Now I just want to go far. Far where noone know me, not even me.
Minggu, 26 Agustus 2012
@8/26/2012 06:13:00 PM
Aku percaya, bahwa terkadang diam adalah sebuah jawaban. Bukan berarti aku tidak menggubris perkataannya, atau aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Belakangan ini aku lebih memilih untuk diam padahal dulu aku selalu bisa menjawab atau membalikkan perkataan seseorang dengan pedas dan sarkas. Tapi itu dulu tapi entah sejak kapan, aku sadar kalau diam juga termasuk jawaban. Bukan berarti tidak tahu atau tidak mau tahu. Terkadang, ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat sederhana apalagi bahasa sastra. Itulah yang aku lakukan selama kurang lebih satu minggu ini meski kebanyakan orang menganggap aku menjadi lebih tertutup dan memendam semuanya sendirian—oh Tuhan, percayalah, aku tidak lagi sanggup memendam permasalahanku sendiri—padahal sebenarnya, hal yang bisa aku jawab, dan yang bisa aku lakukan hanya berdiam diri. Mengunci mulutku dengan erat dan menutup hatiku rapat-rapat.
Dua belas Agustus, dua ribu dua belas. Pukul sebelas malam, bertepatan di Rumah Kopi yang berada di daerah dago atas, adalah salah satu ukiran kenangan yang mungkin bisa aku ingat untuk jangka waktu yang lama. Setidaknya, hari itu—saat itu adalah saat yang berkesan untukku. Tapi siapa sangka, ingatanku kuat untuk hari itu ternyata bukan hanya berkesan, tapi dari situlah segala sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan terjadi secara berturut-turut. Baik berkesinambungan atau bahkan diluar dugaan. Semacam membuka sebuah kotak kejutan. Namaku Malika, dan J adalah pacarku sejak hari itu.
Aku tidak pernah berbicara pada siapa pun tentang sosok J. Tidak kepada There, tidak kepada Aina, Anggraini, Inggrid, Shafa, Ariani, atau teman-teman terdekatku lainnya. Selama ini, di mata mereka—bahkan di mataku sendiri—aku adalah orang yang bebas. Setelah berpisah dengan Matheo, setelah hampir dua bulan lamanya berlarut-larut dalam kesedihan, setelah dua bulan lamanya mengganggu Dhika (bahkan Dhika tidak tahu tentang J) dengan keluh kesahku, aku menjadi orang yang work-a-holic. Penggila kerja sebagai salah satu pelarianku. Kekesalanku. Kemarahanku. There pernah bilang aku gila. Desya pun begitu. Mereka mewanti-wanti kesehatanku. Tapi aku tidak menggubrisnya, aku tetap gila kerja sampai akhirnya semua tentang Matheo bisa aku lupakan. Tidak semuanya, tapi setidaknya sebagian besar. Aku merasa bebas, pundakku tidak lagi berat dan mataku tidak lagi perih seperti dulu. Aku ikhlas, tapi bukan berarti aku lupa.
Setelah lepas dari Matheo pun, dihadapan orang-orang aku berubah menjadi orang yang tenang, yang tetap ceria dengan lawakan-lawakan dan candaan-candaan beserta sedikit cerita-cerita gossip dengan teman-teman terdekatku. Menyambut kebahagiaan-kebahagiaan Inggrid dan Andra yang lulus kuliah lebih dulu, menyambut Bintang dan Jovista yang melanjutkan pendidikan di Bandung, menengok Amanda dan berbahagia atas kesembuhannya, dan beragam kepedulian lainnya terhadap mereka-mereka yang senantiasa ada di sebelahku. Singkat cerita, sejak Maret sampai Agustus—kurang lebih lima bulan—aku benar-benar mendedikasikan waktuku, perhatianku, dan segala-galanya untuk mereka; sampai sekarang, sampai detik ini. Aku mencintai seluruh teman-teman terdekatku—keluargaku.
Tidak pernah sekali pun aku menyinggung tentang pria. Bahkan Matheo pun tidak pernah aku ceritakan. Aku hanya menangis dihadapan Shafa, Mira, dan Inggrid waktu itu, dan mereka menghiburku dengan membawaku pergi kemana-mana, bergossip, dan menepuk-nepuk pundakku. Perhatian sederhana yang membuatku bersyukur, setidaknya aku masih memiliki mereka. Sejak saat itu, aku tidak pernah menyinggung tentang kehidupan pribadiku—tentang pria, tepatnya. Siapa-siapa yang tengah dekat denganku, atau yang mendekatiku, atau yang merajut cerita denganku. Tidak pernah sekali pun. Sama sekali. Namun aku yakin, mereka pasti pernah membaca kisah Matheo, dan aku tidak keberatan.
