengantar kami, dan Ayah sangat menjunjung tinggi kesehatan keluarga, maka kami pergi ke Rumah Penitipan Anak dengan jalan kaki, bukan dengan sepeda seperti biasa. Aku ingat, aku berjalan di sebelah kiri Ayah sedangkan Megumi berada di sebelah kanan. Kami menggandeng tangan Ayah satu-satu dan berjalan sambil melangkahkan kaki besar-besar karena kaki Ayah panjang sekali dan karena panjang langkahnya lebih besar ketimbang langkahku atau langkah Megumi. Ayah tidak banyak berbicara sewaktu mengantar kami, padahal bagiku berjalan-jalan (meski hanya menuju Rumah Penitipan Anak) dengan Ayah sangatlah jarang jadi sebisa mungkin waktu itu aku benar-benar menggunakan kesempatan ini untuk berbicara dengan beliau. Megumi sebenarnya juga berpikiran sama denganku, tapi dia lebih takut dengan Ayah jadi dia memilih diam. Dan mungkin karena aku laki-laki jadi mungkin aku lebih berani.
Yang aku ingat adalah saat itu aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada Ayah yang meski pertanyaanku panjang dan banyak sekali, Ayah hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala, atau hanya melirikku dan menatapku lama, atau bahkan hanya mengeluarkan suara seperti ‘hmmm’ pelan seakan-akan pertanyaanku tidaklah penting. Tapi saat itu aku tidak menyerah, aku terus melontarkan pertanyaan pada Ayah, dan aku ingat, pertanyaan pertama yang aku ajukan adalah tentang nama “Ayah, kenapa ayah menamaiku Kyoshiro?” tanyaku saat itu. Ayah hanya melirikku lalu kembali menatap jalanan setapak di depan. Tapi akhirnya Ayah menjawab, katanya Ibuku-lah yang memberiku nama itu. Lalu aku tanya, kalau Ayah dulu ingin aku bernama siapa, dan Ayah menjawab “Hiromi” yang maksudnya adalah cantik—aku langsung menggembungkan pipiku tentu saja, sebal mendengarnya. Lalu aku bertanya, bagaimana reaksi Ayah saat pertama kali aku lahir.
Ayah hanya tersenyum tipis—aku menyadarinya karena mata Ayah menjadi lebih sipit dibandingkan biasanya!—meski tidak ada jawaban apa-apa sekali pun aku memaksanya. Aku terus menerus menyerangnya dengan pertanyaan bertubi-tubi tentang Ibu, tentang Megumi, tentang Hinishi-san atau tentang tetangga-tetangga sebelah yang tidak sekali pun Ayah menjawabnya dengan pasti. Lalu karena kesal, aku bertanya apakah Ayah benci padaku sampai-sampai Ayah tidak pernah berbicara padaku. Yang kudapat adalah raut wajah Ayah yang sedih langsung menatapku. Aku dulu tidak mengerti tentu saja, jadi aku terus memaksanya menjawab, aku bertanya “kenapa?” terus-menerus. Tapi itu malah membuat Ayahku marah, dia membentakku keras sekali. Dia bilang “DIAM!” dengan suara lantang yang belum pernah aku mendengarnya secara langsung. Aku sontak terkejut saat itu, Megumi juga, tapi mungkin karena aku memang anak bandel, aku kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan egois seperti “Ayah benar-benar tidak menyayangiku!” lalu “Kenapa Ayah membentakku? Aku kan cuma bertanya!” atau “Ayah lebih sayang Megumi-chan ya!?"
Tentu, jeritan-jeritanku tidak digubris oleh Ayah sehingga aku kesal sekali. Aku lalu langsung lari ke Rumah Penitipan Anak dan menangis di situ. Megumi-chan yang melihat juga ikut menangis tapi aku mengabaikannya. Sampai sore hari ketika aku harus pulang, aku merengek untuk tidak pulang sampai berteriak-teriak "Pokoknya aku tidak mau! Tidak mau! Aku benci Ayah!" begitu. Ternyata yang menjemputku bukan Ayah, tapi Ibu, dan begitu melihatku menangis, Ibu hanya memelukku dan membiarkanku menangis meraung-raung seperti orang gila. Katanya aku harus menangis sampai aku tenang, karena dengan begitu aku bisa merasa lega. Megumi juga begitu, dia menangis sampai merasa lega.
Setelah puas menangis, Ibu berkata padaku kalau Ayah sayang sekali padaku dan Megumi-chan. Ayah adalah orang yang adil, dia tidak pilih kasih dalam membagi kasih sayangnya sebagai seorang Ayah. Meski Ayah tidak pernah berkata apa-apa, bukan berarti Ayah tidak peduli. Kalau Ayah tidak sayang padaku dan Megumi, Ayah pasti sudah membiarkan aku dan adikku berada di rumah terus menerus ketimbang mengantarku ke tempat yang aman (Rumah Penitipan Anak). Tapi buktinya, Ayah meluangkan waktunya untuk mengantar kami dan membiarkan dia pergi bekerja dengan waktu yang sudah terbuang untuk kami di sini. Aku mendengarnya jadi merasa malu, dan saking malunya aku tidak bisa meminta maaf pada Ayah.
Yang aku lakukan hanya memeluk Ayah lama setelah pulang dari Rumah Penitipan Anak, berdua dengan Megumi. Kami tidak berkata apa-apa pada Ayah, tidak ada kata 'Ayah maafkan aku' atau 'Ayah aku salah' atau apa. Kami hanya memeluknya erat dan lama sekali sampai-sampai Ayah keheranan saat itu. Tapi aku senang, Ayah membalas pelukan kami sama eratnya lalu membiarkan kami pergi ke kamar setelah itu. Hubunganku dengan Ayah memang aneh, tapi aku sayang pada Ayah. Mungkin ucapan Terry benar, Ayah menggunakan logika ketimbang perasaan, makanya saat bertengkar denganku dia tidak menangis. Mungkin Ayah berpikir kalau aku harus di didik seperti itu? Tidak tahu juga sih.
Tapi bukan berarti aku perempuan! Anak-anak kan, suka menangis.
Label: Arsip Ryokubita, Behind Chara, Character, Diary, Drabbles, Kyoshiro Kitazawa, Net World, Ryokubita