Karena itulah, ketika aku berkata aku memiliki pacar, reaksi mereka semua sama. “Siapa?!” lalu “Seriusan?!” dan “Kapan??”. Dua belas agustus, tepat setelah aku dan J benar-benar berpacaran, orang pertama yang aku beritahu adalah Inggrid. Kenapa? Tidak tahu. Mungkin karena Inggrid juga pernah membagi kebahagiaannya denganku dengan bercerita kalau dia punya pacar, dan aku berpikir aku harus melakukan hal yang sama. Lalu aku bercerita pada There, Aina dan Anggraini. Empat orang pertama selama dua hari setelah tanggal dua belas yang aku beritahu tentang J—There lebih dulu tahu tentang J, aku pernah bercerita meski sekilas—dan setelahnya, barulah aku menceritakan kepada Andra, Ariani, dan Desya.
Kejadian pertama yang terjadi adalah tentang Andra. Dia adalah sahabat laki-lakiku—empat tahun penuh berada di universitas dan fakultas yang sama. Empat tahun penuh bergantung kepadanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Empat tahun penuh menceritakan segala keluh kesah, kekesalan, kemarahan, emosi, bahkan kebahagiaanku padanya. Andra adalah pendengar yang baik, sahabat yang baik, seorang kakak yang baik. Aku sempat ragu memberitahukan tentang J padanya, tidak tahu kenapa, tapi pada akhirnya kuceritakan semuanya, kukatakan aku punya pacar. Tentu, reaksi Andra sama dengan yang lainnya. Dia tidak percaya, dan dengan sikap serta sifatnya yang santai nyaris lawak, dia bilang dia patah hati. Dengan tololnya, aku tertawa. Kukatakan padanya, kalimat-kalimat terima kasih atas semua jasanya selama empat tahun. Aku sadar diri, setelah Andra lulus, aku tidak bisa lagi bergantung padanya. Well, masih sih, tapi mungkin tidak akan seperti dulu lagi. Dia punya tanggung jawab yang lebih berat ketimbang empat tahun kemarin, dan aku rasa tidak sopan kalau aku mengganggunya. Kami berbincang banyak hal, dan kukatakan lagi padanya, dulu aku pernah ragu pada perasaanku sendiri.
There pernah berkata, mungkin hanya Andra-lah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti siapa sosok Malika. Waktu pertama kali mendengarnya, aku tertawa dengan tolol. Tapi tanpa sepengetahuan There, aku benar-benar memikirkan kata-kata itu. Kukatakan pada Andra tentang semua itu, dan aku bilang, apakah saat itu aku memang menyukaimu? Mungkin. Tapi sikap dan perhatian Andra kepadaku hanya sebatas adik, dan aku kembali berpikir, sepertinya pikiranku tentang perasaanku itu salah. Aku memang menganggapnya kakak—toh, orang yang mengerti kepribadian orang lain tidak selalu pacar atau orang yang disukai—dan aku nyaman dia menganggapku adik. Setidaknya hubunganku dengan Andra tidak canggung atau apalah.
Di luar dugaan, Andra menyesal menganggapku adik. There berkata padaku, dialah yang menyadarkan perasaan Andra. Dia bilang, Andra sempat berkeluh kesah padanya, tentang betapa sedih dan kecewanya dia saat tahu aku memiliki pacar. There bilang pada Andra, tidakkah dia sadar dengan perasaannya padaku? Dan tidak perlu menunggu lama lagi, Andra menyadarinya. Tapi sayangnya baik aku mau pun There berpendapat yang sama—semua itu terlambat. Aku sudah menetapkan hatiku pada J, dan itu mutlak. Singkat cerita, kukatakan pada Andra bahwa kita masih bersahabat, aku akan tetap berkeluh-kesah padanya dan dia masih tetap bisa berkeluh-kesah padaku. Tidak ada yang berubah.
Tapi faktanya, segala sesuatu yang berubah tidak bisa kembali lagi seperti dulu.
Enam hari sejak hari itu, tepat di hari lebaran, Andra berkata ingin berbicara serius padaku. Selama enam hari itu, tidak ada hal yang berubah. Aku tetap mengabarinya tentang ini dan itu, dia pun tetap menceritakan tentang berbagai hal yang terjadi di seberang sana. Hal berbeda tentu saja ada, kata-kata sayang dan ekspresi kasih terang-terangan Andra tunjukan padaku—aku tahu, sikapnya memang begitu. Tapi entah kenapa, aku mulai risih. Apa karena aku memiliki J? Aku tidak tahu, aku hanya bisa berdiam diri dengan pemikiranku barusan. Dan di hari lebaran, kami berbicara serius. Andra menjanjikan pernikahan padaku. Dia bertanya apakah masih memiliki kesempatan untuk bersanding denganku suatu hari, berimajinasi aku menjadi istrinya. Kalau boleh jujur, saat itu aku emosi.
Pernikahan adalah hal yang paling sensitif bagiku. Aku tidak mau berbicara tentang topik itu—alasannya sederhana, usiaku atau usia Andra hanya berbeda satu tahun, dan kami masih berusia dua puluhan. Kenapa dia berani menjanjikan pernikahan kalau nyatanya masa depan yang ada di hadapannya masih samar-samar? Kalau pun memang Andra ingin menjanjikan pernikahan, tidak bisakah dia pendam sendiri sampai waktunya benar-benar tiba? Kukatakan pada Andra—jawaban paling netral yang bisa aku katakan—siapa pun, pria mana pun, masih memiliki kesempatan untuk menikah dengan wanita pujaannya selagi wanita itu belum terikat tali pernikahan. Kukatakan padanya, hubunganku bukanlah pertunangan apalagi pernikahan. Aku tidak bisa bilang iya karena aku tidak tahu, apakah kedepannya aku masih dengan J atau tidak, dan aku pun tidak bisa bilang tidak karena alasan yang sama. Aku bukan peramal, bahkan seorang peramal pun tidak bisa menjanjikan sesuatu yang bukan kehendak-Nya.
Dan sejujurnya, aku masih ingin menikmati hari-hari baruku. Tapi dengan jahat kukatakan, Andra merusak semuanya. Ya, aku berani berkata seperti itu karena begitu aku ceritakan semuanya pada J, kami berdua bertengkar. Hebat. Dia marah, dan aku pun begitu. Dulu aku pernah berkata pada J bahwa aku benci topik pernikahan, dan karena Andra, J mau tidak mau mengungkit topik itu lagi dan aku kesal. Lagi, kita berdua bertengkar. Kami salah paham. Apalah itu namanya. Meski memang tidak berlangsung lama, pertengkaran dengan J cukup membuatku lebih kecewa dari sebelumnya. Setelah itu, hari-hariku kembali seperti biasa meski aku pribadi, dalam diam, merasa semuanya tidak bisa lagi seperti biasanya—berbeda tentu saja, tapi aku tidak pernah menceritakan apa-apa dan kepada siapa.
Perubahan yang paling mencolok adalah tata bahasaku pada Andra.
Aku tidak menyalahkannya, itu hak Andra untuk menyukaiku seperti aku memiliki hak menyukai J. Tapi Andra menunjukkan dan mengutarakan perasaannya di waktu yang tidak tepat, dan semuanya berubah dalam sekejap mata. Perlahan-lahan, aku mencoba untuk kembali seperti biasa meski luar biasa menguras tenaga. Bagaimana pun, Andra sahabatku, dan sesuai janjiku, aku ingin tetap berhubungan seperti biasa dengannya. Butuh waktu yang lama, tapi aku rasa, aku bisa.
Hal kedua yang terjadi setelah Andra adalah keluarga. Well, aku tidak terlalu kaget sih dengan ini. Aku pun tidak berkata apa-apa pada Javier, Janneth, Mike, atau bahkan orang tuaku tentang J. Yang hanya bisa kutunjukkan adalah selama seminggu kemarin, aku dan J sering jalan-jalan. Bukannya aku tidak mau memberitahu tentang hubunganku dengan J, tapi yah, aku memang tidak tahu bagaimana caranya memberitahu. Aku tidak bisa bercerita apa-apa—complicated, mungkin, maka untuk hal ini adalah masalah pada diriku sendiri—dan seperti yang kukatakan sebelumnya, aku hanya bisa diam karena terkadang diam itu adalah sebuah jawaban dan tindakan yang benar.
Mungkin.
Dan masalah ketiga yang terjadi adalah ketika aku akan pulang ke Bandung dari rumah keluargaku di Cirebon. Tanggal dua puluh tiga Agustus dua ribu dua belas, setelah perjalanan panjang keliling-keliling bersilahturahmi dengan sanak-keluarga yang lain, aku tertidur pulas dan terbangun tepat tengah malam. Kebetulan, jam dua dini hari keluargaku akan pulang kembali ke Bandung, jadi aku memutuskan untuk menyalakan fitur chatting Yahoo!Messenger di handphone-ku, berharap bisa bertemu Dhika karena aku belum menceritakan tentang J padanya. Yah, sebenarnya sih aku juga kangen. Dhika adalah salah satu teman laki-laki terdekatku meski kami tidak pernah bertemu secara langsung. Dia kuliah di Amerika, seorang pekerja keras—atau work-a-holic yang lebih parah dariku—yang kukenal lewat forum RP hanya karena dia cemburu karena karakterku dekat dengan karakter yang sedang ia incar. Dua tahun yang lalu, kami berkenalan, berbincang-bincang, bercanda tentang pembulian anak dibawah umur (yang padahal cuma iseng) dan mengancam akan mengadukan pada kak Seto, sampai berujung pada sesi curhat lebih dalam tentang pertunangan sepihak, tentang betapa jatuh cintanya Dhika pada Anna, sekaligus tentang sakit hatiku pada Matheo serta tentang penyakit. Aku tidak bisa mendeskripsikan dengan baik tentang hubunganku dengan Dhika. Dia lebih dari teman dekat, dia lebih dari kakak, tapi aku tidak pernah merasa jatuh cinta padanya. Aku menghormatinya, aku respek padanya.
Kami berbicara banyak hal meski aku tahu pembicaraanku dengannya tidak sebanyak pembicaraan Dhika pada Vina, Otriya, atau bahkan Anna. Tapi aku tidak keberatan, aku tahu Dhika merasa kesepian di Amerika sana—ingin pulang, itulah yang berkali-kali Dhika katakan padaku. Yang aku lakukan hanya bisa menghiburnya meski sesekali aku iseng menjahilinya dengan cara menggoda Dhika tentang makanan-makanan Indonesia. Tentang beras dan nasi yang susah payah ia dapatkan di sana, tentang nikmatnya makan indomie ketika hujan turun di Indonesia. Atau tentang bully-an Dhika padaku yang selalu aku sangkutpautkan pada kak Seto. Aku selalu bilang, “Dhika menyiksa anak di bawah umur! Aku aduin sama kak Seto!!” hanya karena aku lebih muda darinya. Tentu, Dhika mengelak. Itulah salah satu topik pembicaraan sederhana antara aku dan Dhika. Sederhana, karena tujuanku memang hanya untuk menghibur Dhika, berkata bahwa Dhika tidak kesepian. Aku senantiasa online malam-malam untuk menemaninya meski belakangan ini kondisi badanku tidak meyakinkan, dan terakhir berbicara dengan Dhika pun hanya sebentar.
Dhika pernah bilang, rasanya ada yang kurang kalau tidak berbicara denganku, tidak ada yang menghiburnya dan rasanya kurang tidak membaca lawakan-lawakanku. Dia bilang, sekali pun dia sakit dan tergeletak tak berdaya di rumah sakit, dia akan tetap online untuk menyapa teman-teman terdekatnya—Anna, Vina, Kira, Otriya, Nanda, dan aku. Dan terakhir kali berbicara dengan Dhika adalah tanggal tiga belas agustus. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi berbincang-bincang dengan Dhika. Aku sakit, begitu pun dengannya. Penyakit Dhika yang mengejutkanku, penyakit Dhika yang membuatku marah, penyakit Dhika yang membuatku kesal. Suatu hari aku sempat gelisah tidak bisa tidur seharian, dan itu karena memikirkan Dhika juga Anna. Tidak tahu tepatnya kapan, tapi gelisah itu sempat membuatku ingin menangis.
Dua puluh tiga Agustus dua ribu dua belas, sekitar jam 1 pagi hari sembari menunggu jemputan atau travel untuk pulang ke Bandung, aku menyalakan Yahoo!Messenger. Tidak ada Dhika, dan saat itu aku berpikir pasti dia sudah dicekokin obat tidur oleh suster di sana. Hanya ada Vina dan Andra yang menemaniku menghabiskan waktu sembari menunggu. Namun yang ada, aku dikejutkan oleh berita yang membuatku membeku untuk beberapa menit. Di jam yang sama, di menit yang sama, di detik yang sama, Vina bilang Dhika koma; Andra bilang dia sakit dan katanya di diagnosa kena kanker hati.
Aku tidak bisa menangis, tapi dadaku nyeri.
Tidak ada J, keluargaku sibuk mengurus barang-barang untuk pulang, kakak-kakakku kelelahan, teman-temanku tidur pulas di gelapnya malam. Aku menghadapi dua berita serius sendirian, dua berita dari sahabat laki-lakiku secara bersamaan. Tidak berkomentar apa-apa baik untuk obrolan dengan Vina mau pun dengan Andra. Aku harus bagaimana? Dan dengan jawaban klise, kukatakan pada mereka semoga cepat sembuh dan segala sesuatunya baik-baik saja—untuk Vina, Dhika, dan Andra. Vina berjanji akan mengabariku tentang Dhika apa pun bentuknya, Andra pun berjanji akan memeriksa kesehatan tubuhnya ke dokter untuk mengecek ulang hasil diagnosanya dan akan memberitahuku hasilnya secepatnya.
Tidak ada pegangan bagiku saat itu. Lagi, aku hanya bisa diam sebagai jawaban. Sampai sekarang, aku selalu gemetar dengan berita menyebalkan itu. Kuceritakan semuanya pada J ketika secara tiba-tiba dia terbangun tengah malam. Kukatakan semua perasaan kalutku padanya, kuceritakan semua emosiku padanya. Aku tahu mungkin aku terdengar lebay atau berlebihan atau apalah, tapi semua ini adalah perasaanku sesungguh-sungguhnya. Pernahkah kalian merasa ingin menangis tapi tidak bisa? Itulah yang aku rasakan. Sakit yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata atau kiasan apa-apa.
Hari ini, tanggal dua puluh enam Agustus dua ribu dua belas, selama dua hari kemarin, kugunakan kembali topengku. Selama dua hari kemarin, aku tersenyum dan tertawa seperti biasa, bermanja-manja meski dikepalaku terbagi dua pemikiran yang saling memaksa. Kehidupanku dan kehidupan keluarga kecilku. Kembali kubuka telingaku lebar-lebar mendengar keluh-kesah teman-temanku, tentang Inggrid, tentang There, tentang Ariani, tentang J, tentang semuanya. Andra bilang penyakitnya adalah hepatitis, dan aku sedikit merasa lega meski tidak sepenuhnya. Tiap malam kusapa Dhika via twitter berharap dia menjawab mentionsku secara tiba-tiba seperti tanggal tiga belas kemarin. Otakku tidak bisa berhenti berpikir tentang semuanya. Rasa peduliku sungguh besar, tapi tanggungan yang kudapatkan pun besar. Aku tidak merasa lelah, tidak merasa keberatan pula. Semua ini aku lakukan karena aku tahu, aku tidak bisa berbuat apa-apa pada teman-temanku seperti apa yang mereka lakukan padaku. Yang bisa aku lakukan hanyalah mencurahkan perhatian, kepedulian, dan kasih sayang.
Apakah kalian merasa aku berlebihan? Aku pun demikian. Heran sekali rasanya aku bisa berpikir seperti ini, bersikap seperti ini, atau apalah. Tapi inilah Malika, dan aku yakin, kalian semua yang memang mengenalku tahu tentang semua ini. Kalian bertanya apa yang aku butuhkan? Sederhana, aku hanya ingin kalian tetap ada meski sebatas chatting atau dalam dunia maya. Kalau pun bertanya hal yang muluk, aku hanya ingin di peluk atau sekedar di tepuk. Aku tidak pernah bisa bercerita dengan cara berbicara—aku lebih lihai bercerita dengan tulisan, jadi yah, wajar kalau setiap kali kalian bertanya kenapa aku hanya bisa diam dan menggeleng. Tapi bukan berarti aku tidak percaya, aku hanya tidak tahu caranya.
Inilah yang terjadi, kawan. Inilah kenapa aku meminta kalian ada di Bandung. Maaf ya, Malika Mahaprasthanika memang selalu menyusahkan. Yah, terkadang diam adalah sebuah jawaban. Bukan berarti tidak menggubris atau tidak bisa menjawab. Dan bukan berarti tidak tahu atau tidak mau tahu.
© title : @isaansh // semua yang tertulis adalah kejadian yang benar-benar menguras pikiran dan tenaga, emosi, juga air mata. Tidak ada niatan khusus untuk mengumbar aib atau kejelekan seseorang, hanya pelampiasan emosi dan menyimpan kenangan.
Label: Aina, Andra, Anggraini, Anna, Ariani, Cerpen, Desya, Dhika, Inggrid, J, Malika, Real World, Shafa, Theo, There